Home AD

Wednesday, April 03, 2013

INFORMASI PENDALAMAN SEPUTAR KUALITAS BAHAN ORGANIK

Jika kita berhadapan dengan suatu bahan organik disertai informasi karakteristik kimianya (data analisis kimia)

1.  Bila kandungan N lebih dari 2,5% bahan organik ini dikatakan berkualitas tinggi, maka ada dua kemungkinan :
 a.  Bila kandungan lignin kurang dari 15% dan polyphenol kurang dari 4%, maka :
1) Bahan organik tersebut dibenamkan bersamaan dengan saat tanam tanaman semusim, sebagai pupuk in-situ.     
2) Bahan organik tersebut jangan dicampur dengan pupuk atau bahan organik berkualitas tinggi, karena akan hilang percuma.
b.  Bila kandungan lignin lebih dari 15 %:
Bahan organik  tersebut dicampur dengan pupuk atau bahan organik lain yang berkualitas tinggi (kandungan N lebih dari 2,5 %)
2.  Bila kandungan N kurang dari 2,5 %, dibagi dua kelompok berdasarkan kandungan ligninnya :
a.  Bila kandungan lignin kurang dari 15 %, maka direkomendasikan :
1)  Bahan organik tersebut dicampur dengan pupuk atau ditambahkan pada kompos.
2)  Bahan tersebut jangan disebar pada permukaan tanah untuk menekan evaporasi dan erosi, karena cepat melapuk sehingga cepat hilang dan tidak dapat menjaga kondisi air tanah.
b.  Bila kandungan lignin lebih dari 15 %, maka :
Bahan organik ini dapat disebar pada permukaan tanah sebagai mulsa untuk menekan   evaporasi dan erosi.

  Prosedur sederhana untuk menentukan cara pengelolaan bahan organik yang tepat seperti contoh  (Gambar 4.7) sebenarnya dapat dikembangkan sendiri oleh para praktisi dan petani berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, karena tidak semua kasus bisa mengikuti pola aturan ilmiah di atas. Sebagai contoh, sebuah pedoman serupa dikembangkan oleh petani di Zimbabwe berdasarkan pengalaman dan kebutuhan mereka (Giller, 1999). Pedoman ini  didasarkan pada karakteristik bahan secara sederhana yaitu warna daun (Gambar 4.7 b). Penggunaan pedoman ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.  Bila daun berwarna hijau ,ada dua kelompok :
a.  Apabila daun tidak berserat dan mudah hancur, terasa sangat kelat (Bahasa Jawa : sepet), maka direkomendasikan :
Bahan organik tersebut dapat dibenamkan in-situ bersamaan dengan waktu tanam tanaman semusim.
b. Apabila daun berserat dan tidak mudah hancur, tidak terasa kelat, maka direkomendasikan :
1)  Bahan organik tersebut jangan dibenamkan in-situ bersamaan dengan waktu tanam tanaman semusim.
2)  Bahan tersebut sebaiknya dicampur dengan pupuk atau bahan organik lain yang berkualitas tinggi.  
2.  Bila daun berwarna kuning dipisahkan menjadi dua kelompok :
a.  Apabila mudah hancur sperti tepung, maka direkomendasikan :
1)  Bahan organik tersebut dicampur dengan pupuk atau ditambahkan pada kompos.
2)  Bahan organik tersebut jangan disebar pada permukaan tanah sebagai mulsa karena bahan organik cepat melapuk sehingga tidak dapat untuk menekan evaporasi dan erosi.  
b.  Apabila tidak mudah hancur bila kering, maka direkomendasikan :
Bahan organik tersebut dapat disebar pada permukaan tanah sebagai mulsa untuk menekan evaporasi dan erosi.

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA PENYERAPAN HARA

Pada penyerapan aktif dibutuhkan sejumlah energi respirasi (berupa ADP, NAD+dan NADP+) untuk pelaksanaannya, maka faktor-faktor yang memperngaruhi proses respirasi secara tidak langsung juga akan memengarugi proses penyerapan hara. Faktor-faktor ini meliputi ketersediaan substrat untuk respirasi, temperatur dan oksigen.

  1. Substrat merupakan bahan yang akan diurai menjadi senyawa sederhana melalui serangkaian reaksi respirasi, meliputi pati, fruktan dan gula. Oleh karena itu jika ketersediaan substrat ini rendah, laju respirasi juga rendah, sehingga energi kimiawi yang dihasilkan dari penguraian bahan-bahan ini juga rendah. Pada kondisi starvasi (defisiensi bahan cadangan nutrisi) sangat parah, protein juga akan dioksidasi menjadi asam-asam amino penyusunnya. Karena unsur N merupakan penyusun utama protein, gejala defisiensi N yang ditandai menguningnya dedaunan tua merupakan konsekuensi adanya oksidasi protein dan senyawa mengandung N pada kloroplast.
  2. Nilai Q10 untuk respirasi pada temperatur 50-2500C adalah 2,0-2,5 yang berarti laju respirasi pada kisaran temperatur ini akan meningkat 2,0-2,5 kali lipat utnuk setiap kenaikan temperatur sebesar 1000C. Jika temperatur sebesar 3500C, laju respirasi tetap meningkat tetapi dengan nili Q10 yang lebih rendah sebagai konsekuensi adanya penetrasi oksigen melalui kutikula atau peridermis yang lebih rendah dari kebutuhan. Pada temperatur yang lebih tinggi lagi (sekitar 4000C), laju respirasi mulai menurun sebagai konsekuensi sebagian enzim-enzim yang terlibat mulai menderita denaturasi.
  3. Ketersediaan oksigen memengaruhi laju respirasi tetapi dengan efek yang bervariasi baik antar spesies maupun antar organ tanaman. Fluktuasioksigen di atmosfer maupun pada tanah-tanah yang poreus (beraerasi baik) tidak akan memengaruhi laju respirasi karena kelimpahannya. Mitokondria tetap berfungsi normal pada kadar oksigen serendah 0,05%, padahal di udara tersedia 21%, karena tingginya afinitas sitokrom oksidase terhadap oksigen. Fluktuasi oksigen mulai berpengaruh terhadap respirasi akar pada tanah-tanah yang beraerasi buruk, baik akibat bertekstur liat, pemadatan tanah batas akibat jenuh air, sehingga ketersediaan oksigen terbatas akibat laju diffusi oksigen dalam air yang jauh lebih lambat dari udara.
 Pengaruh pemadatan terhadap penyerapan hara yang dikaitkan dengan terhambatnya respirasi bersifat spesifik, lawton menyimpulkan bahwa laju penurunan serapan K lebih besar dibanding laju penurunan serapan P atau N. Pada jagung, pengaruh minimal hanya terhadap serapan Ca .
Disamping laju respirasi, penyerapan hara ditentukan oleh jumlah dan ketersediaan hara dalam tanah, serta intensitas dan ekstensitas sistem perakaran tanaman yang terkait dengan taraf dan laju pertumbuhan tetanaman. Demikian juga dengan intensitas dan ekstensitas interaksi akar –mikroorganisme tanah. Adanya simbiosis fungi ektodan /atau endo-mikoriza-akar, lewat pembentukan pipa eksternal yang berfungsi sebagai bulu-bulu akar dan enzim ekstraseluler fosfatase, sangat membantu tanaman dalam penyerapan unsur-unsur hara terutama P. Demikian juga, jika ada fiksasi N-simbiotik (seperti Azospirillum brasiliense) terhadap penyerapan N.

Peningkatan Karbon pada Lahan Terdegradasi



          Problem degradasi tanah dan lingkungan umumnya lebih parah di daerah tropis daripada temperate, di daerah kering daripada daerah basah, dan iklim panas daripada dingin. Diperkirakan diseluruh dunia tanah terdegradasi sekitar 2 milyar hektar dan 75% berada di daerah tropis (Oldeman, 1994). Degradasi tanah dapat disebabkan oleh banyak proses, termasuk erosi tanah yang dipercepat, salinisasi, kerusakan karena pertambangan dan aktivitas perkotaan, penggembalaan berlebih dan kontaminasi dari polutan industri (Lal, 1997).
          Perbaikan terhadap lahan terdegradasi meliputi penanaman dengan vegetasi asal, penanaman tanaman penutup tanah yang cepat tumbuh, penggunaan pupuk organik dan anorganik. Apabila bahan organik tanah keadaannya telah mengalami penurunan yang sangat drastis, sedangkan kemampuan tanah untuk mengikat bahan organik masih berfungsi maka perbaikan dengan peningkatan bahan organik tanah. Tingkat penyerapan karbon melalui restorasi tanah sangat ditentukan oleh sifat-sifat tanah, metode restorasi yang dilakukan, karakteristik eko-regional, dan pol karbon organik awal di bawah kondisi alaminya.