Home AD

Friday, January 27, 2017

KPK TANGKAP TANGAN HAKIM MK, PRESIDEN JOKOWI: SEMUA PASTI KECEWA

Kulon Progo, 27 Januari 2017
Presiden Joko Widodo mengungkapkan kekecewaannya atas masih ditemukannya tindakan korupsi di tubuh peradilan negara. Kekecewaan tersebut disampaikannya saat menjawab pertanyaan jurnalis terkait operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap salah seorang hakim Mahkamah Konstitusi.
"Saya kira seluruh negara ini pasti kecewa. Semua pasti kecewa," ujar Presiden lirih usai membagikan Kartu Indonesia Pintar di SMK Negeri 2 Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat, 27 Januari 2017.
Maka itu, Kepala Negara juga menyatakan bahwa reformasi di bidang hukum secara total harus dilakukan. Komitmen penegakan hukum di tahun kedua pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla dapat dipastikan akan semakin digencarkan.
"Ya memang seperti tahapan yang sedang kita lakukan, ada sebuah reformasi di bidang hukum secara menyeluruh," terangnya.
Sebelumnya, Ketua KPK Agus Rahardjo membenarkan informasi soal operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK tersebut. Selain seorang hakim Mahkamah Konstitusi, sejumlah orang lainnya turut ditangkap dalam operasi tersebut.
"Benar, ada operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK di Jakarta," terang Agus.
Sumber : Kepala Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden

INOVASI LISTRIK PEDESAAN YANG BERKELANJUTAN

Salah satu kebutuhan dasar yang sangat penting untuk perkembangan suatu negara adalah listrik. Dengan listrik, pembangunan negara secara keseluruhan dapat terdukung baik itu melalui sarana pendidikan, kesehatan, komunikasi, transportasi, industri, teknologi, dan lainnya. Terlebih di era digital seperti saat ini, kebutuhan energi listrik akan semakin meningkat dengan pesat. Di Indonesia, tantangan untuk pemasokan listrik dapat dilihat dari rasio elektrifikasi nasional yang berkisar 70%. Ini berarti sekitar 78 juta penduduk Indonesia masih belum terjangkau listrik. Pemerintahan Jokowi yang mencanangkan proyek listrik 35 Ribu MW patut dihargai, namun masih jauh dari cukup. Terlebih melihat kondisi geografis Indonesia yang terdiri atas ribuan kepulauan dan pegunungan yang akan menjadi tantangan unik dalam pendistribusian listrik. Untuk daerah-daerah sulit terjangkau dan terpencil dimana populasi penduduknya sedikit, sangat
tidak ekonomis bagi PLN untuk membangun infrastruktur jaringan listrik dengan biaya sangat mahal. Solusi lain seperti penyediaan genset yang awalnya terlihat murah untuk daerah-daerah tersebut pun akhirnya tidak tepat karena biaya pemeliharaan dan kebutuhan bahan bakar. Oleh karena itu, solusi alternatif sangat dibutuhkan agar penyediaan listrik ke desa-desa di pedalaman dan di kepulauan dapat dipenuhi secara lebih efektif dan ekonomis.

Salah satu metode listrik pedesaan yang sangat populer saat ini adalah dengan memanfaatkan sumber energi terbarukan. Seperti juga Negara-negara lain, Indonesia terus meningkatkan penggunaan sumber energy terbarukan agar dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak. Untuk listrik pedesaan, pemanfaatan energi terbarukan dirasa sangat tepat karena setiap desa dapat memiliki pembangkit listrik sendiri dengan kapasitas yang jauh lebih kecil dari pembangkit listrik PLN karena disesuaikan dengan jumlah populasi di desa tersebut. Karena lokasi pembangkit listrik energi terbarukan tersebut lokal, maka jaringan listrik jarak jauh untuk pendistribusian listrik tidak lagi diperlukan sehingga biaya kapital untuk membangun sistem listrik pedesaan dapat menjadi lebih ekonomis.
Namun di balik menariknya sumber energi terbarukan untuk pedesaan, beberapa teknologi yang sudah diterapkan seperti mikrohidro sayangnya masih banyak tantangan dan kekurangannya. Inilah yang mengakibatkan banyak proyek mikrohidro yang gagal baik di Indonesia maupun di belahan dunia lainnya. Satu faktor utama adalah biaya kapital yang relatif masih tinggi untuk masyarakat pedesaan. Penyebab lain adalah kurangnya sustainable micro-financing, dan juga pendekatan sosial yang mengakibatkan permasalahan internal maupun eksternal antar-desa. Mikrohidro juga memerlukan petugas terampil untuk perawatan dan pengoperasiannya. Walaupun kapasitas daya mikrohidro lebih kecil dari pembangkit PLN dan lokal, pada implementasinya pembangkit mikrohidro tetap memerlukan jaringan lokal untuk distribusi listrik ke rumah-rumah. Ini akan menjadi kendala besar jika kondisi geografis sulit atau bahkan tidak mungkin membangun jaringan listrik lokal. Kendala ini menjadi lebih buruk jika masyarakat di pedesaan tersebut tersebar sehingga jarak antara rumah cukup jauh. Oleh karena itu, teknologi lain pemanfaatan energi terbarukan yang dapat menutupi atau mengurangi permasalahan-permasalahan tersebut sangat diperlukan untuk meningkatkan efektivitas akses listrik di pedesaan.
Dari sinilah timbul gagasan pengembangan teknologi baru listrik pedesaan yang diberi nama The DC House Project atau proyek Rumah DC. Proyek Rumah DC dimulai sejak tahun 2010 untuk mengembangkan teknologi baru listrik pedesaan yang lebih efektif dan efisien dari solusi listrik pedesaan yang ada. Listrik Rumah DC dapat berasal dari sumber energi terbarukan dan tenaga manusia atau hewan. Disebut Rumah DC karena tipe aliran listrik yang digunakan adalah DC (Direct Current). Ini berbeda dengan mayoritas solusi pemanfaatan energi terbarukan untuk listrik pedesaan yang menggunakan aliran listrik AC (Alternating Current). DC dipilih karena sistem listrik yang dihasilkan akan lebih efisien dibanding AC apalagi bila sumber energi yang digunakan seperti panel surya menghasilkan listrik DC. Di samping itu, peralatan elektronik seperti TV, telepon genggam, radio, dan sebagainya di dalamnya beroperasi dengan DC. Dengan demikian pada sistem AC, bila sumber energi menghasilkan DC maka listrik DC tersebut harus diubah menjadi AC dahulu sebelum kemudian diubah lagi menjadi DC. Proses konversi energi dari DC-AC-DC inilah yang mengakibatkan hilangnya daya sehingga mengurangi efisiensi dari sistem listrik.

Organisasi professional terbesar bidang elektro (IEEE) menyebutkan bahwa daya hilang pada sistem listrik AC yang menggunakan sumber energi DC berkisar antara 15% sampai dengan 35%. Untuk listrik pedesaan dimana akses daya listrik sangat terbatas, hilangnya daya tersebut menjadi sangat vital. Hal lain yang membuat DC lebih menarik adalah berhubungan dengan pesatnya kemajuan teknologi DC seperti lampu LED. Sebagaimana kita ketahui, kebutuhan utama listrik di pedesaan adalah untuk penerangan. Dengan Rumah DC, pemakaian beban listrik DC seperti lampu LED di pedesaan akan menjadi efisien.
Berikut beberapa kunci penting dari teknologi Rumah DC:
1.      Flexible. Rumah DC dapat menerima segala jenis sumber energy terbarukan dengan perangkat keras yang sama. Fitur ini penting karena setiap daerah pedesaan akan memiliki potensi sumber energi terbarukan yang berbeda-beda. Rumah DC dapat juga menampung energi tambahan dari tenaga manusia seperti “generator sepeda” atau tenaga hewan. Metode sumber energy tenaga manusia lain yang sedang kami kembangkan adalah dari taman permainan anak-anak seperti ayunan, merry-go-round, jungkat-jungkit, dan sebagainya.
2.      Expandable. Rumah DC dapat menerima satu atau lebih sumber energi terbarukan. Ini penting untuk daerah-daerah yang memiliki lebih dari satu potensi sumber energi terbarukan. Dengan demikian Rumah DC dapat memaksimalkan sumber-sumber energi lokal yang berpotensi dan meningkatkan reliabilitas system listrik.
3.      Scalable. Rumah DC dapat dipasang sesuai dengan kebutuhan listrik dan kemampuan finansial setiap keluarga di setiap rumah. Ini penting untuk menekan biaya akses listrik karena setiap rumah dan keluarga memiliki kebutuhan listrik dan juga kemampuan ekonomi yang berbeda-beda. Rumah DC dirancang dengan strategi modular. Setiap perangkat modul memiliki batas daya 150 Watt dan beberapa modul dapat dihubungkan dengan mudah untuk menghasilkan daya yang lebih besar. Artinya, jika satu rumah hanya memerlukan daya listrik sebesar 100 Watt,
1.      maka hanya satu modul yang perlu dibeli sehingga biaya menjadi murah. Jika kemudian kebutuhan listriknya bertambah menjadi 250 Watt dan merasa mampu untuk membeli tambahan daya listrik, maka satu modul lagi dapat ditambahkan dengan mudah.
4.      Localized. Keseluruhan sistem Rumah DC dipasang di setiap rumah. Ini berbeda dengan mikrohidro, misalnya, dimana pembangkit mikrohidro bersifat terpusat dan listrik harus didistribusikan melalui jaringan listrik lokal. Karena sistem Rumah DC ada di setiap rumah, maka jaringan listrik lokal desa tidak lagi diperlukan sehingga biaya instalasi sistem listrik pedesaaan secara keseluruhan dapat ditekan. Karena posisinya yang lokal, maka Rumah DC merupakan solusi listrik pedesaan yang sangat reliable dan efisien.
5.      Networkable. Di banyak daerah seperti Papua, beberapa rumah berkelompok membentuk satu kluster yang biasanya ditempati oleh anggota keluarga dari satu klan. Keluarga lain mendirikan kluster sendiri yang jaraknya relatif jauh antara satu dan lainnya. Untuk komposisi rumah di “pedesaan” seperti ini, sistem Rumah DC dapat dihubungkan ke Rumah-Rumah DC lainnya. Dengan demikian rumah-rumah dalam satu kluster dapat membentuk network Rumah DC dimana sharing energi listrik dapat terakomodasi.
6.    Compliable. Satu fitur yang akan sangat bermanfaat pada teknologi listrik pedesaan adalah kemampuan untuk menarik energi dari sumber energi listrik sekecil apa pun. Contohnya adalah sumber energi air dengan arus kecil yang jumlahnya berlimpah ruah di Indonesia namun belum bisa dimanfaatkan karena terlalu rendah kapasitas dayanya untuk mikrohidro. Dengan Rumah DC, aliran air tidak deras ini tetap dapat dimanfaatkan energinya untuk menghasilkan listrik.
Rumah DC untuk listrik pedesaan menerapkan strategi pendekatan “Bottom-Up” dimana proses pengenalan dan pendidikan merupakan bagian yang terintegrasi dalam pemasangan sistemnya. Misalkan dengan fitur scalable-nya, masyarakat diberi kebebasan untuk memilih kapasitas listrik di rumah DC-nya. Jika mereka masih ragu tentang manfaat listrik, maka kapasitas listrik cukup kecil saja untuk penerangan rumah dengan beberapa lampu LED. Lambat laun ketika mereka sudah menyadari manfaat listrik, kapasitas listrik dapat ditambah sesuai dengan kemampuan ekonomi. Dengan proses tersebut maka masyarakat tidak terkena “technological shock” dan akan menciptakan rasa tanggung jawab untuk merawat dan menjaga sistem Rumah DC mereka. Dalam hal perawatan, karena teknologi Rumah DC memakai perangkat modular dengan ukuran kecil dan mudah dipasang, perawatannya menjadi relatif mudah sehingga tidak memerlukan orang yang memiliki keterampilan khusus. Dalam segi biaya, system Rumah DC sangat kompetitif dengan solusi alternatif lain yang serupa.
Misalnya satu produk yang menggunakan panel surya berkapasitas 60Wp dijual dengan harga hampir Rp19 juta. Dengan teknologi Rumah DC, sistem serupa dengan kapasitas 150Wp dapat dibeli dengan harga sekitar Rp12 juta. Sejak proyek Rumah DC dimulai, sudah tiga prototipe Rumah DC yang telah selesai dibangun: di Cal Poly State University, Amerika Serikat; di Technological Institute of the Philippines, Filipina; dan di Jatinangor dekat kampus Universitas Padjadjaran, Indonesia. Langkah berikutnya adalah pilot project pemasangan Rumah DC di beberapa daerah di Indonesia dan luar Indonesia.
Pada akhirnya, teknologi sistem Rumah DC adalah hasil karya putra bangsa Indonesia yang pada waktu artikel ini ditulis perangkat modularnya sudah didaftarkan untuk hak paten di Amerika Serikat dan di Indonesia. Harapan kami, teknologi Rumah DC untuk listrik pedesaan ini menjadi kontribusi kami bagi tanah air tercinta dan menjadi produk kebanggaan bangsa Indonesia.

Sumber : Taufik (Department of Electrical Engineering, California Polytechnic State University, San Luis Obispo, CA)

Monday, January 23, 2017

TIPE-TIPE HIGH IMPACT PRACTICES (HIP) DI PENDIDIKAN TINGGI

a.      Seminar untuk mahasiswa baru atau mahasiswa tahun pertama

Banyak universitas telah mengembangkan berbagai model seminar untuk mahasiswa baru. Seminar ini biasanya dilakukan dalam kelas yang relatif kecil, sekitar 15 sampai 18 mahasiswa. Sebelum semester dimulai, mahasiswa baru menerima informasi tentang berbagai topik seminar yang tersedia. Mahasiswa baru diperbolehkan memilih seminar dengan tema yang mereka sukai. Selama satu semester mereka mengambil seminar ini yang diajarkan oleh seorang dosen, dibantu dengan mahasiswa senior sebagai peer group leader. Biasanya seminar ini juga bertujuan untuk memperkenalkan mahasiswa dengan berbagai kegiatan maupun kehidupan di perguruan tinggi secara umum. Pada dasarnya seminar ini juga didesain untuk memberikan orientasi kepada mahasiswa baru. Oleh karena mahasiswa baru mengambil mata kuliah seminar ini selama satu semester, mereka bisa mendapatkan informasi, support, maupun berdiskusi dengan dosen ataupun mahasiswa lain terutama apabila mereka mendapatkan kesulitan untuk beradaptasi dengan pembelajaran dan kehidupan di perguruan tinggi.
Seminar ini di samping memberikan kesempatan mahasiswa baru untuk melakukan transisi dalam kehidupan di pendidikan tinggi, juga membahas secara mendalam topik yang menjadi focus seminar. Sebagian besar seminar untuk mahasiswa baru juga dikombinasikan dengan unsur pengabdian yang dilakukan secara berkala yang berkaitan dengan topik yang menjadi fokus kelas. Refleksi berdasarkan pengalaman dalam melakukan pengabdian pada masyarakat maupun refleksi yang berkaitan dengan bahan-bahan bacaan untuk kelas dan pengalaman-pengalaman lain secara intensif dilakukan dalam kelas seminar ini. Selain itu, penulisan paper ilmiah yang mensintesakan topik yang menjadi fokus seminar, pengalaman pengabdian dan referensi ilmiah juga merupakan bagian terintegrasi dalam seminar ini.
b.      Pengalaman intelektual bersama
Hal ini dilakukan dengan mensyaratkan mahasiswa untuk mengambil mata kuliah dengan topik yang hampir sama sehingga mereka mendapatkan kesempatan untuk bertukar pikiran dan secara kritis menganalisa apa yang mereka pelajari bersama. Mahasiswa dari beberapa seksi yang berbeda bias berkumpul dan berdiskusi di luar jam kelas, melakukan tugas secara bersama, dosen juga sering memberikan tugas kelompok agar mahasiswa bisa belajar untuk bekerja sama. Beberapa universitas menentukan tema seperti ‘globalisasi’ atau ‘teknologi’ dan mensyaratkan mahasiswa untuk mengambil beberapa kelas yang merupakan bagian dari tema yang ditetapkan.
c.       Kelompok pembelajaran atau learning communities
Sistem ini mensyaratkan mahasiswa (biasanya mahasiswa tahun pertama atau kedua) untuk mengambil dua atau lebih mata kuliah bersama. Mahasiswa dibagi dalam kelompok kecil sekitar 15 mahasiswa, dan mereka mengambil mata kuliah-mata kuliah tersebut bersama. Seperti metode intelektual bersama yang disebut di atas (poin b), tujuan kelompok pembelajaran ini adalah agar mahasiswa bisa belajar berkelompok, termasuk berdiskusi bersama dan melihat hubungan antara berbagai mata kuliah yang mereka ambil. Berbeda dengan poin b, dalam kelompok pembelajaran ini, mahasiswa bisa mengambil 2 atau 3 mata kuliah yang berbeda tetapi mereka melakukannya secara bersama sehingga terbentuk rasa solidaritas di antara mereka karena mereka secara bersama-sama berada dalam 2 atau 3 kelas yang sama.
d.      Mata kuliah dengan proses penulisan yang intensif
Mata kuliah seperti ini walaupun bisa dilakukan dari berbagai cabang ilmu, akan tetapi mengintegrasikan kurikulum yang menekankan pada cara-cara penulisan makalah maupun paper
akademik yang intensif. Mahasiswa disyaratkan untuk menulis draft dan merevisinya beberapa kali sebelum memberikan hasil akhirnya kepada dosen. Dosen atau pengajar harus memberikan masukan atau feedback beberapa kali. Berdasarkan masukan dari dosen, mahasiswa merevisi paper berdasarkan masukan yang mereka terima. Hal ini akan melatih mahasiswa untuk menulis dengan baik, dan untuk beberapa mata kuliah bahkan mensyaratkan mahasiswa untuk memublikasikan tulisan mereka di jurnal ilmiah.
e.  Mata kuliah yang mengintegrasikan pengabdian masyarakat atau keterlibatan dengan masyarakat
Mata kuliah ini bisa dilakukan dari berbagai cabang ilmu, tetapi harus mengintegrasikan unsur keterlibatan langsung dengan masyarakat. Melalui kerja sama dengan kelompok masyarakat ataupun organisasi sosial, mahasiswa dipersyaratkan untuk melakukan interaksi atau berkerja sama langsung dengan masyarakat. Bentuk-bentuk pengabdian atau keterlibatan dengan masyarakat berkaitan dengan topik mata kuliah. Biasanya mata kuliah seperti ini juga mensyaratkan mahasiswa untuk menulis paper yang menghubungkan apa yang mereka pelajari dari buku atau referensi di kelas dengan pengalaman yang mereka dapatkan dari masyarakat. Proses refleksi juga penting bagi mata kuliah seperti ini agar mahasiswa bisa menilai secara kritis apa yang mereka lakukan, bagaimana dampaknya terhadap masyarakat dan bagi mereka sendiri. Belajar menghadapi kelompok masyarakat yang berbeda dari mereka dan kemungkinan memiliki pandangan yang berbeda memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk belajar langsung dari masyarakat.
f.       Pengalaman lintas budaya dan lintas kelompok
Berbagai universitas sekarang mensyaratkan mahasiswa untuk mengambil mata kuliah yang bertemakan lintas budaya dan lintas kelompok baik kelompok sosial yang berbeda suku, agama, kelas, maupun nilai-nilai sosial. Tujuannya adalah agar mahasiswa belajar dari perbedaan dan bisa menghargai perbedaan ini. Mata kuliah ini sering juga meliputi kuliah di negara lain maupun kuliah yang mengintegrasikan pengalaman di negara lain (study abroad). Kuliah semacam ini juga mengintegrasikan penulisan paper, kerja kelompok, maupun refleksi sebagai bagian dari kurikulum.
g.      Tugas akhir, skripsi maupun penelitian akhir
Praktik seperti ini sudah banyak dilakukan di Indonesia. Sistem ini mensyaratkan mahasiswa untuk menulis dan melakukan penelitian sebagai persyaratan kelulusan. Tugas akhir ini merupakan kulminasi proses belajar mahasiswa di perguruan tinggi.
h.      Proses magang atau internship
Hal ini juga sudah banyak dilakukan di Indonesia, melalui proses magang ini mahasiswa bisa menerapkan apa yang telah mereka pelajari di bangku kuliah.
Tidak semua universitas menerapkan semua tipe HIP yang disebutkan di atas. Gonyea, Kinzie, Kuh, dan Laird (2008) merekomendasikan agar mahasiswa melakukan paling tidak dua atau lebih HIP agar mendapatkan hasil yang optimal. Walaupun banyak universitas telah menerapkan hal ini, sering ada berbagai kendala untuk melakukan dua atau lebih HIP karena keterbatasan sumber daya, baik secara finansial maupun karena keterbatasan sumber daya manusia. Perlu diadakan pelatihan yang intensif terhadap tenaga pengajar agar bisa melakukan  HIP secara baik di kelas mereka.
Sumber : Siti Kusujiarti (Department of Sociology, Warren Wilson College, NC)