A. Latar Belakang Masalah
Pertama, kerugian akibat pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia terutama aibat pelanggaran Hak Cipta cukup besar. Berdasarkan laju ekonomi dan daya beli masyarakat, dalam satu bulan sekitar 40 (empat puluh) juta kaset dan CD diserap pasar. Tetapi dari jumlah tersebut hanya dua juta kaset dan CD saja yang diproduksi oleh produser resmi. Sedangkan sisanya sejumlah 38 (tiga pluh delapan) juta keping kaset dan CD dipasok oleh pembajak. Striker PPN untuk kaset adalah Rp.850,- (delapan ratus lima puluh rupiah) dan untuk CD Rp.3.000,- (tiga ribu rupiah), maka kerugian negara dari stiker pajak adalah Rp. 1500,- x 38 juta = Rp. 57 milyar per bulan, Rp. 57 milyar x 12 bulan = Rp. 684 milyar per tahun. [2]
Berdasarkan laporan IIPA (International Intellectual Property Alliance) disebutkan bahwa sejumlah negara yang cukup parah melakukan pelanggaran hak cipta antara lain Cina, Taiwan, India, Korea, Malaysia dan Indonesia.
Kedua, menurut laporan tahunan Special 301 yang dikeluarkan oleh Kantor Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (USTR-United States Trade Representative) Indonesia sebelum tahun 2000 merupakan satu-satunya negara ASEAN yang masih masuk ke dalam kategori Priority Watch List (daftar negara yang menjadi prioritas untuk diawasi) untuk kasus-kasus pelanggaran HKI. Menurut undang-undang dan sejarah legislatif Special 301 adalah alat negosiasi untuk memperbaiki praktek-praktek perdagangan pemerintah Amerika dengan mitra dagangnya, yang memberi dampak negatif terhadap perlindungan hak kekayaan intelektual dan industri Amerika. Dengan tujuan untuk memilih negara-negara yang “tindakan, kebijakan atau praktek-prakteknya dianggap sudah sangat serius” untuk dimasukkan kedalam daftar Priority Foreign Countries yang ditargetkan untuk diambil tindakan khusus. Dalam prakteknya terdapat empat kategori Special 301 yaitu sebagai berikut :
- Priority Foreign Country, artinya pada peringkat ini, pelanggaran atas HKI yang dlakukan oleh mitra dagang Amerika tidak dapat ditolelir lagi, sehingga negara yang bersangkutan bisa dikenakan tindakan pembalasan (retaliasi).
- Priority Watch List, artinya pada peringkat ini, pelanggaran atas HKI tergolong berat, sehingga Amerika Serikat merasa perlu memprioritaskan pengawasannya terhadap pelanggaran HKI di suatu negara mitra dagangnya.
- Watch List artinya pada peringkat ini, negara yang masuk dalam daftar ini cukup diawasi karena tingkat pelanggaran HKI terutama hak cipta, paten dan merek masih belum terlalu berat.
- Special mention, artinya pada peringkat ini, belum ada pelanggaran atas HKI tetapi sudah masuk kedalam pengawasan.
Selama ini, Indonesia menempati posisi kedua dalam ketegori Priority Watch List setelah Cina, akibat tingginya kasus pembajakan kaset, Compact disk, video compact disk, software komputer dan paten berkenaan dengan obat-obatan (pharmaceutical)
Dengan status Priority Watch List pemerintah Amerika Serikat tidak melarang dan juga tidak menganjurkan investor Amerika Serikat untuk berinvestasi di negara yang dikenai status demikian. Amerika tidak memberi jaminan terhadap investasi tersebut.penilaian ini mencerminkan komitmen USTR terhadap perlindungan hak kekayaan intelektual di seluruh dunia. Perlindungan HKI seharusnya menjadi prioritas bagi negara-negara berkembang untuk dapat menarik investasi.
Menurut data yang dikemukakan oleh IIPA (international Intellectual Property Alliance) banyak negara baik di Asia, Amerika latin maupun Eropa masuk dalam daftar Special 301 antara lain Malaysia, Taiwan, Indonesia, India, Filipina, Brasil, Dominika, Kolumbia, Rusia, Uni Eropa dan lain-lain.
Jikalau Indonesia tidak dapat memperbaiki keadaan, maka sanksinya adalah penggunaaan Special 301 yang ada pada United State Trade Act. Ketentuan ini memberikan mandat kepada pemerintah Amerika Serikat untuk melakukan pembalasan (retaliation) di bidang ekonomi terhadap Indonesia. Dalam hal ini, pasar Indonesia di Amerika Serikat yang menjadi taruhannya. Peringkat Priority watch List dapat diubah, jika Indonesia benar-benar memerangi pembajakan produk-produk yang memiliki HKI. Bagi Indonesia persoalannya bukan sekedar tuduhan Amerika Serikat itu benar atau tidak. Namun harus diakui, keluhan utama para investor Amerika Serikat adalah belum memadainya penegakan hukum di Indonesia.
IIPA (international Intellectual Property Alliance) terus memonitor perkembangan Indonesia sejak 1985. IIPA menamakan Indonesia sebagai negara pembajak terburuk kedua di Asia. Indonesia dituding sebagai surganya pembajak dalam pelanggaran hak cipta, menurut data yang dikemukakan IIPA Cina dan Taiwan yang terbesar. Cina berada pada peringkat pertama dan Taiwan peringkat kedua. Bahkan Malaysia yang dikenal sangat disiplin dalam penegakan hukum berada pada peringkat kelima.[3] Meskipun pemerintah Indonesia telah berinisiatif untuk menyapu bersih pembajakan audio sejak tahun 1988 dan upaya ini telah memperoleh kemajuan besar dalam rangka melawan pembajakan video kaset pada tahun 1991-1992, Indonesia tetap berada pada peringkat watch list. Dari tahun 1989 sampai 1995 pembajakan buku-buku dan perangkat lunak Amerika Serikat semakin meningkat. Indonesia tetap berada pada posisi Priority Watch List sampai 1999.