Home AD

Wednesday, March 21, 2012

PEMILIHAN BIBIT DOC


BAB I
PENDAHULUAN
             Proses pembangunan di Indonesia terus berkembang dengan pesat meskipun pada beberapa saat lalu sedikit menurun akibat krisis moneter yang melanda Indonesia, tapi kini berangsur-angsur mulai pulih kembali dan proses pembangunan bergairah kembali, tidak terkecuali di bidang peternakan.  Ternak unggas, khususnya ayam meskipun sempat mengalami penurunan produksi akibat krisis moneter tetapi beberapa tahun terakhir populasinya terus meningkat.  Perkembangan tersebut diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat dalam mengkonsumsi protein hewani.
            Perkembangan industri peternakan ayam yang pesat pada saat ini terutama terlihat di sekitar kota-kota besar di seluruh Indonesia, untuk memenuhi kebutuhan industri peternakan ayam tersebut diperlukan penyediaan bibit anak ayam (“day old chick” = DOC) yang baik.
            Dalam rangka penyediaan anak ayam (DOC) yang baik harus didukung oleh manajemen yang baik dan tenaga-tenaga ahli yang profesional dalam menangani masalah-masalah peternakan ayam, baik yang berada di dalam farm maupun di unit penetasan, karena DOC yang dihasilkan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan usaha peternakan ayam.
            Selain dari tata laksana yang baik untuk menghasilkan anak ayam yang baik, juga harus diperhatikan faktor pakan dan bibit dari anak ayam tersebut atau
dengan kata lain keberhasilan suatu usaha peternakan ayam merupakan interaksi antara faktor bibit suatu ternak (genetik) dengan faktor manajemen dan faktor pakan.
            Bibit sangat menentukan tinggi rendahnya produktivitas dalam suatu usaha peternakan.  Agar dapat menghasilkan bibit anak ayam yang sehat dan berproduksi tinggi, maka perlu dilakukan pemilihan dan klasifikasi terhadap DOC. 
            Pengetahuan mengenai cara pemilihan bibit yang baik perlu dimiliki oleh para peternak, karena meskipun pakan dan manajemen sangat baik, tetapi bila bibit ayam yang digunakan kurang baik mutunya, maka hal ini belum menjamin akan tercapainya produksi yang optimal dari peternakan tersebut.  Itulah sebabnya pemilihan DOC ini tidak dapat diabaikan begitu saja, karena akan mempengaruhi proses produksi dalam usaha peternakan.  Oleh karena itu dalam memilih DOC, kita harus tahu kualitas strain ayam dan perusahaan pembibit ayam yang meng-hasilkannya, sebab kualitas DOC juga selain ditentukan oleh faktor genetik juga ditentukan oleh proses penetasan pada perusahaan pembibit.
            Para peternak perlu mengetahui bahwa perusahaan pembibit yang baru berdiri belum tentu tidak dapat menghasilkan bibit yang berkualitas baik, demikian pula sebaliknya, bahwa perusahaan pembibit yang telah lama berdiri, belum tentu selalu menghasilkan anak ayam yang berkualitas baik.  Semua itu tergantung pada bagaimana perusahaan pembibit (“Breeder Farm”) tersebut menghasilkan bibit mulai dari tahapan penetasan, seleksi sampai dengan pemasarannya.
            Bagi perusahaan pembibit, tujuan dari adanya pemilihan atau seleksi dan pengklasifikasian DOC adalah untuk menjaga mutu dari bibit yang dihasilkan sesuai dengan harga yang telah ditetapkan.

BAB II
PEMILIHAN DAN PENENTUAN GRADE D.O.C.
2.1. Pemilihan Bibit Anak Ayam
            Keberhasilan suatu usaha peternakan ayam, baik ayam petelur maupun ayam pedaging sangat dipengaruhi oleh faktor bibit.  bibit merupakan faktor dasar atau genetik yang tidak bisa diabaikan, meskipun faktor bibit itu hanya menduduki 30%, dan 70% berasal dari faktor lingkungan misalnya, suhu lingkungan, pakan, tata laksana pemeliharaan dan lain sebagainya, namun kesemuanya tadi saling berpengaruh terhadap keberhasilan usaha peternakan ayam, karena apabila bibit ayam kualitasnya jelek, meskipun telah dilakukan tata laksana yang baik, kesemuanya tadi tidak akan banyak memberikan pengaruh, atau dengan kata lain menurut Wahju dan sugandi (1984), keberhasilan usaha peternakan ayam merupakan hasil interaksi antara faktor genetik (hereditas) dan faktor lingkungan.
            Dalam memenuhi kebutuhan bibit anak ayam maka diharapkan untuk mendapatkan bibit unggul.  Pada saat ini di Indonesia telah banyak bibit unggul atau strain ayam yang beredar dalam perdagangan dengan berbagai tanda dan nama serta keunggulan, misalnya strain Hybro, Hypeco, Hubbard, Kimber Chicks, Babcock, Enya Chick, Super Harco, Arbor Acres, Cobb, Lohmann, dan masih banyak lagi.  Kiranya sudah tidak merupakan kesulitan lagi dalam mendapatkan bibit unggul baik sebagai penghasil telur (layer) maupun sebagai penghasil daging (broiler).
            Tindakan pemilihan pada bibit ayam atau strain ayam yang akan dipelihara perlu dilakukan, karena banyaknya strain ayam yang beredar.  Dalam suatu usaha peternakan ayam menurut Wiharto (1985),  ada tiga cara pendekatan yang biasa dilakukan oleh peternak dalam pemilihan DOC sebagai bibit yang baik.  Ketiga cara pendekatan tersebut adalah :
1.  Pendekatan berdasarkan keturunan
2.  Pendekatan secara seleksi berdasarkan observasi penglihatan
3.  Pendekatan berdasarkan rabaan atau sentuhan.
2.1.1.  Pendekatan Berdasarkan Keturunan
            Strain ayam sebagai bibit unggul yang dihasilkan oleh pembibit (“Breeder Farm”) merupakan “final stock” yang umumnya diarahkan pada sifat ekonomis, yaitu pertumbuhan yang cepat, daya hidup yang baik dan produktivitas yang tinggi.  kualitas bibit merupakan prasyarat dalam produksi peternakan ayam dan memegang peranan pada langkah pertama dari usaha.
            Bibit ayam yang baik tentunya harus mempunyai mutu genetik yang baik pula.  Untuk dapat mengetahui bahwa bibit tersebut mempunyai mutu genetik yang baik, maka perlu adanya pendekatan berdasarkan keturunan dari bibit tersebut.  Pendekatan keturunan memerlukan fakta-fakta historis yang perlu dipelajari oleh setiap peternak.  untuk mendapatkan fakta ini harus ditanyakan pada peternak-peternak yang telah pernah memelihara bibit yang akan dibeli.
            Selanjutnya Wiharto (1985) menyatakan bahwa, telah ada “Random Sample Test” (RST) yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian Peternakan Bogor yang dapat memberikan fakta historis mengenai keungulan bibit di Indonesia.  Meskipun RST ini belum sepenuhnya meneliti strain yang ada di Indonesia, namun telah banyak membantu peternak dalam memilih bibit.
            Fakta historis yang perlu diperhatikan pada bibit ayam petelur maupun ayam pedaging adalah sebagai berikut :
1.  Pada ayam petelur (layer)
-        produksi telur ayam rata-rata tidak kurang dari 20 butir per bulan per ekor selama periode satu tahun pertama.
-        konversi pakan sekitar 2,7 (untuk menghasilkan1 kg telur diperlukan konsumsi pakan 2,7 kg).
-        angka mortalitas rendah, yaitu 1 - 5% dan
-        kualitas telur (eksterior dan interior) baik.
2.  Pada ayam pedaging (broiler)
-        pertumbuhan bulu dan bobot badan yang cepat
-        bentuk badan kompak dan padat
-        konversi pakan sekitar 2,25 (konsumsi pakan untuk menghasilkan daging seberat 1 kg diperlukan 2,25 kg).
            Selain fakta historis dari bibit, maka perlu juga diperhatikan fakta historis dari pembibit (“breeder”) dengan penekanan pada cara seleksi bibit, sumber bibit induk (‘parent stock”) resmi, tata laksana pakan yang baik, pencegahan penyakit dan cara penetasan yang baik serta organisasi yang teratur.  Hal ini penting karena pembibit merupakan tempat pertama bibit ayam (DOC)
2.1.2.  Pendekatan Secara Seleksi Berdasarkan Observasi Penglihatan

            Observasi penglihatan dalam seleksi bertujuan untuk memperoleh anak ayam yang sehat dan diharapkan akan memberikan produksi yang tinggi.
            Untuk mengetahui bahwa bibit anak ayam (DOC) tersebut sehat atau masuk dalam grade A, ditandai dengan :
-          anak ayam tampak berotot (bila dilihat menunjukkan badan yang sehat),
-          padat (bulu kelihatan kompak dan berdiri),
-          cepat menanggapi gangguan dari luar,
-          tumbuh dengan sempurna (tidak kerdil dan pertambahan bobot badan sesuai dengan standar),
-          aktif mencari pakan,
-          kondisi kotoran baik (tidak cair, tidak lengket pada kloaka),
-          lincah (tampak tanggap terhadap kondisi sekitar)
-          gesit (selalu bergerak),
-          mata cerah (bersinar dan bergairah),
-          bulu halus dan rapi (tidak kusut dan sayap tidak menggantung),
-          uniform atau seragam (dalam kelompok pertumbuhan bobot badan merata, warna bulu sama),
-          bebas diskualifikasi (tidak cacat badan seperti kaki atau paruh bengkok, mata hanya satu, mata buta, dan lain-lain).
            Bila kita mendapatkan tanda-tanda anak ayam seperti di atas, berarti kita telah mendapatkan DOC yang betul-betul sehat, sehingga memungkinkan untuk tumbuh dan berproduksi dengan baik.  Penyakit yang ada pada DOC dapat diturunkan atau terbawa secara genetis, dari penetasan atau dapat tertular dari ayam lainnya, sehingga untuk ini harus disiapkan upaya untuk pencegahannya selain melihat catatan pedigrenya.
2.1.3.  Pendekatan Berdasarkan Rabaan atau Sentuhan
            Bibit anak ayam yang baik bila dipegang atau diraba maka badannya akan terasa kompak, kukuh, berbobot dan memberikan reaksi.  untuk mengadakan pendekatan berdasarkan rabaan atau pegangan ini tidak perlu dilakukan dengan memegang seluruh DOC yang ada, tetapi cukup dengan mengambil contoh sebanyak lebih kurang 10% dari populasi.
            Pada perusahaan pembibitan dan penetasan, seleksi terhadap DOC tersebut diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu grade A, grade B dan afkir (Rasyaf, 1987).  Ciri-ciri DOC yang masuk ke dalam grade A adalah :
-          dapat berdiri dan lincah,
-          pusarnya sehat (tidak omphalitis),
-          anggota badan lengkap dan normal (tidak cacat),
-          bulu tumbuh dengan sempurna dan warna bulu sesuai dengan breednya (bangsanya),
-          warna kaki atau “shank” tidak pucat,
-          bobot tetas antara 35 - 40 gram (tergantung tipe),
-          perut tidak kembung,
-          tidak terdapat luka atau memar.
            Untuk grade B biasanya mempunyai kualitas yang lebih rendah dari grade A, sehingga harganyapun lebih rendah.  DOC yang termasuk ke dalam grade B biasanya ditandai dengan :
-          pusar yang sehat (tidak omphalitis),
-          anggota badan lengkap dan normal,
-          tidak dapat berdiri dengan tegak dan tidak lincah,
-          kaki atau “shank” pucat,
-          bulu tumbuh dengan sempurna, tapi warnanya tidak merata,
-          perut tidak kembung,
-          tidak terdapat luka atau memar.
            Anak ayam yang tidak masuk ke dalam grade A maupun grade B digolongkan ke dalam DOC afkir, yaitu DOC yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
-          menderita omphalitis,
-          perut kembung,
-          tidak dapat berdiri dan lemah,
-          pertumbuhan bulu tidak sempurna dan warnanya tidak merata,
-          anggota badan tidak lengkap atau tidak normal.
            Apabila ada salah satu ciri di atas yang ditemukan pada DOC, maka dapat dipastikan bahwa anak ayam tersebut diafkir.  Pada perusahaan penetasan, biasanya anak ayam yang diafkir ditampung oleh perusahaan pembuatan pakan ternak untuk digunakan sebagai pakan ayam atau ikan sebagai sumber protein.
2.2.  Klarifikasi Ayam Ras
            Pada saat ini umumnya dikenal dua cara klarifikasi atau pembagian ayam ras, yaitu :
2.2.1.  Klarifikasi Standar
            Adalah cara klarifikasi berdasarkan tempat ayam ras itu.  Di dalam pembagian ini, lazimnya dipakai istilah-istikah sebagai berikut :
  1. Kelas (“Class”), ialah sekumpulan atau sekelompok bangsa-bangsa ayam yang dibentuk dan dikembangkan mula-mula di suatu daerah tertentu.  Sifat-sifat yang khas yang umum dari bangsa-bangsa ayam yang terdapat dalam kelas yang bersangkutan telah disyahkan berdasarkan kriteria dalam “The American Standard of Perfection”.
  2. Varietas, yaitu sekelompok yang terdapat pada suatu bangsa ayam yang berbeda dalam bentuk jangger, warna bulu atau salah satu sifat lain.  Sehingga varietas dapat timbul di dalam bangsa dan strain.
  3. Strain, ialah hasil seleksi dalam breeding untuk tujuan tertentu.  Biasanya cenderung pada tujuan komersial atau nilai ekonomis tinggi.  Dapat pula disebut sekelompok ternak ayam yang mempunyai nilai produksi tinggi yang dapat diturunkan.
  4. Spesies atau jenis, ialah sekelompok hewan yang secara alamiah dapat mengadakan “interbreeding” satu dengan yang lain secara kontinu.
2.2.2.  Klasifikasi Ekonomi
            Klasifikasi ekonomi, ialah pembagian berdasarkan pada penggunaan atau tujuan pemeliharaan ayam dan menurut sifat produksi utamanya, yang lebih populer disebut dengan tipe ayam ras.  Tipe-tipe ayam ras yang telah dikenal, ialah :
-          Tipe petelur,
-          Tipe pedaging,
-          Tipe dwiguna,
-          Tipe fancy.
1.  Tipe Petelur
            Ayam ras tipe petelur adalah jenis ayam yang sangat efisien dalam menghasilkan    telur.  Tanda-tanda umum yang dapat dilihat :
-          temperamen mudah kaget (“nervous”),
-          badan relatif kecil dan bentuknya langsing, sehingga jumlah makanannya sedikit
-          cepat mencapai dewasa,
-          kemampuan bertelur tinggi (telur banyak dan besar)
-          sifat mengeram umumnya sudah tidak ada.
Contoh ayam-ayam tipe petelur ialah ayam-ayam dari sekitar laut tengah (Kelas Mediterranean) seperti Spanish, Blue Andalusian, Anconas, dan yang paling terkenal adalah “White Leghorn”.
2.  Tipe Pedaging
            Ayam tipe pedaging adalah jenis ayam yang efisien dalam menghasilkan daging.  Di pasaran ayam tipe pedaging dikenal sebagai ayam “Broiler”.  Pengertian dari “Broiler” sendiri adalah jenis ayam jantan maupun betina muda berumur sekitar 6 – 8 minggu, yang dipelihara secara intensif guna memperoleh produksi daging secara optimal.
            Ayam tipe pedaging mempunyai tanda-tanda umum seperti :
-          bentuk badan besar, kuat dan penuh daging,
-          temperamen lamban dan tenang,
-          kemampuan bertelur rendah,
-          pada beberapa bangsa ayam memiliki bulu pada kaki,
-          pada jenis-jenis tertentu mempunyai sifat lambat dewasa.
Contoh ayam-ayam tipe pedaging ialah ayam-ayam yang berasal dari Inggris seperti Cornish, Sussex, dan Dorking; dan ayam-ayam yang berasal dari Asia seperti Brahma, Cochins dan Langshan.
3.  Tipe Dwiguna.
            Ayam tipe dwiguna ialah ayam yang efisien dalam menghasilkan telur dan daging.  Tanda-tanda umum dari ayam tipe dwiguna  :
-          ukuran badan sedang,
-          kurang lincah dibandingkan tipe petelur tetapi juga tidak selamban tipe pedaging,
-          produksi telur cukup tinggi.
Contoh ayam-ayam tipe dwiguna ialah ayam-ayam yang berasal dari Amerika, seperti Rhode Island, Plymouth Rock, Orpington dan New Hampshire; serta dari Inggris seperti Australorp.
4.  Tipe Fancy
            Ayam tipe fancy ialah ayam-ayam untuk perhiasan dan kesenangan.  Dipelihara bukan dengan tujuan untuk menghasilkan daging atau telur, tetapi semata karena bentuk tubuh yang menarik, bulu yang indah dan sebagainya.
            Beberapa contoh ayam-ayam yang termasuk ke dalam tipe fancy ialah ayam Bantam atau dikenal sebagai ayam Bangkok (Thailand), ayam Yokohama (Jepang), Araucana (Amerika Selatan), ayam Polish (Amerika Serikat),  ayam Lafleche (Perancis),  sedangkan dari daerah Asia tenggara seperti Sumatera dan Malaysia ayam Kate dan ayam Kapas

BAB III
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BIBIT D.O.C.
             Keberhasilan dalam memperoleh anak ayam yang sehat dan baik banyak ditentukan oleh penanganan selama penetasan, selain faktor genetik dari ayam itu sendiri yang sudah dibawa sejak telur masih dalam tubuh induknya.
            Penanganan selama proses penetasan yang mempergunakan mesin penetas (inkubator) prinsip kerjanya meniru keadaan induk ayam pada waktu mengerami telurnya, hanya saja dengan mesin tetas, proses penetasan bisa berlangsung untuk sekian ribu telur sekaligus.  Untuk meniru itu perlu banyak faktor-faktor yang mempengaruhinya, terutama faktor lingkungan.  Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses penetasan dengan inkubator, agar diperoleh daya tetas yang tinggi dengan mutu DOC yang baik adalah sebagai berikut :
1.  Suhu
            Suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dalam mesin tetas tidak baik.  Temperatur yang tinggi me-nyebabkan anak ayam menetas lebih awal dan menghasilkan mortalitas embrio yang tinggi, juga akan menghasilkan dan menyebabkan embrio tidak normal, sehingga kualitas DOC yang dihasilkan menurun.  Sejumlah telur akan menetas jika suhu dipertahankan secara kontinyu antara 95 - 1040F.  Di luar interval tersebut akan menyebabkan terjadinya
 kegagalan dalam penetasan.
Suhu optimum pada mesin tetas “Forced draf” adalah  98,6 - 100,40 dan untuk mesin tetas Still air kira-kira 10F lebih tinggi. 
North (1984) menyatakan bahwa, selama 19 hari pertama pada inkubasi suhu optimumnya berkisar antara 99,5 –  99,750F atau 37,5 – 37,70C, sedangkan pada hari ke-20 dan ke-21 suhunya lebih rendah, yaitu 97 - 990F atau 36,1 - 37,20C dengan menggunakan mesin tetas jenis Forced draft, sedangkan menurun Funk dan Irwin (1955) yang dikutip oleh Rasyaf (1987), dengan menggunakan mesin tetas Forced draft selama 18 hari pertama suhu mesin tetas antara 99 - 1000F dan untuk hari berikutnya 2 - 30F lebih rendah.
2.  Kelembaban
            Kelembaban atau “relatif humadity” dalam mesin penetasan harus sesuai dengan anjuran, karena kelembaban yang terlalu tinggi dapat menyebabkan penyerapan kalsium yang berlebihan oleh emrio, sedangkan kelembaban yang terlalu rendah akan menghambat penyerapan kalsium, sehingga dapat menghasilkan embrio yang abnormal dan menyebabkan kematian embrio selama penetasan, juga penurunan kualitas DOC (Anwar, 1988).  Kelembaban yang dianjurkan untuk telur ayam selam 18 hari pertama adalah 60% dan 70% untuk hari berikutnya (Rasyaf, 1987).
3.  Pemutaran Telur
            Pemutaran telur selama inkubasi penting untuk mencegah naiknya embrio ke bagian atas telur dan melekat pada bagian dinding kerabang bagian dalam, dimana akan dapat menyebabkan kematian embrio tersebut (Anwar, 1988).  Jika embrio melekat pada bagian dinding kerabang dimana akan dilakukan pembukaan dengan paksa akan menyebabkan anak ayam lemah dan menurunkan kualitas DOC. 
            Selama waktu pengeraman selama 18 hari dalam setter telur yang ditetaskan perlu dibalik-balikkan secara teratur (900) guna mencegah embrio melekat pada dinding kerabang telur.  Paling baik bila telur dibalik setiap jam, tetapi untuk mesin tetas sederhana hal ini tidak mungkin dilakukan mengingat akan mengganggu suhu, kelembaban mesin tetas dan keadaan telur bila mesin tetas sering dibuka.  Pemutaran telur 3 - 4 kali sehari sudah cukup.
4.  Bobot Telur
            Bobot telur tetas sangat mempengaruhi kualitas dari DOC.  Telur yang terlalu besar atau terlalu kecil tidak dapat menetas dengan baik.  Bobot telur yang baik untuk ditetaskan berkisar antara 55 - 65 gram.  Bobot telur yang akan ditetaskan ini akan mempengaruhi kualitas DOC yang dihasilkan, kita ketahui bahwa terdapat korelasi yang positif antara ukuran bobot telur dengan bobot tetas anak ayam, apabila telur tetas kecil maka akan menghasilkan anak ayam yang kecil pula, sehingga akan menurunkan grade dari DOC.
            Tabel 3.1. berikut ini memperlihatkan bobot anak ayam yang dihasilkan dari sekelompok bobot telur tetas dan penentuan gradenya berdasarkan bobot anak ayam (North, 1984).
            Tabel 3.1.  Pengaruh Bobot Telur terhadap Bobot DOC dan Penentuan
                              Gradenya Berdasarkan Bobot DOC.
_______________________________________________________

  Bobot Telur                      Bobot DOC                        Grade DOC
    (gram)                                (gram)
_______________________________________________________

   45 - 49                                  29,3                                         B
   50 - 54                                  32,3                                         B
   55 - 59                                  34,6                                         A
   60 - 64                                  37,7                                         A
   65 - 69                                  41,1                                         A
_______________________________________________________
Sumber :  North, 1984.
            Faktor-faktor yang mempengaruhi bobot telur diantaranya umur induk, umur dewasa kelamin, sifat genetik, bangsa serta ransum (North, 1984).  umur induk ayam berpengaruh langsung terhadap bobot telur dan juga terhadap bobot tetas.  Bobot telur ayam akan menurun dengan bertambahnya umur induk ayam (Smith dan Bohren, 1971, dikutip dari Sandar, 1988).
            Umur mencapai dewasa kelamin akan mempengaruhi bobot telur.  Bobot telur pertama yang dihasilkan oleh induk ayam yang masih muda biasanya kecil-kecil dan memerlukan waktu relatif lebih lama untuk mencapai ukuran standar.  Hal ini disebabkan karena pada saat mulai bertelur induk muda tadi masih mengalami per-tumbuhan.  Ayam yang mencapai dewasa kelamin dini cenderung menghasilkan telur yang lebih kecil dari pada telur yang dihasilkan oleh ayam yang dewasa kelaminnya lambat atau cukup (North, 1984).
            Galur atau strain ayam berpengaruh sangat nyata terhadap bobot telur per butir (Wiharto, 1985).  Bobot telur ayam Super Harco sangat nyata lebih besar dari pada galur Hisex Brown. 
            Tingkat energi dan protein dalam ransum juga berpengaruh terhadap bobot telur.  Bobot telur akan menurun dengan menurunnya tingkat pemberian energi dan protein dalam ransum (Wiharto, 1985).
5.  Kebersihan Kerabang
            Kebersihan kerabang akan mempengaruhi DOC yang dihasilkan.  Rasyaf,(1987) menyatakan bahwa telur yang kotor kurang baik menetasnya disebabkan karena kotoran yang terdapat pada permukaan kulit telur akan menutupi pori-pori kulit telur, sehingga dapat mengganggu pertukaran udara pada waktu perkembangan embrio dan anak ayam yang dihasilkan akan lemah serta menurunkan kualitas DOC.  Kerabang telur yang tidak bersih dapat disebabkan dari kandang yang terkena kotoran, yaitu pada sistem pemeliharaan memakai litter, oleh karena itu untuk mengurangi tingkat kekotoran kerabang telur, sebaiknya pengumpulan telur dilakukan sesering mungkin, misalnya 3 kali sehari, yaitu pada pagi, siang dan sore hari.
            Kerabang telur yang tidak normal juga mempengaruhi DOC yang dihasilkan dalam suatu penetasan.  Jika kerabang telur tipis sehingga pori-porinya besar akan menyebabkan bakteri mudah masuk ke dalam telur dan penguapan yang terjadi juga besar (tidak seimbang), jika penguapan tinggi, DOC yang dihasilkan akan lemah karena kekurangan cairan dan menurunkan grade DOC.  Kerabang telur yang tipis ini dapat disebabkan oleh ransum induknya kekurangan mineral, yaitu kalsium.  Pemberian kalsium untuk ayam yang sedang berproduksi adalah 3,5 - 3,75% (NRC, 1984).
6.  Keutuhan Telur
            Telur yang retak (tidak utuh) tidak baik untuk ditetaskan, selain terjadi penguapan yang tinggi yang mengakibatkan kematian embrio karena masuknya bakteri melalui pori-pori yang terbuka.
7.  Penyimpanan Telur
            Penyimpanan telur tetas yang terlalu lama dapat menyebabkan rendahnya daya tetas, meningkatkan jumlah kematian embrio pada masa pengeraman dan berkurangnya bobot tubuh anak ayam yang dihasilkan, sehingga akan menurunkan grade DOC.  Rasyaf (1987) menyatakan bahwa, kelembaban ruang penyimpanan perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi tingginya penguapan cairan dalam telur.  Kelembaban ruang penyimpanan telur yang tinggi dapat meningkatkan daya tetas telur tetapi hanya sedikit dan memperbaiki kualitas anak ayam.  Walaupun demikian kelembaban ruang penyimpanan yang terlalu rendah tidak baik karena dapat meningkatkan kehilangan cairan dalam telur dan menurunkan daya tetas.
            Kelembaban ruang penyimpanan telur yang optimum adalah 65 - 75%.  menyimpan telur dengan posisi rongga udara di sebelah atas dapat mengurangi kehilangan air dan gas dari telur, ini berarti akan mencegah kekurang-an daya tetas disamping juga menghindari terjadinya cacat pada embrio.
            Penyakit Salmonellosis seperti pullorum dan infeksi bakteri lainnya akan menurunkan daya tetas, karena mikroorganisme tersebut dapat merusak telur.  Penyakit infeksi bronkhitis dan ND juga dapat mem-pengaruhi kualitas kerabang, sehingga telur-telur yang dihasilkan oleh induk yang menderita penyakit tersebut mudah mengalami penurunan bobot, yang pada akhirnya akan menyebabkan daya tetas dan kualitas anak ayam akan menurun

BAB IV
SISTEM PENILAIAN D.O.C.
             Menurut Rasyaf (1987), untuk keperluan pemilihan DOC ada beberapa kriteria penting yang harus diperhati-kan yang bisa diwujudkan dalam bentuk nilai atau angka atau skoring.  Di Amerika Serikat ada satu perkumpulan yang bertugas antara lain memberikan skor pada anak ayam yang baru menetas ini berdasarkan beberapa kriteria untuk keperluan, misalnya suatu lomba.  Adapun kartu skor tersebut adalah sebagai berikut :
            Kartu Skor dari Asosiasi Unggas di AS untuk DOC.
No. Pendaftaran          : ..............        Klas : ..............
Perlombaan                 : .....................................
Alamat                         : .....................................
Anak ayam datang      : .....................................
Total Nilai                   : .....................................
Uraian
Standard Skor
Nilai
Keterangan
Kekuatan (“vigor”)
25


Kondisi
25


Penyimpangan variasi warna
15


Keseragaman warna
15


Keseragaman ukuran (bobot)
10


Berat
10


Total
100



     Dari kriteria penilaian tersebut di atas, anak-anak ayam yang dudah terdaftar harus lolos dari proses diskualifikasi.  Adapun proses diskualifikasi meliputi hal-hal :
1.      Tipe jengger asing atau lain dari breed atau varietas yang seharusnya.
2.      Untuk semua breed yang dikehendaki “shank” tidak berbulu, sesuatu di bagian bawah berbulu sedikit atau banyak, berbatang, atau tumbuh seperti bulu pada “shank”, kaki, jari atau persendian, atau adanya indikasi yang dapat membuat kesalahan dari bagian bawah, bulu, batang kaki yang ditutupi dari bagian yang sama.
3.      Hanya ada satu cabang pada jengger (“single comb”).
4.      Adanya selaput renang pada kaki beberapa breed ayam, atau jumlah yang tidak normal dari jari-jari kaki untuk beberapa breed.
            Sedangkan untuk penilaian bibit DOC yang baik umumnya dilakukan berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut :
-  Warna bulu yang kuning merata (untuk semua breed),
-  Pertumbuhan bulu yang baik sesuai dengan urutannya,
-  Bentuk jengger normal,
-  Bentuk paruh normal,
-  Mata lengkap, cerah dan tidak buta,
-  Kaki lurus dan tidak memar,
-  Sayap menutup dan tidak menggantung,
-  Pusar kering,
-  Vent bersih dan selaput kaki yang normal.
            Penilaian atau skoring ini biasanya dilakukan untuk keperluan suatu perlombaan atau untuk mendapatkan lisensi dari jenis breed tertentu (standar), sedangkan untuk pemilihan sebagai bibit biasanya cukup dilakukan dengan pendekatan-pendekatan, seperti data dari keturunannya, pendekatan penglihatan (visual) dan pendekatan dengan sentuhan.

BAB V
KESIMPULAN
             Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan  bahwa :
1.      Keberhasilan suatu usaha peternakan ayam dapat dicapai bila ada interaksi yang baik dari faktor manajemen, pakan dan bibit ternak ayam yang dipelihara.
2.      Ada tiga cara yang dapat pendekatan yang dapat dilakukan untuk memperoleh bibit DOC yang unggul, yaitu pendekatan berdasarkan keturunan, seleksi dan pendekatan berdasarkan rabaan atau pegangan.
3.      Penanganan selama penetasan juga menentukan kualitas DOC yang dihasilkan disamping faktor genetik dari ayam itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
1.      Anwar.  1988.  Pengaruh tatalaksana penetasan terhadap kualitas anak ayam.    
                 Karya Ilmiah.  Fakultas Peternakan IPB : Bogor.

2.  National Research Council.  1984.  Nutrient requirements of poultry.  National
                 Academy of Sciences :  Washington DC., USA.

3.  North, M.O.  1984.  Commercial chicken production mannual.  3rd Ed.     
                The AVI Publishing Company Inc. : Westport, Connecticut.

4.  Rasyaf, M.  1987.  Pengelolaan penetasan.  Penerbit Kanisius : Jakarta.

5.  Sandar.  1988.  Pengaruh bobot telur tetas dan umur  induk terhadap
                 performans burung puyuh (“Coturnix-coturnix japonica”).  Karya
                Ilmiah.  Fakultas Peternakan IPB : Bogor.

6.  Wahju, J. dan D. Sugandi.  1984.  Penuntun praktis beternak ayam.    Fakultas  
                 Peternakan, IPB :  Bogor.

7.      Wiharto.  1985.  Petunjuk Beternak ayam.  Lembaga Penerbitan Universitas    
                 Brawijaya : Malang.

No comments:

Post a Comment