BAB I
PENDAHULUAN
Protein adalah senyawa organik kompleks yang mempunyai berat molekul tinggi. Seperti halnya karbo-hidrat dan lemak, protein mengandung unsur-unsur karbon, hidrogen dan oksigen, tetapi sebagai tambahan-nya semua protein mengandung unsur nitrogen. Kebanyak-an protein juga mengandung sulfur, dan beberapa protein juga mengandung phosphor. Berat kering suatu sel hewani hampir 50% nya adalah protein.
Protein merupakan salah satu zat makanan yang sangat dibutuhkan oleh ternak terutama untuk tujuan produksi, karena protein ini setelah dimetabolismekan dalam tubuh, dicerna dan diserap, maka akan didapatkan hasil akhir yang merupakan hasil produksi (output) dari ternak itu, yang akan menguntungkan bagi kita.
Peranan protein sangat penting dalam tubuh ternak, tidak saja sebagai penentu kualitas produksi, tapi juga untuk keperluan hidup pokok, aktivitas dan kebutuhannya disesuaikan dengan kemampuan ternak tersebut dalam mengkonsumsi protein.
Peranan protein bagi ternak ruminansia dan ternak unggas berbeda. Hal ini karena pada ternak ruminansia yang dibutuhkan adalah kualitasnya, karena pada ternak ruminansia mempunyai mempunyai empat lambung dimana salah satu lambungnya dapat mensintesa protein sendiri. Sehingga untuk keefektifan protein disini diperlukan kualitasnya (karena protein mahal, sehingga merupakan penghamburan kalau kita berikan banyak), Sedangkan pada ternak non ruminansia khususnya ternak unggas, protein diberikan sesuai kebutuhannya, sehingga dalam hal ini yang dipentingkan adalah jumlahnya (kuantitas), karena pada hewan ternak non-ruminansia, khususnya unggas yang memiliki sistem lambung tunggal dan tidak mempunyai kemampuan untuk mensintesa protein sendiri maka akan langsung mengkonsumsi protein, mencerna dan menyerapnya di usus halus. Kebutuhan tersebut bisa dihitung ber-dasarkan kebutuhan untuk hidup pokok atau produksi.
BAB II
PROTEIN
2.1. Pengertian dan Sifat Protein
Tumbuh-tumbuhan sanggup menggunakan sumber-sumber anorganik untuk membangun protein tubuhnya, sedangkan unggas dan hewan ternak lainnya sebagian besar ter-gantung pada sumber asam-asam amino (Anggorodi, 1979).
Setiap sel hidup mengandung protein. Istilah protein berasal dari kata Yunani yang disarankan oleh Berzelius, yaitu “proteious” yang berarti pertama atau kepentingan utama (Anggorodi, 1985).
Protein adalah zat organik yang mengandung unsur-unsur C, H, O, N, S dan P dengan komposisi dasar sebagai berikut :
Karbon (C) 51,0 - 55,0 %
Oksigen (O) 21,5 - 23,5 %
Nitrogen (N) 15,5 - 2,0 %
Hidrogen (H) 6,5 - 7,3 %
Sulfur (S) 0,5 - 2,0 %
Phosphor (P) 0 - 1,5 %
Protein adalh zat esensial bagi kehidupan, karena zat tersebut merupakan protoplasma aktif dalam semua sel hidup. Hal ini menunjukan bahwa protein merupakan penyusun struktur sel-sel tubuh, antibodi-antibodi, hormon dan enzim-enzim. Molekul protein merupakan sebuah polimer dari asam-asam amino yang digabung dengan ikatan-ikatan peptida.
Meskipun semua protein yang terdapat didalam tubuh hewan atau bahan-bahan makanan sering dapat digolongkan ke dalam protein secara kolektif, akan tetapi setiap protein berbeda satu sama lain. Perbedaan ini ditandai dengan kandungan asam-asam aminonya yang memberikan ke-khasan sifat fisik dan kimia serta biologisnya dari tiap-tiap protein. Beberapa sifat protein adalah sebgai berikut :
1. Merupakan koloid dan daya larutnya dalam air ber-
beda (kreatin-albumin).
2. Salting Out, protein yang larut dapat diendapkan
dari larutan dengan penambahan garam.
3. Asam-asam amino dalam ikatan peptida tidak tanggap
terhadap reaksi asam basa.
4. Amphoterik, ada beberapa gugus asam amino dan
karboksil bebas dalam sistem protein.
5. Dapat bertindak sebagai buffer.
6. Tiap sistem protein mempunyai titik isoelektrik
karakteristik.
7. Semua protein dapat mengalami denaturasi.
2.2. Klasifikasi Protein
Berdasarkan daya larut beberapa protein di dalam air, larutan garam, basa dan larutan-larutan etanol, maka secara garis besar protein dapat klasifikasi sebagai berikut :
1.Protein sederhana (protein berbentuk bulat = globular protein), yaitu golongan protein yang pada hidrolisis hanya menghasilkan asam-asam amino atau derivat-derivatnya. Protein sederhana meliputi albumin, globulin, glutelin, prolamin, histon dan protamin.
2.Protein gabungan (conjugated protein) ialah protein sederhana bergabung dengan radikal non-protein. Ke dalam golongan ini termasuk :
a. Nucleoprotein, yaitu gabungan dari satu atau lebih
molekul protein dengan asam nucleic.
b. Glikoprotein, yaitu gabungan dari molekul protein dan zat yang mengandung gugusan karbohidrat selain asam nucleic, misalnya mucin.
c. Phosphoprotein, yaitu gabungan dari molekul protein dengan zat yang mengandung phosphor selain asam nucleic atau lecithin, misalnya casein.
d. Hemoglobin, yaitu gabungan dari molekul protein dengan hematin atau zat-zat yang sejenis, misalnya hemoglobin.
e. Lecithoprotein, yaitu gabungan dari molekul protein dengan lecithin, misalnya jaringan fibrinogen (Anggorodi, 1979).
3.Protein asal Protein tersebut berasal dari protein bermolekul tinggi yang mengalami degradasi karena pengaruh panas, enzim atau zat-zat kimia. Golongan ini ter-diri dari :
a. Protein primer, misalnya protean.
b. Protein sekunder, misalnya proteosa, pepton, peptida.
2.3. Fungsi Protein
Protein dalam tubuh ternak mempunyai fungsi sebagai berikut :
1. Memperbaiki jaringan
2. Pertumbuhan dari jaringan baru
3. Metabolisme (deaminasi) untuk energi
4. Metabolisme ke dalam zat-zat vital dalam fungsi tubuh (zat-zat vital tersebut termasuk zat anti darah yang menghalang-halangi infeksi)
5. Enzim-enzim yang esensial bagi fungsi tubuh yang normal
6. Sumber hormon-hormon tertentu dalam tubuh.
BAB III
PERANAN PROTEIN BAGI TERNAK RUMINANSIA
3.1. Peranan Protein dalam Proses Produksi Susu,
Tenaga Kerja dan Wool
Pada ternak sapi perah yang telah mulai ber-produksi (laktasi) faktor makanan sangat memegang peranan penting dalam proses menghasilkan susu, baik kualitas maupun kuantitasnya. Pemberian makanan yang tidak cukup baik kualitasnya, akan sedikit menurunkan kadar protein dan SNF (Solid non-fat). Hal ini dapat ditanggulangi dengan penambahan protein dalam ransum-nya, sehingga produksi juga akan meningkat. Menurut Lubis (1963), tinggi rendahnya kadar protein suatu ransum sapi perah mempunyai pengaruh besar terhadap tinggi rendahnya hasil susu yang diperoleh. Dalam hal ini penting diperhatikan adalah kualitas protein. Disamping itu ransum harus cukup mengandung karbohidrat dan lemak. Jika keadaan ini kurang maka protein untuk pembentukan jaringan akan digunakan sebagai sumber kalori dan tenaga.
Untuk produksi tenaga kerja, peranan zat makanan organik seperti karbohidrat, lemak dan protein dapat berfungsi sebagai sumber energi. Dalam keadaan normal yang pertama digunakan adalah karbohidrat, kemudian lemak. Apabila karbohidrat dan lemak dari ransum tidak mencukupi, maka langkah terakhir yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan energi adalah penggunaan jaringan urat daging atau jaringan protein.
Serat wool sebetulnya adalah protein murni dan mempunyai susunan kimiawi yang sama seperti rambut, hanya bedanya dalam hal sisik-sisiknya yang sangat kecil yang bersusun menutupi wool. Sisik-sisik tersebut yang memberikan nilai khas pada wool sebagai bahan tenun. Pada ternak kambing, mohair mempunyai susunan kimiawi yang sama seperti serat wool, meskipun strukturnya berbeda, sehingga kebutuhan zat-zat makanan dari kambing adalah sama dengan kebutuhan pada domba, dan kebutuhan untuk kambing perah menyamai kebutuhan bagi sapi perah.
Ada dua hal yang membedakan antara pertumbuhan atau produksi wool dan produksi urat daging (tenaga kerja), yaitu :
1. Meskipun imbangan energi-nitrogen negatif, pertumbuhan wool tetap berjalan terus dengan pengorbanan dari perombakan jaringan protein lainnya.
2. Protein wool mempunyai penyebaran asam amino yang berbeda sama sekali dengan yang terdapat dalam urat daging, sehingga membutuhkan pola yang berlainan untuk pembentukannya.
Berdasarkan persentase, protein wool mengandung 10 kali
lebih banyak cystine daripada protein urat daging, suatu perbedaan yang hanya dapat diimbangi sebagian oleh kadar yang lebih tinggi dari methionin dalam urat daging.
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli menunjukan bahwa meskipun ransumnya telah di-tambah cystine atau sulfur, tidak akan mempertinggi produksi wool. Dapat diterangkan bahwa mikroorganisme dalam rumen dapat menggunakan sulfur anorganik dan sumber-sumber NPN (nitrogen non protein) untuk mem-bentuk asam-asam amino esensial tersebut.
3.2. Kebutuhan Protein untuk Produksi Susu, Tenaga Kerja dan Wool
Pada sapi perah agar dapat menghasilkan air susu, kebutuhannya tergantung pada kapasitas masing-masing sapi (Lubis, 1963). Semakin bertambah jumlah zat protein serta zat-zat lain yang diperoleh ternak dalam ransum-nya semakin banyak pula air susu yang dapat dihasilkannya.
Tinggi rendahnya kadar protein ransum sangat erat kaitannya dengan banyak sedikitnya penggunaan bahan penguat. Penggunaan ransum dengan kandungan kadar protein yang tinggi tapi pemberiannya tidak disesuaikan dengan tingkat produksi susu merupakan pemborosan, sebab biaya ransum per satuan air susu yang dihasilkan akan menjadi lebih mahal (Crampton dan Harris, 1969).
Kebutuhan protein bisa dinyatakan dalam protein dapat dicerna dan protein kasar. Jumlah tersebut akan mencukupi kebutuhan untuk laju produksi sesuai dengan anjuran, asalkan energi dan zat-zat lain terpenuhi. Komposisi asam amino dari protein ransum tidak sangat penting, karena mikroba dalam rumen dan retikulum mempunyai kemampuan untuk membentuk asam-asam amino yang dibutuhkan dari protein yang berkualitas lebih rendah dan dari sumber-sumber NPN. Di Indonesia menurut Lubis (1963), susunan ransum itu biasanya didasarkan pada protein dapat dicerna dan martabat pati yang diperhitungkan berdasarkan kebutuhan untuk hidup pokok dan produksi air susu.
Kebutuhan protein untuk produksi lebih mudah ditentukan daripada untuk pertumbuhan karena masalahnya tidak sekompleks seperti pada penentuan kebutuhan protein untuk pertumbuhan.
Beberapa peneliti sapi perah mengatakan bahwa jika ditambahkan untuk kebutuhan hidup pokok, maka cukup protein ditambahkan untuk menggantikan yang hilang dari tubuh dalam produksi susu sebesar lebih kurang 25%, kita akan mendapatkan kebutuhan minimum untuk laktasi.
Sementara ahli berpendapat bahwa tingkat protein kasar dalam ransum sebesar 13 - 14% dari bahan keringnya sudah dapat memenuhi kebutuhan untuk sapi laktasi. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa untuk sapi laktasi diperlukan protein dalam ransumnya sebesar 16 - 18% dari berat kering bagi sapi perah yang ber-produksi lebih dari 15 liter per hari.
Pada ternak kerja, dalam ransumnya dibutuhkan lebih banyak protein, mineral dan vitamin. Ternak kerja yang masih muda dan sedang tumbuh membutuhkan lebih banyak makanan daripada yang dewasa, apabila masing-masing mengerjakan pekerjaan yang sama.
Nilai setiap macam bahan makanan untuk produksi tenaga kerja bergantung pada jumlah nilai energi netto yang dihasilkan karena energi yang digunakan dalam energi termis. semuanya diubah ke dalam panas dan kemudian terbuang apabila produksi tenaga kerja atau pembentukan jaringan tubuh telah terlaksana. Ada duga-an bahwa penyediaan protein sedikit di atas kebutuhan minimum cenderung memberikan kondisi tubuh dan semangat yang baik.
Untuk ternak penghasil wool membutuhkan persediaan protein dan TDN yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi atau babi pada keadaan dewasa kelamin yang sama, karena serat wool yang dihasilkannya merupakan protein murni. Untuk ternak domba yang sedang tumbuh, domba bunting dan domba yang menyusui anaknya maka kebutuhan akan protein menjadi dua kali lebih banyak.
3.3. Kelebihan dan Kekurangan Protein
Kelebihan protein dalam ransum tidak menyebabkan gangguan kesehatan terhadap ternak yang mengkonsumsi-nya, tapi sebagian besar akan dikeluarkan melalui urine atau sebagian kecil dipergunakan untuk aktivitas pem-bentukan hormon (Makin, 1982).
Kelebihan pemberian protein dalam ransum merupakan pemborosan, karena protein harganya mahal dan sebetul-nya pada ternak ruminansia seperti ternak sapi dan domba, ada aktivitas mikroba dalam rumennya yang dapat mensintesa protein dari zat-zat makanan yang bukan protein murni (NPN).
Kekurangan protein dalam ransum yang tidak sesuai dengan kemampuan prestasi produksi, maka akan menurun-kan produksi susu dan protein ransum yang dibutuhkan untuk mempertahankan tubuh menurun atau protein tubuh yang telah terbentuk akan digunakan kembali dalam usaha untuk menutupi kebutuhan yang sebenarnya.
BAB IV
PERANAN PROTEIN BAGI UNGGAS
4.1. Peranan Protein dalam Produksi Telur
Telur, seperti halnya air susu adalah hasil sekresi dari sistem reproduksi, mekanisme endokrin, proses metabolik dan kimia faali.
Ayam petelur komersial pengeluaran telurnya dapat diatur dengan jalan mengatur konsumsi makanannya. Hal ini menunjukkan bahwa faktor makanan memegang peranan penting dalam proses produksi telur. Faktor makanan terpenting yang diketahui mempengaruhi besarnya telur adalah protein dan asam linoleat. Karena lebih kurang 50% dari bahan kering telur adalah protein, maka pe-nyediaan asam-asam amino untuk sintesis protein adalah kritis untuk produksi telur. Bila persediaan satu atau lebih asam amino rendah maka protein telur dengan komposisi asam amino yang berubah tidak akan di-sintesis.
Efisiensi penggunaan protein makanan bergantung dari kandungan asam-asam amino esensial dan asam-asam amino non esensial yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan metaboliknya. Sebagian besar ternak unggas memperoleh asam-asam amino dari pencernaan enzimatik dari protein makanan yang diabsorpsi melalui usus halus.
Ternak ayam memperoleh sebagian besar proteinnya dalam bentuk asli (alam). Molekul protein mengandung hanya sedikit senyawa yang peka terhadap aksi protein-ase. Kualitas protein makanan tertentu ditunjukan dengan mengetahui kadar asam amino esensialnya yang biasanya sangat kurang dalam suatu makanan atau kelompok makanan tertentu.
4.2. Kebutuhan Protein untuk Unggas
Protein dibutuhkan oleh ternak unggas, sebenarnya menunjukkan dibutuhkannya 10 atau lebih asam-asam amino essensial dalam protein dalam ternak unggas tersebut. Sehingga kita harus menekankan penentuan kebutuhan kuantitatif asam-asam amino essensial bagi ternak.
Kebutuhan ternak unggas akan protein dinyatakan dengan persentase protein dalam makanan dan semua baku-an mencantumkan pengurangan kebutuhan persentase protein dalam ransum dengan bertambah tuanya ternak, karena ternak yang makin tua akan menyimpan protein lebih rendah dalm tiap pertambahan berat badannya dibandingkan ternak muda.
Kebutuhan protein untuk produksi telur bergantung pada beberapa faktor, yaitu besar dan bangsa ayam, temperatur lingkungan, tahap produksi, perkandangan, luas ruang untuk ayam, air minum, tingkat penyakit dalam kandang, kandungan energi dalam ransum, cekaman akibat keadaan lingkungan yang berbeda dan kualitas protein yang terkandung dalam ransum (Thornton dan Whittet, 1960).
Ayam Leghorn putih yang sedang bertelur menyimpan sekitar 6 gram protein dalam setiap telur yang dihasil-kan, sedangkan untuk pemeliharaan jaringan protein tubuh setiap hari dibutuhkan sekitar 3 gram protein. Jadi untuk pemeliharaan jaringan protein tubuh dan produksi telur maksimum pada ayam dewasa dibutuhkan sekitar 10 gram protein setiap hari.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa untuk produksi maksimum sekitar 75 - 80% dan untuk efisiensi penggunaan ransum terbaik, maka ayam Leghorn putih harus mengkonsumsi lebih kurang 17,5 - 18,5 gram protein per hari. Kebutuhan protein tersebut diterap-kan pada ayam-ayam yang bobot dewasanya adalah 2 kg. Untuk jenis ayam yang lebih berat, kebutuhan protein sehari-hari harus ditingkatkan sekitar 1,5 gram per hari untuk setiap kilogram kenaikan bobot badan. Dengan demikian tampaknya ternak unggas khususnya ayam hanya sekitar 55% efisien dalam mengubah protein ransum ke dalam protein telur dan ke dalam protein serta senyawa-senyawa nitrogen lainnya yang diperlukan untuk hidup pokok. Menurut Lubis (1963), ayam setelah ber-umur 6 bulan sebaiknya mendapat makanan atau ransum yang kadar proteinnya lebih kurang 15%. Selanjutnya Scott et al. (1976), melaporkan bahwa kebutuhan protein untuk ayam Leghorn putih berdasarkan fase produksi yang diteliti pada musim dingin dan musim panas, dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.1 Kebutuhan Protein untuk Laghorn Putih
Berdasarkan Fase Produksi pada Daerah
Iklim Panas dan Dingin
Fase Produksi | Iklim Dingin ( % ) | Iklim Panas ( % ) |
I (prod. 78%) | 15,00 - 20,00 | 17,00 - 22,00 |
II (prod. 72%) | 13,70 - 16,80 | 15,20 - 18,50 |
III (prod. 62%) | 13,50 - 16,80 | 15,00 - 18,40 |
Sumber : Wahju, J. (1985).
4.3. Kelebihan dan Kekurangan Protein
Kelebihan protein dalam ransum untuk ternak unggas meskipun kandungan semua asam-asam amino essensial se-imbang akan menimbulkan gangguan, dimana dapat meng-akibatkan penurunan pertumbuhan, pengurangan penyimpan-an lemak tubuh dan meningkatkan kadar asam urat dalam darah serta dapat menimbulkan stress pada ayam. Hal ini dapat dibuktikan dengan terjadinya peningkatan dalam besarnya kelenjar adrenalin dan produksi adreno-kortikoid.
Pada defisiensi protein ringan, kuantitas protein yang disintesa akan menurun dan pada defisiensi berat, sintesa protein dapat berhenti, Hal ini berpengaruh terhadap berkurangnya besar telur atau berhentinya produksi.
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Protein merupakan zat makanan yang mempunyai
peranan penting dalam proses produksi, baik pada
ternak ruminansia, maupun ternak non ruminansia
khususnya ternak unggas.
2. Penentuan kebutuhan protein untuk ternak ruminansia
terutama ditekankan pada kualitasnya.
3. Penentuan kebutuhan protein untuk ternak unggas
ditekankan pada penentuan kebutuhan kuantitas asam-
asam amino essensial yang terkandung dalam protein
ransum bagi ternak.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anggorodi, R. 1979. Ilmu makanan ternak umum.
PT. Gramedia : Jakarta.
2. Anggorodi, R. 1985. Kemajuan mutakhir dalam ilmu
makanan ternak unggas. UI Press : Jakarta.
3. Crampton, E.W. dan L. E. Harris. 1969. Applied
animal nutrition. WH Freeman and Company :
San Fransisco.
4. Lubis, D. 1963. Ilmu makanan ternak. PT. Pem-
bangunan : Jakarta.
5. Makin, M. 1982. Pengaruh pemberian tingkat
protein ransum sapi perah Holstein Friesian
terhadap produksi, kadar protein dan kadar
lemak air susu. Laporan penelitian. Fakultas
Peternakan Universitas Padjadjara : Bandung.
6. Scott, M. L., M.C. Nesheim, dan R. J. Young. 1976.
Nutrition of the chicken. 3th. Ed. Ithaca :
New York.
7. Thorton, P. A. dan W. A. Whittet. 1960. Protein
requirement for egg production as influenced
by management, genetic background and dietary
energi level. Poultry Sci. 39 : 916 - 921.
8. Tilmann, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo,
S. Prawirokusumo, S. lebdosoekojo. 1986.
Ilmu makanan ternak dasar. Gadjah Mada
University Press : Yogyakarta.
9. Wahju, J. 1985. Ilmu nutrisi unggas. Gadjah
Mada University Press : Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment