Masalah berat yang dialami oleh keluarga muslim akhir-akhir ini adalah tentang pergaulan di kalangan anak-anak dan remaja. Di masa modern ini, anak yang dibesarkan dalam keluarga yang baik belum tentu bisa bertahan dengan dahsyatnya pengaruh kenakalan yang ada di sekelilingnya. Apalagi kecenderungan dalam keluarga mampu yang ‘mengabaikan’ keberadaan anak-anak mereka. Kalangan keluarga mampu merasa sudah lebih dari cukup memberikan uang kepada anak-anaknya dan memfasilitasi segala kebutuhan mereka.
Para orangtua di keluarga mampu beranggapan bahwa dengan uang yang berlebihan dan serba kecukupan,
anak sudah terpenuhi kebutuhannya. Ditambah lagi mereka sudah merasa aman
dengan penjagaan oleh baby sitter atau pembantu, supir atau satpam, sedangkan
anak-anak mereka jarang melihat kedua orang tuanya yang tidak pernah di rumah. Sang Bapak sibuk bisnis keluar negeri, dan sang Ibu super aktif di yayasan-yayasan sosial, keduanya
sama-sama jarang pulang. Padahal selain butuh materi, anak-anak juga butuh kasih sayang dari kedua orang tua mereka. Hal ini
diperparah lagi dengan ‘pendidik lain’ di rumah yang kadang-kadang peranannya
justru lebih dominan dari orang tuanya sendiri, di Barat disebut dengan idiot
box atau televisi. Dampak lebih jauh televisi terhadap perkembangan anak
bisa menjadi suara dominan dalam
kehidupan mereka dan agen utama proses sosialisasi dalam kehidupan anak.
Pada sisi lainnya, anak-anak atau remaja bermasalah
yang mempunyai latar belakang keluarga mampu yang
religius ataupun keluarga mampu yang sekuler sulit dibedakan.
Jika sudah keluar rumah, anak-anak ini memiliki banyak faktor
pembentuknya, antara lain dari lingkungan, temannya, maupun dari media televisi dan internet. Pada akhirnya, lingkungan itulah yang kemudian
mempengaruhi perkembangan anak tersebut.
Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan QS. Lukman menawarkan pada keluarga muslim,
khususnya keluarga mampu, untuk mengaplikasi konsep-konsep yang terkandung di
setiap ayatnya sebagai upaya memecahkan masalah yang terjadi terkait dalam hal
pendidikan anak. Konsep yang berangkat dari ‘konsep hikmah’ ini dapat
diterapkan dengan tahapan-tahapan berikut:
1.
Orang tua menentukan perencanaan dan
tujuan pendidikan anak, baik perencanaan jangka pendek maupun jangka panjang.
Dalam hal ini orang tua sangat berperan dalam menentukan arah pendidikan anak
sejak kecil hingga ia cukup dewasa dalam memilih langkahnya, dengan
memperhatikan minat dan bakat yang ada pada anak.
2.
Orang tua terlibat dalam proses
pendidikan anak. Meskipun kendala terbesar pada keluarga mampu adalah kehadiran
orang tua yang tidak maksimal, namun dalam hal ini orang tua tetap dituntut
untuk terlibat langsung dalam proses yang terjadi. Kehadiran orang tua tidak
harus full time, cukup tiga kali per
pekan, atau dua kali per pekan, atau satu kali per pecan pun dirasa cukup untuk
terus memantau dan mendampingi proses pendidikan tersebut.
3.
Menu pendidikan yang berupa
konsep-konsep pendidikan QS. Lukman disusun berdasarkan hierarkis yang tepat.
Misalnya, pendidikan tauhid lebih diutamakan dalam proses pendidikan anak
dibanding pendidikan ibadah. Logikanya adalah tidak mungkin anak melakukan
shalat jika tidak dikenalkan dulu untuk siapa ia beribadah. Pengenalan akhlak
dapat dikenalkan sambil memperkenalkan pendidikan ibadah, dan sebagainya.
4.
Dalam proses pendidikan keluarga
yang akan dan sedang berlangsung, orang tua dapat mendatangkan orang-orang yang
kompeten dalam pendidikan anak untuk mendukung menu-menu pendidikan yang sedang
dilaksanakan. Misalnya konsultan pendidikan, konseling anak, guru privat yang
berakhlak baik dan berilmu. Jika orang tua tidak mampu menyusun, merancang, dan
menentukan arah pendidikan anak karena ketidakmampuan mereka, jasa konsultan
pendidikan dibutuhkan untuk membantu merumuskan langkah-langkah apa yang harus
dilakukan. Dalam sebuah bisnis, untuk mencapai hasil yang sukses orang tidak
akan ragu mengeluarkan uang lebih untuk menyewa konsultan bisnis yang handal
untuk melancarkan tujuan yang dimaksud. Lalu mengapa dalam merancang masa depan
anak orang, orang tua tidak menggunakan jasa konsultasi pendidikan untuk menyukseskan
keinginannya? Demikian pula kebutuhan guru privat di rumah. Dalam hal ini, guru
yang dibutuhkan bukan seperti guru les atau kursus seperti biasa. Guru yang
dibutuhkan disini adalah guru yang selain dapat mentransfer ilmu pengetahuannya
tapi juga dapat mentransfer akhlak yang baik. Jadi, dengan kehadiran orang tua
yang minim, guru privat ini sedikit banyak dapat membantu melakukan pendidikan-pendidikan
akhlak dalam keluarga. Sedangkan konseling anak dibutuhkan untuk terus memantau
perkembangan jiwa dan kecenderungan anak dalam menghadapi lingkungannya, baik
di rumah, sekolah, atau di masyarakat.
5.
Melengkapi sarana-sarana pendidikan
untuk mendukung menu-menu pendidikan yang sedang berlangsung. Misalnya di rumah
dapat dibuat sentra-sentra kreatif anak sesuai dengan kecenderungan atau
hobinya. Contohnya untuk anak yang menyukai seni dapat dibuat ruang seni, ruang
olahraga, perpustakaan mini, pengadaan audio visual yang mendukung
pembelajaran, dan sebagainya.
6.
Melakukan rekreasi keluarga yang
bermanfaat ke berbagai komunitas masyarakat untuk melatih mengenalkan ragam
masyarakat yang ada sehingga anak dapat
mengenal ragam masyarakat di luar lingkungan tempat ia tinggal. Hal ini
bertujuan agar anak mampu beradaptasi pada tiap lapisan masyarakat, down to
earth, dan pada akhirnya kelak mampu berkomunikasi dengan baik dengan
berbagai lapisan masyarakat. Misalnya kunjungan-kunjungan ke komunitas
masyarakat petani, masyarakat pemulung, masyarakat pencinta seni, dan lain
sebagainya.
Dalam hal ini orang tua
harus memiliki wawasan pengetahuan yang luas serta dasar pengetahuan agama yang
mencukupi untuk menghindari kesalahan strategi dalam mendidik anak. Selain itu
orangtua sebisa mungkin harus mengalokasikan waktu yang cukup untuk memberikan
kesempatan bagi anak berinteraksi serta meresapi sikap-sikap Islami yang
ditunjukkan oleh orang tua dalam perilaku kesehariannya. Orang tua juga harus mengetahui empat periode dalam perkembangan kognitif anak, yaitu:
a.
Periode 1 - 2 tahun. Pada masa ini anak mengorganisasikan
tingkah laku fisik seperti menghisap, menggenggam dan memukul. Pada usia ini cukup
dicontohkan melalui seringnya dibacakan ayat-ayat suci al-Quran atau ketika
kita beraktivitas membaca Bismillah.
b.
Periode 2 - 7 tahun. Anak mulai belajar untuk
berpikir dengan menggunakan symbol dan khayalan mereka tapi cara berpikirnya
tidak logis dan sistematis. Contohnya ketika Nabi Ibrahim mencari Robbnya.
c.
Periode 7 - 11 tahun. Anak mengembangkan
kapasitas untuk berpikir sistematik. Contohnya orang tua dapat memberikan gambaran bahwa angin tidak terlihat tetapi dapat dirasakan, begitu juga dengan keberadaan Allah S.W.T. yang tidak dapat dilihat tetapi ada ciptaannya.
d.
Periode 11 - Dewasa. Kapasitas berpikirnya
sudah sistematis dalam bentuk abstrak dan konsep.
Suasana kesehatan dan
kejiwaan ibu sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak dalam
rahimnya. Rangsangan yang diberikan ibu kepada anaknya dalam rahim sangat
penting bagi perkembangan selanjutnya. Ibu sebaiknya mengaktifkan komunikasi
dengan anak sejak dalam rahim. Memasuki bulan keenam dan ketujuh masa
kehamilan, bayi mulai mendengar suara-suara seperti detak jantung ibu dan juga
suara lain di luar rahim. Semua itu didengarkan melalui getaran ketuban yang
ada dalam rahim. Suara ibu adalah suara manusia yang paling jelas didengar
anak, sehingga suara ibu selalu menjadi suara manusia yang paling disukai anak.
Anak menjadi tenang ketika
ibunya menepuk-nepuk perutnya sambil membisikkan kata manis. Hal ini akan
menggoreskan memori di otak anak. Semakin sering hal itu diulang semakin kuat
guratan itu pada otak anak. Kemampuan mendengar ini sebaiknya digunakan oleh
ibu untuk membuat anaknya terbiasa dengan ayat-ayat al-Qur’an. Karena suara
ibulah yang paling jelas, maka yang terbaik bagi anak dalam rahim adalah bacaan
ayat al-Qur’an oleh ibunya sendiri, bukan dari tape atau radio atu dari yang
lain. Semakin sering ibu membaca al-Qur’an selama kehamilan semakin kuatlah
guratan memori al-Qur’an di otak anak. Masa usia 0 – 2 tahun
didominasi oleh aktivitas merekam, sedangkan masa usia 3 – 5 tahun didominasi
oleh aktivitas merekam dan meniru.
Pada
masa sekarang, umumnya perkembangan anak lebih cepat sehingga aktivitas meniru
muncul lebih cepat. Pada masa-masa inilah lingkungan keluarga memberikan
nilai-nilai pendidikan lewat kehidupan keseharian. Semua orang yang berada di
lingkungan keluarga harusnya memberikan perlakuan dan teladan yang baik secara
konsisten. Ketika anak sudah mulai bermain ke luar rumah pada masa usia 3 – 5
tahun keluarga harus sudah bisa membentengi anak dari nilai-nilai atau
contoh-contoh buruk yang ada di luar rumah.
Sedangkan
masa usia 3 – 10 tahun merupakan fase-fase cerita dan pembiasaan. Pada
saat inilah terdapat lapangan yang luas bagi orangtua untuk menjalankan ‘konsep
hikmah’ yang ada dalam QS. Lukman. Konsep ini bisa diterapkan dengan berbagai
cara, misalnya, menanamkan nilai-nilai kebaikan lewat cerita, menggali
cerita-cerita al-Qur’an dan sejarah perjuangan Islam, membiasakan ibadah, dan
lain-lain.
Masa
usia 6 – 10 tahun adalah masa pengajaran adab, sopan santun, dan ahlak yang
baik. Juga merupakan masa pelatihan pelaksanaan kewajiban-kewajiban muslim
seperti sholat dan shaum. Rasulullah S.A.W bersabda, “Apabila anak telah mencapai usia 6 tahun, maka hendaklah ia diajarkan
adab dan sopan santun.” [HR. Ibnu
Hibban]. Dalam hadits yang lain Beliau mengatakan, “Suruhlah anak-anakmu
mengerjakan sholat pada usia 7 tahun dan pukullah mereka pada usia 10 tahun
bila mereka tidak sholat, dan pisahkan mereka dari tempat tidurnya (laki-laki
dan perempuan)” (HR. al-Hakim
dan Abu Dawud).
Masa
akhir anak-anak, yaitu usia 10-14 tahun
merupakan rentang usia dimana anak-anak umumnya memasuki masa baligh. Jadi
masa ini anak-anak sudah dekat sekali atau bahkan sudah baligh.
Karenanya pada masa ini pemberian tugas sudah harus dilengkapi dengan sanksi
apabila mereka tidak menjalankan tugas yang diberikan. Setelah usia 10 tahun,
walaupun mereka belum baligh, kita sudah harus memukul mereka agar
mereka menjadi lebih disiplin dalam menjalankan shalat. Tentunya nasehat
dalam bentuk verbal juga tidak ditinggalkan.
Dari proses
pendidikan yang digambarkan di atas dapat difahami bahwa sesungguhnya ibu bukan
satu-satunya pihak yang bertanggung jawab akan pendidikan anak di dalam
keluarga. Namun memang tidak dapat
disangkal bahwa ibu adalah pihak yang paling dominan pengaruhnya dalam
keberhasilan pendidikan anak karena ialah orang yang pertama kali memberi warna
pada anak. Selain itu ibu adalah pihak yang paling dekat dengan anak sehingga
dialah yang paling mudah berpengaruh pada anak. Tidak aneh ketika Islam
menempatkan ibu sebagai suatu posisi utama bagi seorang wanita. Tugas-tugas
sebagai seorang ibu harus didahulukan pelaksanaannya apabila berbenturan dengan
pelaksanaan dengan aktivitas lain.
Persoalannya
adalah tidak semua orang dapat memenuhi kriteria-kriteria di atas yang
disebabkan orang tua, terutama ibu, tidak memiliki wawasan pengetahuan yang
mumpuni, khususnya di bidang pendidikan anak dan nilai-nilai dasar Islami.
Terlebih, kehadiran ibu dalam keluarga mampu sangat minim. Ibu seperti halnya
Bapak memiliki kesibukan-kesibukan di luar yang ‘enggan’ ditinggalkan. Dalam
situasi semacam ini orang tua perlu mengambil langkah-langkah di atas sebagai
upaya mengantar anak menuju pintu gerbang masa depan yang cerah, sehat dan
agamis. Salah satunya adalah mendatangkan guru privat. Secara tekhnis, guru
privat ini bisa didatangkan pada waktu usia anak di bawah dua belas tahun untuk
mengajarkan nilai-nilai dasar Islam, termasuk cara membaca al-Qur’an dan
Hadits. Pada usia tiga belas tahun sampai dengan delapan belas tahun kandungan
makna al-Qur’an dan Hadits mulai diajarkan dengan metode yang praktis,
sistematis dan komprehensif, mengingat pada periode ini anak sudah mulai
disibukkan dengan pelajaran-pelajaran di sekolah. Selain itu penggunaan gadget-gadget dapat menarik anak
untuk mengikuti proses pendidikan yang diajarkan. Arahkan anak pada penggunaan
positif sambil menjelaskan tentang dampak negatifnya.
Dengan demikian
diharapkan ketika memasuki bangku kuliah anak sudah memiliki gambaran yang utuh
dan komprehensif tentang Islam, beserta nilai-nilai abadi yang terkandung di
dalamnya. Sehingga ia tidak akan mudah menyerah terhadap tekanan-tekanan dan
pengaruh-pengaruh luar yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Minimal ia akan tahu ke
mana jalan untuk kembali ketika
melakukan
penyimpangan-penyimpangan dari nilai-nilai Islam akibat pengaruh eksternal yang sangat kuat.
Sedangkan
untuk mengenalkan Allah S.W.T. dalam kehidupan anak dapat melalui proses
pendidikan antara lain:
a.
Menciptakan hubungan yang hangat dan harmonis
b.
Jalin hubungan komunikasi yang baik dengan anak, bertutur kata lembut,
bertingkah laku positif.
c.
Menghadirkan nilai tauhid melalui aktivitas rutin, seperti
ketika kita bersin ucapkan Alhamdulillah, ketika kita memberikan uang
jajan katakan bahwa uang itu titipan Allah jadi harus dibelanjakan dengan baik
seperti beli roti.
d. Memanfaatkan momen religius, Seperti Sholat bersama,
tarawih bersama di bulan ramadhan, tadarrus al-Qur’an, buka shaum bersama.
e. Memberi kesan
positif tentang Allah. Kenalkan sifat-sifat baik Allah
Jangan mengatakan “nanti Allah marah kalau kamu berbohong” tapi
katakanlah “ anak yang jujur disayang Allah”.
f.
Beri teladan. Anak akan bersikap baik
jika orang tuanya bersikap baik karena anak menjadikan orang tua model atau
contoh bagi kehidupannya.
Selain itu,
untuk kebutuhan pendidikan formal anak orang tua dapat menyekolahkan anak di
lembaga-lembaga Islam semacam pesantren modern yang saat ini sudah banyak
memiliki sekolah-sekolah umum yang berkualitas. Namun menurut peneliti,
memasukkan anak sejak TK sampai SMU di lembaga-lembaga pendidikan yang memakai
lebel Islam, misalnya yayasan Muhammadiyah, yayasan NU, yayasan al-Azahar dan
lain-lain tidak begitu efektif. Salah satu sebabnya adalah karena kurang
komprehensifnya kurikulum keislaman di dalamnya. Kendatipun begitu, ini jauh
lebih baik dibanding, misalnya, memasukkan anak ke sekolah-sekolah non-Muslim yang minim pendidikan agama Islam.
Hanya
yang harus diperhatikan adalah pemilihan sekolah. Dengan berjamurnya
sekolah-sekolah Islam, mulai dari terpadu hingga bersistem Internasional, banyak dari sekolah-sekolah tersebut menawarkan bentuk pendidikan yang hanya menambahkan kata-kata Islam di
belakang sekolahnya namun konsep yang digunakan tidak jelas, masih
mendikotomikan antara Islam dan umum, serta belum mengintegralkan Islam ke
dalam pendidikan sekolah.
Untuk mencapai tujuan menciptakan dan melahirkan anak-anak shaleh dambaan
orang tua, sangat diperlukan adanya peran orang tua untuk memilih dan
menerapkan ide-ide cemerlang dan efektif. Selain itu, hubungan orang tua dengan
anak juga mengambil peran penting bagi keberhasilan anak. Jadi, tidak ada alasan
bagi orang tua untuk tidak mendidik anaknya sejak usia dini.
Kehidupan keluarga saat ini baik di kota besar maupun di desa berubah
semakin kompleks, terutama dalam hal permasalahan pengasuhan anak. Orang tua
yang sibuk bekerja di luar rumah meninggalkan anak-anaknya yang di asuh oleh
pembantu atau keluarga terdekat. Maka, hubungan orang tua dengan anakpun
menjadi renggang. Komunikasi antara orang tua dengan anak menjadi terbatas
yaitu ketika pulang dari kerja. Walaupun sekarang dengan komunikasi yang serba canggih, anak-anak di fasilitasi alat komunikasi berupa
handphone. Secara psikologis anak bukan hanya memerlukan komunikasi via handphone tetapi anak juga memerlukan
dekapan dan kasih sayang kedua orang tuanya khususnya ibu.
Sekarang ini banyak dijumpai para orang tua yang menghantarkan anaknya ke
sebuah lembaga pendidikan dengan tujuan menjadikan anaknya menjadi anak yang
cerdas, anak yang bisa di harapkan orang tuanya kelak di masa mendatang. Namun,
pendidikan yang diperoleh anak di sekolah ternyata tidak seperti yang
diharapkan orang tua dan hasil nilai-nilai ujian anak yang kurang memuaskan
orang tua. Lantas orang tuapun menuntut
sekolah atau memarahi anak dengan dalih kekecewaan terhadap pendidikan anak. Tetapi, lagi-lagi orang tua harus banyak introspeksi diri. Selaku orang tua sudah berapa banyak yang dilakukan terhadap pendidikan anak.
Orang tua seharusnya memiliki
kualitas diri yang memadai, sehingga anak-anak akan berkembang sesuai dengan
harapan. Artinya orang tua harus memahami hakikat dan peran mereka sebagai
orang tua dalam membesarkan anak, membekali diri dengan ilmu tentang pola
pengasuhan yang tepat, pengetahuan tentang pendidikan yang dijalani anak, dan ilmu
tentang perkembangan anak, sehingga tidak salah dalam menerapkan suatu bentuk
pola pendidikan terutama dalam pembentukan kepribadian anak yang sesuai denga
tujuan pendidikan itu sendiri untuk mencerdasakan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan
bertaqwa terhadap Allah dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri
serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Pendampingan orang tua dalam pendidikan anak diwujudkan dalam suatu
cara-cara orang tua mendidik anak. Cara orang tua mendidik anak inilah yang
disebut sebagai pola asuh. Setiap orang tua berusaha menggunakan cara yang
paling baik menurut mereka dalam mendidik anak. Untuk mencari pola yang terbaik
maka hendaklah orang tua mempersiapkan diri dengan beragam pengetahuan untuk
menemukan pola asuh yang tepat dalam mendidik anak.