Antropolog Marvin Harris
(1999: 164) berpendapat
bahwa salah satu ciri mendasar kapitalisme ialah komodifikasi
hampir semua
barang dan jasa, termasuk
tanah dan tenaga kerja. Komodifikasi
adalah proses menjadikan sesuatu yang sebetulnya bukan komoditi menjadi komoditi atau sesuatu yang
bisa diperjualbelikan.
Kapitalisme
beserta ciri komodifikatifnya
ini bukanlah sistem perekonomian yang sejak azali mengada.
Jantung yang membuatnya tetap hidup sebagai
sebuah sistem perekonomian adalah hubungan
produksi
khas yang disebut
kerja-upahan.
Sebagai pranata terpokok kapitalisme,
kerja-upahan mensyaratkan
sejumlah besar golongan sosial tanpa sarana produksi sehingga satu-satunya
jalan bagi
mereka mendapatkan sandang, pangan, papan ialah dengan menjual tenaga kerja mereka sendiri.
Max Weber, sosiolog Jerman,
meski
banyak dinilai memiliki pandangan berbeda tentang
kapitalisme
dari pandangannya Karl
Marx, pernah menyatakan
juga
bahwa salah satu ciri pokok yang
membedakan perekonomian
tradisional dengan kapitalisme
modern ialah pengorganisasian rasional
atas pekerja upahan bebas (Weber,
2001:
22-23). Tanpa golongan
orang yang mengandalkan
hidupnya dari menjual tenaga kerja, suatu perekonomian belum bisa dikatakan
kapitalisme
meski di dalamnya
produksi
komoditi, pasar, dan
dorongan pencarian keuntungan
menjadi unsur utamanya.
Weber
juga menegaskan
bukan sekadar
adanya orang-orang yang hidup dari menjual tenaga kerjanya, tetapi juga “yang bisa dipekerjakan
secara murah di
pasar tenaga kerja
merupakan sesuatu yang perlu untuk
perkembangan kapitalisme” (Weber, 2001: 24-25).
Proletarisasi atau proses terciptanya golongan sosial yang hidup dari menjual tenaga kerjanya tidak terjadi begitu saja. Bukan pula karena Tuhan telah mentakdirkan
segolongan orang menjadi pekerja sementara
segolongan orang
lainnya
bisa hidup
hanya sebagai
pemilik sarana produksi.
Perlu perubahan
revolusioner di dalam
kehidupan
sosial untuk terciptanya golongan-golongan
sosial ini. Perubahan ini
tidak
hanya dalam
arti harus besarnya proporsi mereka yang hidup dari menjual tenaga
kerjanya,
tetapi juga dalam arti perubahan
ini
berujung pada pewajaran atas apa yang telah dicipta-
kannya, baik oleh mereka yang dihisap
tenaga kerjanya maupun oleh mereka
yang berkedudukan
sebagai penghisap.
Di dalam prasejarah kapitalisme, golongan sosial yang hidup dari menjual tenaga kerjanya pertama-
tama diciptakan dari golongan
produsen langsung, yaitu mereka
yang memenuhi kebutuhan hidup
dari hasil mencurahkan tenaga kerja
mereka sendiri seperti kaum tani, pengrajin tradisional,
dan
kaum pengusaha
kecil-kecilan prakapitalis. Golongan ini dibedakan dari golongan tidak produktif yang hidup
dari mengambil hasil jerih payah
atau kerja orang
lain seperti para
tuan tanah,
kaum rohaniwan,
bangsawan, pencuri, dan tentara. Kembali ke soal proletarisasi,
golongan kaum tani penggarap dan
pengrajin
dari formasi sosial prakapitalis harus dipisahkan dari
sarana produksi
dan
sarana hidupnya. Sarana produksi dipisah-
kan dari produsen
langsungnya
dengan dipaksakannya
pranata hak milik pribadi
absolut modern atas
tanah.
Mereka yang terputus
ikatannya dengan sarana produksi mau tidak mau
harus menjual
tenaga kerjanya
kepada mereka yang memiliki sarana produksi. Ketika
keadaan ini meluas secara
massal,
barulah perekonomian
kapitalis mungkin
untuk muncul dan
berkembang.
Itulah arti pernyataan antropolog
Eric Wolf bahwa “kapitalisme menjadi kapitalisme haruslah
kapitalisme dalam produksi”
(Wolf, 1990: 79). Kapitalisme baru benar-benar bisa disebut kapitalisme apabila jantung
hidupnya, yaitu
rasionalisasi
perolehan laba berkelanjutan
melalui eksploitasi tenaga kerja, memasuki ranah
produksi
masyarakat. Dalam arti ini kapitalisme bukanlah suatu corak
komersial, tetapi corak produksi.
Di dalamnya orang-orang
dipilah-pilah berdasarkan hubungannya
dengan akses dan kepemilikan
sarana
produksi. (Dede Mulyanto)