Pemisahan
produsen langsung
dari
sarana
produksinya
tentu
bukan dalam arti penciptaan
jarak
spasial,
tetapi jarak antropologis. Ada batas-batas
atau sekat kepranataan, yaitu hak milik pribadi
absolut
atas sarana produksi. Golongan
sosial tanpa sarana
produksi
harus melewati pintu-pintu
kepranataan
seperti sewa atau
kerja-upahan
untuk bisa mendapatkan manfaat atas sarana
produksinya. Mulai akhir abad ke-16, di Eropa bagian barat, terutama
Inggris, seiring dengan
runtuhnya perekonomian feodal dan berkembangnya industri
di wilayah perkotaan, berlangsung
proses pemisahan produsen
langsung dari sarana
produksinya di wilayah pedesaan. Meski
terjadi berangsur-angsur, tetapi peristiwanya begitu brutal.
Kaum tani
diusir dari dan
tidak lagi
bisa memanfaatkan
lahan garapan.
Di banyak
penjuru
pedesaan
Inggris, lahan-lahan garapan feodal, termasuk di dalamnya lahan-lahan bersama yang disebut
commons, dipagari, dikapling-kapling, dan
disahkan menjadi milik pribadi golongan elite. Perampasan-perampasan ini didukung perundang-undangan
yang dibuat wakil-wakil
golongan elite di parlemen.
Dengan dukungan legal, golongan elite bisa mengelola lahan-lahan
rampasan itu secara kapitalistik. Entah dengan
mengelola
usaha pertanian yang
memproduksi
barang komoditi yang
diperlukan industri, atau menyewakannya
kepada pebisnis perkotaan yang
sedang terbentuk dan
sedang giat-giatnya mengembangkan peternakan domba untuk produksi wol. Memang saat itu
hingga menjelang akhir abad ke-18,
banyak kaum borjuis
Inggris sedang
berlomba-lomba
memperluas cakupan operasi
produksi usahanya
demi ekspor komoditi
terpenting Inggris di awal kapitalisme
itu
ke pasar dunia. Bagaimanapun juga,
terbentuknya koloni-koloni di seberang lautan menciptakan pasar
baru bagi barang-barang industri
Inggris.
Petani-petani
feodal yang
sebelumnya
tinggal dan hidup dari lahan-lahan garapan harus memilih hengkang atau dituduh pembangkang hukum. Sebagai
pembangkang mereka bisa diajukan ke muka pengadilan karena dianggap melanggar
hukum sah dan norma
suci hak kepemilikan pribadi model borjuasi yang saat itu sedang
disahkan menjadi model universal
melalui kolonisasi.
Seperti diamati
sejawaran Michel Foucault,
mulai
sejak abad ke-17
“kepemilikan
menjadi kepemilikan absolut: semua
„hak‟ yang ditoleransi, yang telah diperoleh
atau dipelihara
kaum tani
selama ini...sekarang ditolak”
(Foucault, 1978: 85). Tidak ada lagi pintu untuk kepemilikan
berdasarkan kerja. Orang bisa memiliki lahan tanpa menggarapnya. Orang bisa memiliki
hasil dari lahan dengan mengambil hasil kerja orang lain.
Semua jenis lahan yang secara hukum tertulis menjadi milik seseorang, meskipun bukan berasal
dari
upayanya menggarap,
tidak
bisa lagi dimanfaatkan
oleh mereka yang bisa menggarapnya.
Proses pengkaplingan
lahan
dengan model kepemilikan absolut khas borjuasi beserta pengusiran kaum tani penggarap darinya ini di
dalam sejarah
Inggris
kemudian
dikenal sebagai Enclosure. Proyek-
proyek enclosure, entah itu di
kampung halamannya
kapitalisme
Eropa Barat
saat
itu, maupun hingga sekarang di negeri-negeri
pinggiran kapitalis seperti Indonesia,
dalam pandangan
antropolog ekonomi Karl Polanyi “layak disebut sebuah revolusi kaum
kaya
melawan kaum
miskin”
(Polanyi,
2001: 37). Mengapa demikian? Proses pengkaplingan
secara dialektis berkelindan
dengan penciptaan pranata-pranata sosial yang cocok dengan model kepemilikan
pribadi kapitalis. Pranata pertama
ialah
kerja-upahan
dan pasar tenaga kerja. Di dalam kerja-upahan
seseorang bekerja
kepada
pihak
lain dengan upah berupa
sejumlah
tertentu uang yang harganya ditentukan permintaan dan penawaran di pasar tenaga kerja.
Bersama-sama dengan munculnya hubungan kerja-upahan, pranata-pranata lain juga
berkembang. Dua di antaranya yang terpokok
ialah
pasar tanah
dan pasar uang. Kedua-dua pranata ini merupakan penyokong
keberlanjutan pranata kepemilikan
pribadi
model
borjuis yang memungkinkan
akumulasi
kekayaan pada segelintir
orang.
Tanah
dijadikan barang
dagangan.
Begitu
pula dengan uang. Harga keduanya ditentukan
pasar.
Pasar adalah
pranata yang menata jejaring sosial pertukaran dengan
berbasiskan penawaran dan permintaan. Simpul penghubung satu-satunya
dalam berhubungan
di dalam pasar
adalah
uang. Siapa
saja yang memiliki
sejumlah
tertentu uang bisa secara efektif mendapatkan
barang atau jasa apapun yang dikehendaki seharga nilai uang yang dimilikinya. Meski kapitalisme tidak bisa ditandai
hanya oleh
keberadaan pasar, pasar merupakan pranata pokok karena menjadi satu-satunya pranata pertukaran yang sah di bawah kapitalisme. Dalam pandangan antropolog Karl Polanyi, kemunculan
pasar yang dianggap menata dirinya sendiri hanya melalui permintaan dan penawaran
sebagai satu-
satunya patokan, merupakan
suatu keganjilan historis. Di dalam pasar kapitalis, semua hasil produksi ada hanya untuk dijual,
dan
semua pendapatan hanya ada untuk membeli. Harga semua hal yang ditawarkan dan
diminta ditentukan sepenuhnya oleh seberapa
besar penawaran dan permintaan yang muncul di pasar. Inilah hukum dasar
pasar swatata
(self-regulated market).
Di bawah kapitalisme, pasar
bukan hanya pranata
pertukaran. Tidak seperti pasar-pasar
pra-
kapitalis, pasar model kapitalis beserta hukumnya
ini
menjadi pranata komodifikasi
dan
akumulasi.
Segala
hal
yang bisa
menghasilkan
keuntungan bagi
golongan
pemilik sarana produksi akan
diperlakukan sebagai komoditi.
Seperti wabah, logika
pasar kapitalis merambah ke
segala hal, termasuk
ke
sesuatu yang
secara empiris bukanlah komoditi. Pada mulanya
mereka hanya mengkomodifikasi tenaga kerja, tanah, dan uang. Kemudian
mereka mengkomodifikasi segala hal, termasuk sekarang
ini organ tubuh,
rasa aman, kebahagiaan, dan
lambang keagamaan.
Di bawah
pasar kapitalis harga
tenaga
kerja, tanah, dan uang
diperlakukan sama dengan komoditi.
Muncul nama khusus untuk harga
ketiganya, yaitu upah, sewa, dan bunga. Antropolog
ekonomi
Karl Polanyi (2001: 73-4)
melihat gejala ini sebagai suatu keganjilan historis, karena,
betapa tidak, menurutnya,
“tenaga kerja
hanyalah
nama lain dari kegiatan
manusia yang mengada
seiring
dengan kehidupan mereka sendiri dan karenanya direproduksi
bukan untuk dijual” (Polanyi,
2001: 75), tetapi pasar tenaga kerja telah
menjadikan “kehidupan itu sendiri”
tak
lebih dari sekadar sarana
perolehan laba para pemodal. Tidak
sama dengan komoditi, tenaga kerja
ada
di dalam diri manusia.
Tenaga kerja
bukan sesuatu yang ada
di
luar kehidupan.
Tidak bisa ia dipisahkan
dari kehidupan, lalu
disimpan atau dikerahkan untuk dijual layaknya
mengerahkan gelondongan
kayu jati dari hutan (Polanyi 2001: 75-6).
Begitu pula yang terjadi dengan
tanah. Tanah tiada lain adalah alam yang tidak diproduksi
manusia. Di bawah kapitalisme,
tanah menjadi
faktor produksi
penting.
Di atas bidang
tanahlah
kegiatan produksi dilakukan. Karena
kedudukan
vitalnya inilah harga
tanah tercipta dan dengan itu pula pasarnya.
Dalam pandangan
antropolog Frederic Pryor, secara
praktis,
muncul dan merebaknya pasar
tanah menyediakan saluran yang memudahkan
kapitalis
menginvestasi uangnya ke dalam
produksi. Dalam kerangka kepe- milikan pribadi
absolut-formal model borjuis, tanah milik bisa digadaikan, disewakan, dan digunakan sebagai jaminan kredit ke bank komersial untuk membiayai kegiatan industrial
(Pryor,
2005: 140). Penciptaan pasar tanah merupakan prasyarat penting
muncul
dan
berkembang- nya kapitalisme industrial; bentuk sejati kapitalisme. Dalam pandangan Polanyi,
pelekatan sifat komoditi kepada
tenaga kerja dan tanah yang disertai oleh munculnya
pasar atas
keduanya
tiada lain hanyalah khayalan belaka. Tetapi khayalan ini merupakan sesuatu yang diperlukan untuk mendukung
tegaknya
perekonomian
kapitalis yang rakus komodifikasi.
Seiring
dengan
penghancuran
formasi sosial nonkapitalis dan
pemisahan
golongan produsen langsung dari tanah garapan dan
sarana produksi,
di bawah asuhan
pasar kapitalis inilah
masyarakat terpilah menjadi dua lapisan sosial, yaitu mereka yang memiliki
sarana
produksi
serta uang, dan mereka
yang tidak memiliki
atau terbatas akses terhadapnya.
Golongan pertama disebut Marx sebagai kapitalis karena mereka
menguasai
dan hidup dari sekadar memiliki
kapital
(sarana produksi dan uang),
sedangkan yang kedua disebut proletariat
karena tidak menguasai
apapun selain kemampuannya bekerja. Sumber utama
pendapatan kapitalis ialah laba, bunga
atau riba,
dan sewa dari
jerih payah mereka
memiliki kapital, sedangkan sumber
pendapatan
utama proletar ialah upah dari menjual tenaga kerja mereka kepada orang lain. (Dede Mulyanto)