Menurut Louis Kelso dan Mortimer
Adler, dalam konsep keadilan ekonomi, terdapat tiga prinsip esensial yang bersifat
interdependen, yaitu partisipasi,
distribusi, dan harmoni. Ketiganya
menopang bangunan keadilan ekonomi dalam masyarakat. Jika satu di antaranya hilang, niscaya
bangunan
keadilan
menjadi runtuh.
Dalam prinsip partisipasi terkandung pengertian bagaimana setiap orang
bebas berpartisipasi untuk memberikan masukan (input) ke dalam proses ekonomi untuk membangun kehidupan bersama. Harus ada kesempatan yang sama bagi semua orang (equal opportunity),
baik untuk memperoleh hak milik pribadi ataupun
terlibat dalam pekerjaan produktif.
Prinsip partisipasi ini tentu
belum atau
tidak
menjamin
hasil yang sama
(equal results).
Prinsip
partisipasi hanya membuka akses bagi semua untuk
ikut serta dalam proses produksi, baik dengan dirinya sebagai pekerja (as a worker) ataupun dengan kekayaannya sebagai pemilik (as an
owner). Karena
itu,
keadilan ekonomi menolak
monopoli, hak-hak khusus dan rintangan-
rintangan yang bersifat eksklusif lainnya.
Sedangkan prinsip distribusi berurusan
dengan soal hasil, soal keluaran (output)
yang diperoleh dari
sistem ekonomi
bagi
setiap orang
(worker) dan
bagi
setiap capital
(owner). Melalui pola distribusi kekayaan
pribadi dalam pasar yang bebas dan terbuka, keadilan distributif
(distributive justice) secara otomatis terkait dan harus terkait secara berimbang dengan keadilan
partisipatif (participative
justice),
dan pendapatan
menjadi terkait dengan peranserta
dalam proses
produksi (productive contributions).
Dalam praktik, seringkali timbul konflik pengertian antara prinsip keadilan distributif ini
dengan konsep „charity‟ atau „welas asih‟. Konsep „charity‟ menyangkut ide “bagi semua sesuai
kebutuhannya” (to each according
to his needs), sedangkan dalam prinsip distributive justice, ideanya adalah “bagi semua
sesuai
dengan kontribusinya” (to each
according to
his contribution).
Kesalahpahaman
mengenai kedua pengertian
ini sering menimbulkan dua
cara
pandangan ekstrim pada masing-masing
posisi, sehingga menimbulkan perdebatan dan bahkan konflik yang
tidak berkesudahan. Yang
satu terlalu menekankan doktrin
kesucian hak milik dan
kesucian kontrak (the sanctity of property and the sanctity
of contract), sedangkan yang
lain
menekankan pentingnya intervensi pemerintahan Negara untuk mempertahankan atau memaksakan tegaknya tata social yang
berkeadilan. Menurut Kelso dan Adler, konsep distribusi yang sebenarnya harus dipisahkan dan tidak boleh dikacaukan dengan pengertian „charity‟ yang
demikian
itu. Distribusi bukan sedekah atau karitas.
Dalam keadilan distributif,
yang diutamakan adalah bekerjanya sistem pasar bebas dan
terbuka (feee and open marketplace), bukan pemerintah. Pasar bebas dan terbuka itulah yang
dianggap merupakan sarana paling objektif
dan demokratis dalam menentukan harga (price), upah (wage), dan keuntungan (profit) yang adil. Namun demikian, tanpa peran negara
sebagai
pengendali,
distorsi dalam sistem pasar yang bebas akan menciptakan ketidakadilan
dalam dirinya
sendiri. Seperti dikemukakan oleh
Joseph Stieglitz, selalu ada
„asymetrical information‟ dalam mekanisme kerja pasar bebas yang
menyebabkan kebebasan itu sendiri menjadi tidak adil
dalam dirinya sendiri. Karena itu,
peran intervensionis
negara
tetap harus terbuka kapan saja dan untuk
hal apa saja intervensi itu diperlukan. Intervensi Negara
itu
bahkan bukan hanya boleh
tetapi wajib dilakukan memastikan
keadilan yang
sebenarnya dapat diwujudkan.
Karena itu, pandangan Kelso dan Adler tersebut
di atas dapat dianggap terlalu
liberal untuk mengabaikan kebutuhan akan doktrin ‘charity’ sebagai kenyataan dengan hanya
mengakui
peran
pasar
dalam mekanisme
„partisipasi dan distribusi‟ untuk keadilan ekonomi. Dalam praktik, diperlukannya „charity‟ di
samping „distribusi‟ merupakan kenyataan alamiah
dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan, prinsip partisipasi dan distribusi itu sendiri dalam praktik tidak pernah bersesuaian secara penuh, sehingga selalu saja timbul konflik sebagai akibat ketidakseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat. Itu sebabnya, dibutuhkan prinsip yang
ketiga, yaitu harmoni, seperti yang
dibayangkan oleh Kelso dan Adler sendiri. Justru dalam rangka
harmoni itulah diperlukan peran negara dan peran pasar secara seimbang. Dalam rangka
sistem distribusi yang berkeadilan, harus ada peran pasar dan negara
sekaligus. Bahkan
seharusnya sistem distribusi terkait erat dengan tiga ranah kekuasaan negara (state), kekuatan
masyarakat (civil society), dan kekuatan
pasar (market)
sekaligus. Bagaimana pun,
dalam mekanisme hubungan sinergis di antara ketiga cabang
kekuasaan negara, pasar, dan masyarakat
selalu diperlukan peran pengendali utama, yang berfungsi sebagai „dirigent‟.
Peran demikian
tidak lain harus dan hanya dapat dimainkan oleh negara yang mendapat mandat dari seluruh
rakyat
untuk memegang
dan menyelenggarakan
kekuasaan
umum.
Prinsip
harmoni merupakan prinsip pengimbang
yang sangat diperlukan untuk
mengatasi distorsi baik dalam input maupun
output ekonomi dan melakukan koreksi yang diperlukan untuk memulihkan tata ekonomi yang adil dan seimbang bagi semua orang (justice for all). Prinsip
keseimbangan ini akan menjadi rusak jika diganggu oleh adanya pelbagai kendala yang tidak
adil yang
membatasi partisipasi dengan monopoli atau dengan menggunakan kekayaan untuk
merugikan atau
mengeksploitasi hak-hak
orang lain. Keseimbangan ekonomi itu tidak
lain, seperti dirumuskan oleh Oxford Dictionary merupakan “Laws of social adjustment under which
the self-interest of one man or group of men, if given free play, will produce results offering the
maximum advantage to other men and the community
as a
whole”. Prinsip ini memberikan panduan untuk pengendalian monopoli, penerapan sistem checks and balances di antara
institusi- institusi
social,
dan sinkronisasi kembali antara distribusi
(out-take) dengan
partisipasi (in-take).
|
Dua prinsip pertama, yaitu
partisipasi dan
distribusi, mengalir dari impian
abadi
umat
manusia akan keadilan pada umumnya yang dengan sendirinya membutuhkan keseimbangan antara
input dan out-take, yaitu
“bagi
masing-masing
sesuai dengan apa yang seharusnya” (to each
according
to he is due).
Sebaliknya, prinsip harmoni mencerminkan impian manusia akan nilai-nilai absolute
lainnya, termasuk
kebenaran (Truth), cinta (Love), dan keindahan (Beauty). Prinsip ketiga ini tidak lain merupakan prinsip yang
mengontrol dan membatasi kecenderungan manusia untuk tamak, memonopoli, dan menghegemoni
penguasaan yang mengabaikan dan mengeksploitasi orang
lain. Tentu, harmoni itu sendiri tidak sekedar membatasi, tetapi lebih dari itu ia mengutamakan kedamaian hidup. Karena
itu,
masyarakat yang menginginkan kedamaian, haruslah terlebih dulu
bekerja untuk keadilan, dan hanya dengan orientasi dama itulah keadilan dapat diwujudkan. Keadilan juga dekat sifat-sifat ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa. Hanya dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, keadilan dapat ditegakkan, dan dalam keseimbangan antara ketaqwaan dan keadilan itulah keadaban manusia
dapat tumbuh dan berkembang. Karena
itu,
antara ketaqwaan, keadilan, dan peradaban bangsa mempunyai hubungan saling menopang satu sama
lain. Karena itu, dalam Pancasila, sila
pertama dan kedua bergandengan erat, yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketuhanan, Keadilan, dan Keadaban sebagai satu
kesatuan sinergis. Sementara
itu,
keadilan, juga
berkaitan erat dengan kebebasan dan kesejahteraan. Tanpa keadilan, kebebasan akan memakan dirinya sendiri. Tanpa
kesejahteraan, demokrasi pun menjadi tidak
berguna. Kesejahteraan tanpa keadilan hanya akan dinikmasti oleh segelintir orang saja. Kesemuanya itu haruslah berjalan dalam harmoni atau keseimbangan yang dinamis.
Disitulah terletak kedamaian hidup
bersama yang menjamin kebahagiaan bersama. (Prof. Dr.
Jimly Asshiddiqie)