Dalam hubungan
antara Tuhan dan
Agama, ada empat kemungkinan
cara pandang
yang
hidup
dalam praktik di dunia dan
juga di Indonesia.
Pertama, pengertian bertuhan itu dipandang identik dengan beragama, atau sebaliknya orang yang beragama pasti juga bertuhan; Kedua, ada pula orang yang bertuhan dalam arti percaya kepada adanya Tuhan Yang Maha Kuasa, tetapi tidak percaya kepada agama apapun
juga. Paham demikian
inilah yang dalam filsafat
biasa disebut ‘theism’ atau ‘desime’; Ketiga, ada pula orang yang percaya kepada agama tertentu, tetapi tidak
mengenal konsep tentang
Tuhan.
Bahkan mereka sendiripun tidak
perduli
apakah Tuhan
itu
memang ada atau tidak, yang penting mereka percaya kepada agama tertentu
yang tumbuh dalam
sejarah. Keempat, ada pula
orang
yang
tidak percaya akan adanya Tuhan, dan
tidak percaya dan bahkan ingin membebaskan diri dari agama atau ‘freedom from religions’. Yang terakhir ini disebut ‘atheis’.
Masalahnya sekarang pandangan yang manakah di antara ketiganya yang dianut oleh UUD
1945. Dengan
kutipan-kutipan
teks
UUD 1945 sebagaimana diuraikan
di
atas, tidak dapat tidak, kita harus menyatakan bahwa UUD 1945 bersifat sangat agamis dan sekaligus berketuhanan (Godly Constitution). Namun, sebelum
menjawab hal ini lebih jauh, perlu
dipahami bahwa secara umum, UUD 1945 sebagai hukum kesepakatan
tertinggi, pada pokoknya bukan hanya
diperlukan sebagai pegangan untuk kepentingan penyelenggaraan kekuasaan bernegara (konstitusi
politik), tetapi juga sebagai pegangan dalam dinamika kegiatan bermasyarakat (konstitusi sosial) dan bahkan dalam
kegiatan di dunia usaha (konstitusi ekonomi). Karena itu, sifat ketuhanan dan keagamaan
dalam
konstitusi itu, idealnya
bukan
hanya harus tercermin
dalam kegiatan
bernegara, tetapi
juga harus tercermin dalam kegiatan
masyarakat dan dinamika ekonomi pasar.
Akan tetapi, konstitusi sendiri juga membatasi daya jangkau kekuatan memaksa oleh negara
itu dalam dinamika kehidupan bermasyarakat dan dalam dinamika ekonomi pasar. Karena itu, meskipun UUD 1945 harus
dijadikan pegangan, baik dalam ranah negara, masyarakat, dan ekonomi pasar, tetapi konstitusi itu dalam ketiga
ranah itu mempunyai fungsi-fungsi yang berbeda-beda
penekanannya. Ke dalam ranah negara, fungsi utama konstitusi
sebagai hukum tertinggi adalah
untuk membatasi kekuasaan (to limit the state power), tetapi ke dalam ranah civil society fungsi
utamanya adalah
untuk membebaskan
(to liberate the people), dan ke dalam ranah
ekonomi pasar fungsi utamanya adalah (to empower the economy). Karena itu, tetap harus ada perbedaan dalam implementasi pengertian
dan
prinsip ketuhanan dalam konstitusi itu dalam praktik terhadap para
penyelenggara negara dan warga negara biasa yang merupakan rakyat pemilik kedaulatan
yang
seharusnya menikmati
kebebasannya sebagai berkat Indonesia merdeka.
Karena itu, siapa saja yang mendapat kepercayaan
untuk menduduki jabatan publik dan
kenegaraan, diharuskan mengucapkan sumpah atau janji jabatan yang terkait dengan komitmen moral setiap orang menurut keyakinan ketuhanan dan keagamaan
yang dianutnya masing-masing.
Bahkan, pengucapan sumpah atau janji jabatan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur
dalam Pasal 9 UUD 1945, merupakan tanda mulai sahnya seorang Presiden
dan Wakil Presiden
duduk dalam jabatannya dan selanjutnya dapat menjalankan tugas konstitusionalnya sebagaimana mestinya menurut UUD 1945. Sebelum mengucapkan sumpah atau janji jabatan tersebut, yang bersangkutan belum resmi menjadi dan sah
menjalankan tugas dan
wewenangnya sebagai Presiden
atau Wakil Presiden. Dengan demikian, untuk menjadi pejabat penyelenggara
negara, seseorang
haruslah Berketuhanan Yang Maha
Esa.
Namun, timbul masalah, apakah keharusan ber-Tuhan Yang Maha Esa itu juga harus diberlakukan untuk warganegara biasa yang bukan pejabat penyelenggara negara? Untuk kita
perlu membedakan antara (i) orang yang percaya kepada Tuhan dan sekaligus menganut agama tertentu, (ii)
orang yang
percaya kepada Tuhan, tetapi tidak mau percaya kepada agama manapun juga, (iii) orang yang percaya kepada agama, tetapi tanpa Tuhan, dan (iv) orang yang tidak percaya, baik
kepada Tuhan ataupun kepada agama manapun. Yang paling ideal tentu golongan yang pertama
yang seharusnya dianut, baik oleh para pejabat
penyelenggara negara
maupun oleh tiap-tiap
warganegara biasa di negara Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945 ini. Namun, hal
itu tentu tidak mungkin
dipaksakan oleh
negara. Dengan adanya
sila Ketuhanan YME
dalam Pancasila, maka hak dan
kewajiban pejabat publik atau pejabat negara cukuplah dibedakan saja dari hak dan kewajiban keagamaan warganegara
biasa, karena pejabat negara harus melayani
rakyat dan menjadi contoh bagi rakyat.
Dalam hubungan
ini, kita dapat membedakan 7 (tujuh) golongan pendapat mengenai soal ini. Yang paling ekstrim di antaranya adalah bahwa setiap, apapun kedudukannya dan dimanapun ia berada, berhak atas kebebasan untuk percaya kepada Tuhan atau tidak percaya sama
sekali kepada Tuhan, bebas percaya kepada sesuatu agama atau tidak percaya sama sekali kepada agama apapun.
Bahkan, orang yang bersangkutan bukan hanya bebas menuntut
kebebasan beragama
(freedom of
religion),
tetapi juga berhak untuk memperjuangkan
kebebasan dari agama (freedom from religion).
Akan tetapi, di dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945, tentu harus
dibedakan antara
orang yang mendapat kepercayaan untuk menduduki
jabatan negara, jabatan negeri,
ataupun jabatan publik lainnya, dengan warga negara biasa yang bukan bertugas sebagai penyelenggara negara dalam arti
luas. Jika para pejabat negara tidak diberi
pembatasan dari kemungkinan hidup bebas tanpa
agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha
Esa, lalu apa gunanya sila
pertama Pancasila dirumuskan
dengan
“Ketuhanan Yang Maha Esa”
dan bahwa Pasal
29 ayat (1)
UUD 1945 dirumuskan
dengan
kalimat, “Negara
berdasar
atas Ketuhanan Yang Maha
Esa”?
Oleh sebab itu, persyaratan kebertuhanan dan keberagamaan bagi penyelenggara negara dan warga
negara biasa haruslah dibedakan. Untuk itu, dapat dipertimbangkan adanya 6 (enam)
kemungkinan gradasi pandangan mengenai hubungan konstitusional
antara Tuhan, agama, dan
negara dalam hal ini,
yaitu:
1.
Bahwa setiap orang yang menduduki jabatan publik atau kenegaraan wajib
percaya kepada
Tuhan Yang Maha
Esa, meskipun tidak beragama; tetapi sebagai
warga negara biasa, boleh
percaya dan boleh juga
tidak percaya
kepada
Tuhan, boleh beragama,
boleh juga
tidak.
2.
Bahwa setiap orang yang menduduki jabatan publik, wajib percaya kepada Tuhan YME dan juga harus beragama, meskipun agama
yang belum dikenal masyarakat; tetapi sebagai warga negara
biasa diberi kebebasan untuk percaya tuhan atau
tidak, beragama ataupun tidak beragama,
termasuk percaya terhadap aliran yang dinilai orang lain sebagai
aliran sesat.
3.
Bahwa setiap orang yang menduduki jabatan publik, wajib percaya kepada Tuhan YME dan juga
harus beragama sebagaimana yang dikenal luas dalam masyarakat; tetapi
sebagai warga negara biasa
dijamin kebebasannya untuk
bertuhan atau tidak, beragama
ataupun tidak.
4.
Bahwa setiap orang yang menduduki jabatan publik, wajib percaya kepada Tuhan YME dan juga harus beragama sebagaimana yang dikenal luas dalam masyarakat; dan sebagai warga negara
biasa juga harus percaya kepada
Tuhan YME dan juga
harus
beragama sebagaimana
yang
dikenal luas dalam masyarakat, bukan
aliran sesat.
5.
Bahwa setiap orang yang menduduki jabatan publik, harus percaya kepada Tuhan YME dan
menganut salah satu agama yang diakui oleh Pemerintah atau yang diberikan
pelayanan administrasi sebagaimana mestinya; tetapi sebagai
warga negara biasa boleh
menganut agama
apa saja asalkan bukan aliran sesat.
6.
Bahwa setiap orang, selama menduduki jabatan publik, harus menganut agama tertentu; tetapi
sebagai warga masyarakat biasa
boleh menganut agama apa saja,
asal bukan aliran sesat.
Dari ke-6 kemungkinan itu, yang paling liberal adalah yang pertama (a), yaitu setiap orang
yang menduduki jabatan
publik atau kenegaraan wajib percaya kepada
Tuhan Yang Maha
Esa,
meskipun tidak beragama,
seperti dalam deisme; tetapi sebagai warga negara biasa, boleh percaya dan boleh
juga tidak percaya
kepada Tuhan,
boleh beragama, boleh juga
tidak. Namun dalam praktik yang ada sekarang, yang biasanya diidealkan
oleh mayoritas warga adalah pandangan kelima (e), yaitu setiap
orang yang menduduki jabatan publik, harus percaya kepada Tuhan
YME
dan menganut salah satu agama yang diakui oleh Pemerintah atau yang diberikan
pelayanan administrasi sebagaimana
mestinya; tetapi sebagai warga negara
biasa boleh menganut agama apa saja asalkan bukan
aliran sesat. Kalau pun
bukan alternatif kelima (e), setidaknya pandangan
keempat (d), yaitu
bahwa setiap orang yang menduduki
jabatan publik, wajib percaya kepada Tuhan YME dan juga harus beragama sebagaimana yang dikenal luas dalam masyarakat; dan
sebagai warga negara biasa juga harus percaya kepada Tuhan YME dan juga harus beragama
sebagaimana yang dikenal
luas dalam masyarakat, bukan
aliran sesat.
Namun, untuk kepentingan membangun peri-kehidupan berbangsa yang rukun
dan
damai, tentu kita tidak boleh
ekstrim dalam
pilihan sikap dan pandangan. Alternatif
yang mungkin
dipandang lebih ideal tetapi tetap realistis dalam hal ini adalah pandangan ke-3 (c), yaitu bahwa
setiap orang yang menduduki jabatan publik, wajib
percaya kepada Tuhan YME dan juga harus beragama sebagaimana yang dikenal luas dalam masyarakat; tetapi sebagai
warga negara biasa, dijamin kebebasannya untuk percaya kapada tuhan atau
tidak, dan untuk beragama ataupun tidak
percaya kepada sesuatu agama apapun.
Tentu saja, negara Pancasila juga harus dianggap mempunyai kepentingan langsung atau pun tidak langsung agar semua warganegaranya ber-Tuhan Yang Maha Esa dan tunduk dan taat pada ajaran agama, apapun agamanya. Dengan cara pandang demikian, tentu tentu tidak salah
jika negara mengambil peran
untuk memberikan dukungan dan bantuan fasilitasi untuk meningkatkan kesadaran beragama di kalangan warganya. Jika umat beragama taat dan benar dalam menjalankan
ajaran agamanya, dapat diharapkan perilaku ideal
masyarakat Indonesia akan terbentuk sesuai
dengan nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh semua agama. Karena itu, negara wajib berperan serta untuk membantu semua agama tanpa kecuali, sehingga oleh sebab itu keberadaan
kementerian
agama
merupakan keniscayaan. Hanya
saja, negara harus dipastikan
bertindak imparsial dan tidak
pilih kasih, sehingga
tidak ada umat beragama
yang merasa
dianak-tirikan.
Namun
untuk itu, diperlukan sistem
administrasi negara yang bersifat melayani, sehingga
wajar saja jika misalnya diperlukan ada jabatan Direktur atau Direktur Jenderal urusan agama
tertentu, tanpa menyebut nama agama lain. Jika hal itu terjadi, maka umat beragama yang tidak disebut tidak
perlu
merasa dikucilkan, karena
pada dasarnya
semua umat
beragama harus
dipandang
mempunyai hak yang
sama
untuk mendapat pelayanan
dari pemerintah.
Dalam hal ini,
pemerintah juga sudah seharusnya memastikan bukan karena tidak disebut dalam struktur
kementerian agama,
umat
beragama tertentu
tidak boleh mendapatkan
pelayanan yang adil.
Namun, dalam memberikan bantuan dan dukungan itu, negara juga tidak boleh ikut campur
dan memaksakan sesuatu
pengertian
keagamaan
tertentu kepada setiap warganegara untuk
percaya atau tidak percaya kepada Tuhan dan kepada agama.
Masalah tersebut biarlah menjadi domain masing-masing agama untuk melakukan fungsi dakwah dan pendidikan publik sesuai dengan
tugas dan tanggungjawabnya masing-masing. Yang
penting para pejabat penyelenggara harus
dipastikan
percaya kepada
Tuhan Yang Maha
Esa
dan beragama seperti yang dikenal
oleh
masyarakat luas, sehingga mereka dapat bertindak sebagai pelayan rakyat
yang dapat dicontoh dan
menjadi teladan
moral dan perilaku
mulia bagi masyarakat luas, bukan sebaliknya, menjadi contoh
buruk karena terlibat tindak korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Negara Kesatuan
Republik Indonesia harus kita kembangkan sebagai ‘Club of Godly and Religious Values’, bukan sebagai ‘Club
of Muslim’, ‘Club of Sunny’, ataupun klub umat-umat lain secara sendiri-sendiri.
(Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie)