Tiga proses seiringan,
yaitu
penghakmilikan
tanah menurut konsepsi kepemilikan pribadi borjuasi Eropa, penciptaan
golongan
sosial baru para pekerja upahan,
dan
akumulasi kekayaan
ke
tangan segelintir elite lewat gerakan enclosure ditambah dengan pengaturan
upah pekerja murah di sektor-sektor penopang kapitalisasi yang dilindungi
peraturan-peraturan
resmi pemerintah
pada masa awal
kapitalisme
modern ini, disebut Karl
Marx sebagai
“ursprΓΌnglische
akkumulation” atau akumulasi
primitif (Marx, 1990: 873).
Sepanjang bagian kedelapan
Das Kapital jilid pertama
Marx
mengajukan teori akumulasi primitif.
Teori akumulasi primitifnya Marx merupakan
tanggapan terhadap
teori akumulasi primitifnya Sir Adam
Smith dan ekonom borjuis. Di dalam teorinya
Adam Smith
dinyatakan bahwa berlangsungnya produksi kekayaan
modern secara logis haruslah
didahului
oleh
adanya timbunan kekayaan
sebelumnya.
Produksi kemakmuran modern yang ditopang pembagian kerja sosial
antara pemilik tanah, pekerja, dan
kapitalis, mestilah
diawali suatu
keadaan
tertentu di masa lalu yang
di
dalamnya
telah terjadi pengumpulan kekayaan
secara tidak merata di antara anggota masyarakat. Kekayaan terkumpul ini
yang kemudian memunculkan
pembagian
kerja
sosial dan,
akhirnya, produksi
kemakmuran
modern (Smith, 1976 : 277-278). Sir
Smith menyebutnya pengumpulan
kekayaan ini sebagai “previous accumulation”.
Jadi, dalam teorinya
Sir Smith, pembagian kerja sosial
atau dalam peristilahan Marxis keterpilahan masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial, ada setelah munculnya timbunan
kekayaan di tangan segolongan orang.
Pertanyaannya, dari mana timbunan kekayaan ini berasal? Tidak seperti
teolog yang merujuk kepada Tuhan sebagai asal usul,
Sir
Smith, layaknya kaum borjuis terdidik,
mencari akarnya di dalam
kehidupan
manusia itu sendiri.
Tetapi mirip dengan teolog Abad
Pertengahan,
Sir Smith percaya
bahwa pada dasarnya ada dua jenis
manusia dengan
kodrat alamiah
yang berbeda. Perbedaan kodrat inilah
yang
menjadi dasar
munculnya perbedaan
di antara
mereka sekarang dalam kekayaan yang berhasil dikumpulkan. Dengan
teori ini Adam Smith seolah-olah
hendak meyakinkan kaumnya
bahwa mereka tidak perlu merasa bersalah dengan adanya ketimpangan sosial. Kelas-kelas
sosial
tercipta
dari
suatu
proses
alami
yang
tidak bisa ditembus
campur
tangan manusia perorangan.
Setiap masyarakat di delapan penjuru
mata angin selalu punya
cerita, entah
dalam bentuk mitos ataupun
legenda, yang memberi penjelasan
tentang keterpilahan
masyarakat ke dalam golongan- golongan yang berbeda
peringkat
sosialnya.
Di dalam masyarakat
prakapitalis selalu
ada mitos atau
legenda yang menyebutkan
bahwa para pemimpin di antara mereka merupakan keturunan dewata. Mereka ada
orang-orang
terpilih
yang menjadi perantara
kerja Dewa di bumi. Dengan
mandat dewata golongan elite masyarakat berhak
mengatur
banyak hal
dari
kehidupan
rakyatnya; berhak
mendapatkan penghormatan, berhak mendapat
sebagian hasil kerja rakyat, berhak mengerahkan
tenaga
kerja rakyat.
Nah, di dalam
masyarakat kapitalis, mitos dan
legenda kuno ini digantikan
oleh berbagai
teori sosial yang
menyokong
kedudukan golongan
elite dalam status
quo. Di dalam
sistem mitologi borjuis, misalnya,
asal-usul pembagian kerja di dalam
masyarakat diyakini bermula dari dalam masa
lalu yang di dalamnya
ada
sekelompok orang
“yang rajin, hemat, dan gemar
menabung‟ dan
sekelompok
orang “yang malas,
boros,
suka hambur-hambur‟. Golongan yang sekarang menjadi elite ekonomi
merupakan keturunan
inividu-individu
rajin, hemat, dan
gemar menabung kekayaannya. Di pihak lain mereka yang
sekarang
harus menjual
tenaga kerjanya
kepada golongan elite adalah keturunan dari individu-individu yang malas, boros, dan menghambur-hambur
kekayaan. Hingga sekarang, gagasan
borjuis
tentang terciptanya
kelas-kelas di
dalam masyarakat kapitalis masih menjadi dasar argumen
pendukung kapitalisme.
Inilah gagasan yang
ditantang Marx melalui
teori akumulasi primitifnya.
Marx memulai
kritiknya terhadap teori akumulasi
primitifnya Smith dengan memberi
judul dari bagian delapan jilid pertama
Das
Kapitalnya dengan “so called primitive accumulation”. Di dalam bagian tersebut
Marx bicara soal
“akumulasi primitif dalam tanda
kutip”
seperti
yang
saat itu diimani oleh kaum
borjuis dan
parasit-parasit intelektualnya.
Lalu Marx menyindir lebih
lanjut dengan
pernyataan bahwa sebetulnya teori “akumulasi
primitif itu memainkan
peran yang sama
di
dalam ekonomi politik seperti halnya dosa awal
dalam teologi”
(Marx,
1990: 873). Perumpamaan yang dipilih Marx
tepat. Baik doktrin
dosa
asal
maupun
teori akumulasi primitif
dalam pandangan
Smith dan ekonom borjuis sama-sama
mengaburkan
asal-usul ketidakberuntungan orang-orang yang menderita
ke
dalam kabut ahistoris
di
dalam masa lalu yang nun jauh di
entah kapan.
Doktrin dosa asal menjelaskan bahwa penderitaan
manusia
sekarang ini merupakan
akibat dari dosa asal yang dilakukan
manusia
pertama
di
sorga. Teori akumulasi
primitifnya Smith
menjelaskan bahwa adanya pembagian kerja antara mereka yang menguasai
sarana produksi dan mereka yang harus menjual tenaga kerjanya kepada pemilik sarana produksi
ini
adalah
karena
di
dalam masa awal
ada
orang-orang yang rajin, hemat, dan kreatif di satu
sisi dan orang-orang
malas, boros, dan bodoh di sisi lain. Kekayaan
yang dimiliki golongan elite sekarang
merupakan
imbalan atas karma baik leluhur mereka
dahulu. Begitu
pula
kemiskinan dan derita golongan pekerja
merupakan
akibat
dari
“dosa asal” nenek moyang
mereka yang malas dan boros.
Teori akumulasi primitif Marx
diawali dengan gagasan bahwa kapital dan tertimbunnya kekayaan
kelas pemilik sarana produksi merupakan hasil perampasan
terhadap kekayaan sosial hasil kerja
golongan lain. Sementara Adam Smith dan ekonom borjuis percaya bahwa keberadaan
kelas-kelas
sosial
di dalam masyarakat kapitalis
tercipta
secara sukarela dan damai di bawah pengawasan
pertukaran pasar yang adil, Marx tegas
mengaitkan
terbentuknya pembagi-
an
kerja dalam masyarakat kapitalis dengan akumulasi primitif yang
penuh pemaksaan.
Adam Smith dan ekonom
borjuis setelahnya mendasarkan teori akumulasi
primitifnya dari penalaran deduktif dengan mengimani filsafatnya
John
Locke tentang
keadaan
asali
manusia
serta asal-usul kepemilikan sebagai
premis pertama. Sementara
itu,
berseberangan dengan Smith,
bangunan teori akumulasi primitifnya
Marx didirikan di atas hasil
penyelidikan historis. Sepanjang bagian delapan Das Kapital
jilid pertama (Bab 26-33) Marx mengajukan bukti-bukti sejarah
tentang perampasan
tanah,
pengkaplingan,
pengusiran kaum
tani, kebijakan upah murah, dan
sebagainya, yang mendahului
revolusi kapitalis. Di situ Marx juga
menggambarkan berabad perampokan para penjajah
Eropa terhadap rakyat dan kekayaan bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan
Amerika sebagai bagian integral
dari akumulasi
primitif. Semua kekejaman historis ini mendahului muncul dan berkembangnya pembagian kerja sosial antara
kapitalis dan proletariat,
dominannya hubungan produksi kapitalis, dan akumulasi kekayaan beserta kekuasaan politiknya di tangan
segelintir elite ekonomi masyarakat.
Pada tingkatan teoritis, teori akumulasi primitif Marx bertujuan menghancurkan teori akumulasi
primitifnya Sir Adam Smith yang
ahistoris. Pada tingkatan etis Marx hendak menghapuskan keimanan di
kalangan borjuasi bahwa keterpilahan
sosial yang timpang merupakan hasil dari proses pasar yang adil. Di
dalam teori
akumulasi
primitifnya, Marx juga mengarahkan
telaah historisnya ke munculnya pranata pasar kapitalis untuk
menolak
teori pasarnya Smith.
Smith berpandangan
bahwa pasar merupakan mekanisme yang bekerja
dengan
adil
karena
tangan gaib pasar merupakan
pemandu cerdas bagi individu-individu menuju kemakmuran
niscaya yang dalam jangka panjang akan membawa
ke kemakmuran
bangsa. Marx menunjukkan
bahwa sebagai pranata pokok masyarakat
kapitalis, pasar kapitalis tidaklah muncul dan
bekerja secara damai dan kesukarelaan,
tetapi justru sebaliknya, penuh dengan paksaan dan penindasan.
Di dalam analisis sejarahnya
Marx, munculnya
pasar tanah dan
tenaga kerja, misalnya,
dikatakan merupakan hasil dari proses yang di dalamnya:
“lahan-lahan
pertanian
diberikan begitu saja atau dijual
dengan harga yang konyol atau
dikuasai
sebagai lahan pertanian swasta melalui penyerobotan langsung”
(Marx, 1990: 884). Kerjasama
para penguasa politik
dengan elite-elite
borjuis telah memungkinkan kaum elite “menganugrahi diri mereka lahan-
lahan garapan penduduk menjadi
milik pribadi
[mereka]” yang ujung-ujungnya ialah meningkatkan “pasokan proletariat merdeka sekaligus tanpa hak yang tercerabut dari lahan-lahan
mereka”
(Marx,
1990
: 885) sebagai
sumberdaya utana yang eksploitasi
di dalam
pabrik-pabrik kapitalis.
Keberadaan orang-orang tanpa sarana produksi
dan
jaminan sarana hidup ini penting artinya
dalam konsolidasi corak produksi
kapitalis. Juga penting bagi langgengnya kekuasaan elite ekonomi terhadap
sebagian
besar penduduk di manapun
kapitalisme
menginjakkan kakinya. Pada tahap
konsolidasi, kelimpahan
tenaga
kerja murah diperkuat
lagi dengan
dikeluarkannya
berbagai kebijak-
sanaan yang mengatur upah yang
cocok buat akumulasi kekayaan
golongan elite. Penciptaan
kondisi dan
penerbitan undang-undang
yang mengatur panjangnya
waktu
kerja dan rendahnya tingkat upah rata-rata yang memperkuat
ketergantungan sebagian besar
orang kepada sistem kerja upahan,
menurut Marx adalah salah satu
“aspek mendasar dari apa yang
disebut
akumulasi
primitif”
(Marx,
1990: 900).
Akumulasi primitif adalah pendahulu
historis, pengiring setia, dan salah satu batu penjuru bangunan masyarakat kapitalis. Ia
harus dibedakan, mesti
tidak bisa dipisahkan, dari akumulasi
kapital
(yang akan diulas lebih lanjut dalam Bab 4 dan 5). Yang terakhir
ini muncul
sebagai hasil
dari
eksploitasi di dalam sektor-sektor
kapitalis
dan
tempat-tempat penciptaan
nilai-lebih. Namun, akumulasi primitif tidak hanya terkait
dengan masa lalu kelam kapitalis. Ia bukanlah proses
yang
sudah selesai, tetapi termasuk cara yang terus digunakan
kapitalis modern
untuk menciptakan
proletariat di
mana
pun
kapitalis ingin mengeruk
laba.
Rosa Luxemburg,
seorang
ekonom marxis kelahiran Polandia,
dalam penyelidikan teoritis terhadap akumulasi kapital menegaskan bahwa akumulasi kapital sebagai
suatu proses historis aktual
secara keseluruhan memiliki dua aspek
yang berhubungan erat satu sama lain. “Pertama
berkenaan dengan
pasar komoditi
dan
tempat nilai-
lebih
diproduksi pabrik, tambang, lahan pertanian.
Dalam aspek ini akumulasi semurni-murninya adalah
proses ekonomi
dengan tahap terpentingnya berupa transaksi antara kapitalis
dan
pekerja
upahan. Aspek lain akumulasi kapital berkenaan dengan
hubungan antara kapitalisme dan
corak-corak produksi
non-kapitalis yang mulai
tampak di panggung internasional. Cara akumulasi di sini ialah dengan
kebijaksanaan kolonial, suatu sistem hutang
internasional kebijaksanaan
yang
terkait dengan bunga
dan perang.
Paksaan,
penipuan,
penindasan,
perampasan
secara terbuka ditampilkan tanpa ada upaya menutup- tutupi” (Luxemburg, 2003: 432).
Di negeri-negeri
bekas jajahan
dengan sumberdaya alam dan angkatan kerja melimpah, praktik
akumulasi
primitif berlaku seiring sejalan dengan akumulasi
kapital di
pusat-pusat industrinya.
Tanah- tanah yang sebelumnya
merupakan
lahan
hidup kaum tani atau suku-suku pedalaman
dirampas "secara legal‟ untuk dijadikan lahan perkebunan komersial, pertambangan, atau pusat-pusat industri.
Terutama
di
Jawa, tidak sedikit
lahan-lahan pertanian
skala kecil yang dialihfungsikan menjadi pusat-
pusat industri atau dam-dam pembangkit listrik demi pembangunan sepanjang berkuasanya
Orde Baru dengan biaya murah. Mereka tinggal pindahkan penduduknya ke pulau-pulau sepi
penduduk
melalui program transmigrasi. Sekiranya penduduk
menolak, tuduhan komunis sudah
siap
dilekatkan. Dengan cap “komunis‟ di kening identitas
sosial
mereka, pembunuhan,
pengusiran, dan perampasan tanah-tanah
mereka menjadi
sah di mata publik. Dari tanah-tanah yang dicerabut
penguasaannya, berbondong bondonglah kaum miskin perdesaan
menuju perkotaan untuk dieksploitasi
di pabrik-pabrik kapitalis modern.
Hingga
sekarang,
di
Dunia Ketiga, seiring dengan proses
ekspansi kapitalisme, petani-petani kecil, buruh-buruh
tani, para pengrajin desa, atau setidaknya anak-anak
mereka, generasi kedua atau ketiga dari komuniti
suku-suku pedalaman yang begitu beruntung di tanah tempat hidup mereka
terkandung sumberdaya alam yang
penting bagi pasar kapitalis,
diubah keadaan menjadi proletariat.
Mereka memenuhi kelaparan kapital
akan tenaga
kerja upahan,
komodifikasi,
dan kapitalisasi semua sektor,
dan
proses ini belum akan berakhir
Senin depan.
Tersedianya
pasokan proletariat, yaitu orang-orang
yang bebas dari
ikatan dengan tatanan
tradisional, termasuk bebas dari sarana
produksinya, merupakan prasyarat
material
“ekspansi kuantitatif kapitalisme” (Weber 2001: 25).
Proletarisasi merupakan prasyarat beroperasinya
kapital.
Tanpa proletariat
tidak akan ada
kapital, dan tanpa kapital tidak akan ada kapitalis. Proses penciptaan
hubungan
sosial produksi kapitalis tidak hanya akan membawa slip gaji ke dalam barisan
benda kultural
kelas pekerja modern, tetapi sering
kali juga menorehkan
luka darah pada korban-korban di sepanjang
proses penciptaannya
seperti
dikatakan oleh Marx secara puitis, “kapital
hadir mengucur deras dari
kepala hingga kaki, dari setiap lubang pori-pori,
dengan darah dan kotoran” (Marx, 1990: 926).
(Dede
Mulyanto)