Home AD

Wednesday, March 21, 2012

KOLEKSI DAN KONSERVASI PLASMA NUTFAH TEBU DI INDONESIA

PENDAHULUAN

  Koleksi plasma nutfah diperlukan keberadaannya untuk melestarikan keanekaragaman genetik suatu spesies tanaman dan kerabat liarnya (Williams, 1991).  Dengan adanya kerawanan erosi genetik dan kepunahan spesies maka konservasi ex-situ merupakan satu-satunya pilihan karena lebih baik menyimpan sebagian spesies daripada membiarkan seluruhnya punah. Teknik konservasi ex-situ memiliki kelebihan yaitu memberikan kemudahan memanfaatkan plasma nutfah, dan materi genetik dapat segera tersedia pada saat dibutuhkan (Maxtek dan Kell, 2003).
             Konservasi plasma nutfah sebagai sumber genetic akan menentukan keberhasilan program pembangunan pangan.  Kecukupan pangan yang diidamkan akan tergantung pada keragaman plasma nutfah yang dimiliki, karena pada kenyataannya varietas unggul yang sudah, sedang dan akan dirakit bersumber pada keragaman genetic yang mengekspresikan sifat-sifat unggul.
            Upaya yang sedang dilakukan untuk menjawab permasalahan pangan adalah dengan mengintensifkan kegiatan pemuliaan.  Pemuliaan tanaman merupakan suatu metode yang mengeksploitasi potensi genetik untuk memaksimumkan ekspresi dari potensi genetik tanaman tersebut pada suatu kondisi lingkungan tertentu (Azrai, 2005).  Tujuan pemuliaan tebu di Indonesia saat ini adalah meningkatkan potensi hasil secara genetik, memperbaiki ketahanan terhadap penyakit penting (luka api, mosaik, RSD, blendok dan daun hangus), dan memperbaiki toleransi tebu terhadap cekaman lingkungan fisik yaitu kekeringan.
            Untuk mencapai tujuan program pemuliaan tebu, diperlukan sumber-sumber gen pada plasma nutfah yang dimiliki.  Oleh karena itu kelestarian keragaman genetik plasma nutfah tebu harus dipertahankan dari waktu ke waktu agar tidak punah.

STRATEGI MENGKOLEKSI PLASMA NUTFAH TEBU DI P3GI

  Plasma nutfah tebu sangat diperlukan sebagai sumber gen yang mempunyai keanekaragaman genetik yang luas. Sumber genetik ini berguna untuk mengatasi permasalahan-permasalahan seperti hama dan penyakit, kondisi lingkungan yang rawan, gulma, dan lain-lain. Keanekaragaman genetik plasma nutfah ini dikenal sebagai gene pools atau genetic resources.  Plasma nutfah tebu merupakan sumber sifat yang digunakan dalam perbaikan genetik pada spesies tanaman yang memiliki nilai ekonomi (Lamadji, 1994).
         Daerah antara daratan Asia Tenggara dan Papua Nugini diduga sebagai pusat penyebaran spesies tebu (Grasel, 1974).  Kegiatan mengkoleksi plasma nutfah tebu pada mulanya dilakukan di Papua Nugini dan Indonesia yang merupakan pusat diversitas terbesar dari tanaman ini.  India yang merupakan pusat penyebaran glagah (S. spontaneum) juga mendapat perhatian.  Kemudian pengumpulan berkembang ke Fiji, Taiwan, Thailand dan Philipina.  Hingga saat ini ekspedisi pengumpulan plasma nutfah tebu dan kerabatnya di Papua Nugini telah dilakukan sebanyak 14 kali, di Indonesia dan India sebanyak delapan kali (Sastrowijono dkk., 1996).  P3GI sebagai lembaga penelitian gula nasional, terakhir kali melakukan eksplorasi sumber daya genetik tebu dan kerabatnya pada tahun 1995.  Tidak tersedianya dana untuk meningkatkan keragaman genetik tebu dengan cara eksplorasi, menjadi alasan utama tidak dilakukannya kegiatan eksplorasi plasma nutfah tebu ke daerah-daerah lokasi penyebaran tebu lainnya.
            Tebu asli (Saccharum officinarum) dan kerabat dekatnya (S. barberi, S. sinense, S. edule, S. robustum, S. spontaneum, Erianthus, Mischanhus, Narenga dan Schlerotachya) yang lazim disebut Saccharum complex, merupakan bahan berguna sebagai sumber gen penyusun genotipe tebu hibrida yang dibudidayakan sekarang ini (Sastrowijono dkk., 1996).  Pada umumnya sifat-sifat penting yang dikehendaki seperti kemampuan daya kepras, ketahanan terhadap hama, penyakit dan gulma, daya adaptasi terhadap cekaman kekeringan jarang ditemukan dalam varietas tebu komersial.  Untuk sifat-sifat tersebut harus dicari dari kerabat dekat atau liarnya yang merupakan donor gen berharga (Sankaranarayanan dalam Sastrowijono dkk., 1996).  Akan tetapi spesies ini umumnya tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan bermasalah seperti kekeringan, pH tanah rendah dan lain-lain.  Sifat ini merupakan kebalikan dari glagah (S. spontaneum) yang dapat dipakai sebagai sumber gen ketahanan terhadap lingkungan rawan. Di samping itu, spesies ini juga mampu memberikan pertumbuhan yang baik, perkecambahan dan anakan yang banyak, sifat kekerasan kulit dan ketahanan terhadap hama dan penyakit (Lamadji, 1994).

STRATEGI KONSERVASI EX-SITU PLASMA NUTFAH TEBU DI P3GI

1.    Konservasi di lapang
             P3GI memiliki koleksi keragaman genetik tebu dan kerabat-kerabatnya sebanyak 5.308 aksesi yang dipelihara di lapang pada masa tanam (MT) 2006/2007.  Akan tetapi pada MT 2007/2008 jumlah koleksi berkurang menjadi 5.190.  Hal ini disebabkan beberapa klon dari S. Barberi, S. Sinensis dan tebu asli mati karena pengaruh lingkungan dan teknik budidaya, sedangkan 139 klon dari tebu hibrida sengaja dibuang karena tidak menunjukkan sifat unggul secara agronomis. Komposisi koleksi plasma nutfah tebu yang dimiliki P3GI MT 2007/2008 ditampilkan pada Tabel 1. 

Tabel 1. Jumlah aksesi yang dikoleksi P3GI MT 2007/2008

Spesies
MUSIM TANAM MT 2007/2008
Jumlah klon
S.  oficinarum
229
S. spontaneum
118
S. robustum
55
S. barberi
25
S. sinensis
24
S. edule
7
Erianthus spp.
160
Miscanthus spp.
2
Belum digolongkan
11
Hibrida :

-  Rakitan sendiri:

Seri POJ
Seri PS
436
1069
-  Introduksi
2744
- Nobelisasi S. offi-cinarum dengan :
S. spontaneum
S. robustum
S. barberi
S. sinensis
Erianthus spp.
Miscanthus spp
Sorghum spp.
Narenga spp.
Lain-lain

76
9
6
17
12
4
42
11
20
-  Hasil iradiasi sinar Gamma
116
JUMLAH
5190

            Koleksi plasma nutfah tebu tersebut ditanam pada lahan seluas 3,5 hektar.  Konservasi plasmanutfah tebu di lapang dijadikan sebagai base collection (koleksi dasar), yang idealnya koleksi tersebut diregenerasikan di lapang setiap tahunnya untuk mempertahankan kelestariannya.  Akan tetapi upaya ini sangat tergantung dengan ketersediaan dana pengelolaan. Oleh karena ketersediaan dana pemeliharaan dan pengelolaan plasma nutfah tidak selalu ada, maka regenerasi koleksi tidak selalu dapat dilakukan setiap tahunnya.  

2.    Konservasi in-vitro
Pelestarian plasma nutfah di lapang memiliki beberapa kekurangan antara lain membutuhkan lahan yang luas dan biaya yang cukup besar untuk melakukan kegiatan perawatan.  Apabila dana tidak tersedia secara berkesinambungan akan menyebabkan perawatan koleksi tidak dapat optimal.  Dengan demikian beberapa klon koleksi yang peka cekaman lingkungan seperti kekeringan, serangan hama penyakit dan tidak tahan keprasan tidak dapat diselamatkan. 
Dengan alasan tersebut, strategi penyimpanan plasma nutfah secara in vitro digunakan sebagai teknologi pilihan.  P3GI telah memanfaatkan teknik in-vitro di samping untuk teknik propagasi bibit tebu dalam skala besar, juga digunakan untuk pelestarian plasmanutfah.  Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari tehnik in-vitro slow growth conservation (Sudharma, 1994) antara lain: (a) plasmanutfah dapat diperbanyak dengan cepat setiap waktu diperlukan; (b)  praktis, efisien dan aman untuk pertukaran plasmanutfah; (c) tidak memerlukan lahan yang luas. Selain itu teknik konservasi in vitro dapat digunakan sebagai alternatif pengelolaan dalam skala laboratoris yang tidak tergantung musim dan bebas ancaman serangan hama, penyakit, serta mampu mengeliminir kebutuhan lahan yang makin sulit.  Saat ini koleksi yang dikonservasi secara in-vitro sebanyak 116 klon dari 5 spesies dan kelompok tebu hibrida (Tabel 2). 
Salah satu cara penyimpanan in vitro yang banyak digunakan adalah pertumbuhan minimal.  Dengan cara tersebut biakan dapat disimpan dalam jangka waktu menengah.  Beberapa senyawa penghambat pertumbuhan yang umumnya digunakan adalah paclobutrazol, cycocel, ancymidol, asam absisat, dan osmotic inhibitor seperti sorbitol dan manitol (Withers, 1985, Sudharma, 1994, Lestari dan Ragapadmi, 2005). 

Tabel 2.  Koleksi yang dikonservasi dalam media pertumbuhan minimal secara in-vitro
MT 2007/2008

No.
Spesies
Jumlah (klon)
1.
2.
3.
4.
5.
6.



7.
Saccharum officinarum
Saccharum barberi
Saccharum robustum
Saccharum sinensis
Saccharum edule
Hibrida :
-          seri POJ
-          seri PS
-          introduksi
Tanpa penggolongan
62
13
2
5
1

10
1
20
2

Jumlah
116

3.    Konservasi DNA Genom
Selain itu, metode konservasi DNA koleksi plasma nutfah tebu telah dilakukan oleh beberapa negara untuk menyelamatkan sumber gen yang rawan jika dipelihara di lapang maupun secara in vitro. Konservasi DNA plasma nutfah dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan seperti pembuatan pustaka genom tebu, pembuatan peta pautan, menelusuri gen-gen penyandi sifat penting yang dimiliki plasma nutfah tersebut, mempelajari karakter gen target yang diinginkan, isolasi gen target atau untuk keperluan pemetaan genetik suatu tanaman bahkan tanpa harus memiliki klon tersebut.  Koleksi yang telah dikonservasi DNA nya sebanyak 109 aksesi dari 5 spesies dan tebu hibrida (Tabel 3).  DNA koleksi disimpan pada suhu sangat rendah yaitu  -80oC dalam jangka waktu yang lama.

Tabel 3.  Koleksi yang dikonservasi DNA Genomnya pada suhu rendah (-80oC)
MT 2007/2008

No.
Spesies
Jumlah (klon)
1.
2.
3.
4.
5.
6.



7.
Saccharum officinarum
Saccharum barberi
Saccharum robustum
Saccharum spontaneum
Erianthus
Hibrida :
-          seri POJ
-          seri PS
-          introduksi
Tanpa penggolongan
16
4
12
15
5

13
24
19
1

Jumlah
109


KEGUNAAN KOLEKSI PLASMA NUTFAH TEBU
           
Koleksi plasma nutfah tebu yang dikumpulkan dan dilestarikan di P3GI dimanfaatkan untuk :
1.    Karakterisasi dan evaluasi
2.    Pemanfaatan untuk pemuliaan sebagai tetua persilangan
3.    Tukar menukar varietas dengan negara lain

STATUS KOLEKSI PLASMA NUTFAH TEBU DI INDONESIA
      Koleksi plasma nutfah tebu yang ditanam di kebun koleksi P3GI berasal dari beberapa kegiatan yaitu :
1.    Eksplorasi    
Tebu (Saccharum officinarum) berasal dari Indonesia tepatnya sebelah Timur garis Wallace yang meliputi Sulawesi, Maluku dan Papua yang kemudian menyebar ke Fiji, India dan China pada masa pra sejarah (Roach dan Daniels, 1987).  Eksplorasi untuk mengumpulkan plasma nutfah tebu dan kerabatnya dari habitat asli telah dilakukan sejak 1916 sampai tahun 1995 (Berding dan Koike, 1980; Naidu dan Sreenivasan, 1987;  Sastrowijono, et al., 1996).  Hasil eksplorasi kemudian dikonservasi secara ex-situ di kebun koleksi Pasuruan.

 Tabel 4.  Kegiatan Ekspedisi Plasma Nutfah Tebu di Indonesia

Nama
Tahun
Spesies/klon yang dikumpulkan
Haga
1916
Tebu hitam Rokan, Erianthus dan Narenga
Van Harreveld
1921
S. spontaneum klon Tabongo; S. robustum klon Tanangge
Asper Slag
1921
Tebu  Salah (S. robustum)
Posthumus
1930
Di sekitar sungai Mahakam Kalimantan dan Sulawesi Tengah :
-       Tebu  Salah Tipe (3)
-       S. spontaneum (9)
-       Miscanthus spp. (1)
Warner dan Grassl
1957
-          S. officinarum (45)
-          S. robustum (7)
-          S. edule (3).
-          Biji-biji dari S. robustum (5), S. spontaneum (1) dan Miscanthus spp. (1).
Berding dan Koike
1976
Kalimantan (112), Sulawesi (114), Maluku (34), Papua (310):
-          S. officinarum (124
-          S. spontaneum (51)
-          S.  edule (24)
-          S. robustum (117)
-          Erianthus spp (152)
-          Miscanthus spp (40)
Tew, Purdy, Lamadji dan Irawan
1984
Papua, Maluku, Sulawesi dan Sumatera utara:
-          S. officinarum (51)
-          S. spontaneum (41)
-          S. edule (6)
-          S. robustum (22)
-          Erianthus spp. (9)
-          Miscanthus spp. (4)
Sastrowijono
1985
Papua :
-          S. officinarum (34)
-          S. spontaneum (34)
-          S. edule (4)
-          Erianthus spp. (11)
-          Miscanthus spp. (1)
-          Nephia spp. (1)
-          tak teridentifikasi (3)
Sastrowijono, Lamadji, Irawan dan Suwarno
1995
Papua :
-          S. officinarum (55)
-          S. robustum (21)
-          S. edule (17)
-          Ripidium spp (2)
-          lain-lain (2)

Kegiatan eksplorasi dilakukan terakhir kali oleh P3GI pada tahun 1995 di Papua meliputi Kabupaten Jayapura, Merauke, Tanah Merah, Paniai (Nabire), dan Jayawijaya (Wamena).  Sampai saat ini belum pernah dilakukan eksplorasi lagi karena tidak tersedia dana.  Sementara itu kegiatan eksploitasi kawasan hutan untuk pertambangan, industri, jalan, penebangan kayu, semakin mengancam terjadinya erosi genetic, sehingga masih perlu dilakukan eksplorasi ke pusat penyebaran tebu khususnya di Papua, Sulawesi dan Maluku di daerah-daerah yang belum tersentuh oleh ekspeditor sebelumnya.

2.    Introduksi
Jumlah koleksi plasma nutfah juga bertambah karena adanya kegiatan tukar menukar varietas dengan negara lain atau mendatangkan varietas tebu dari luar negeri.  Varietas tebu dari beberapa negara  yaitu Afrika Selatan, Amerika Serikat, Argentina, Australia, Bangladesh, Barbados, Brasilia, Cuba, Demerara (Guyana), Dominika, Fiji, Hawaii, India, Jepang, Malaysia, Mauritius, Meksiko, Molokai, Filipina, Puerto Rico, Saipan, Taiwan, Thailand,  sudah dikoleksi dan dimanfaatkan sebagai tetua persilangan. 
Bahkan beberapa di antaranya pernah menjadi varietas unggul komersial yang cukup luas, seperti F 154, F 156, ROC 14 (asal Taiwan), M 442-51 (asal Mauritius), Triton, Q 90 (asal Australia), NCo 310, Nco 376 (asal India),  dll.  Tercatat beberapa varietas unggul baru hasil kombinasi persilangan dengan mengunakan tetua asal introduksi dengan klon lokal seperti : PS 80-442 ( PS 41 dengan  CP 51-21 asal Amerika Serikat) dan PS 851 ( PS 57 dengan B 37173 asal Barbados), atau hasil persilangan polycross seperti PS 862 (F 162 asal Taiwan),  PS 864  (PR 1117 asal Puerto Rico).
Selain itu adanya kegiatan kerjasama antara P3GI dan BSES Australia tentang pengujian ketahanan klon-klon asal Australia terhadap penyakit luka api di Indonesia, juga menambah kekayaan koleksi plasma nutfah tebu di P3GI.  Dari hasil kerjasama tersebut P3GI diijinkan memanfaatkan 10 klon yang diuji untuk tetua persilangan.

3.    Hibridisasi
P3GI melakukan kegiatan persilangan/hibridisasi secara rutin setiap tahun untuk mendapatkan varietas tebu unggul baru.  Sebelum sampai pada tahap  mendapatkan varietas tebu unggul baru (VUB), kita memperoleh varietas unggul harapan (VUH) yang akan melewati tahap uji adaptasi di beberapa pusat lokasi seleksi.  Varietas unggul harapan (VUH) tersebut dikumpulkan dan dipelihara di kebun koleksi P3GI Pasuruan untuk menyelamatkan varietas harapan yang tersebar di pusat-pusat seleksi, karena saat ini Kebun Percobaan P3GI sebagai pusat seleksi kesulitan dana untuk membiayai pemeliharaan varietas harapan yang dihasilkan.  Dengan demikian tidak hanya varietas tebu unggul baru saja yang dipelihara di kebun koleksi tetapi juga varietas unggul harapan.  Oleh karena itu peningkatan jumlah plasma nutfah selalu terjadi seiring dengan kegiatan persilangan, sehingga  ketersediaan dana yang pasti dan berkesinambungan sangat diperlukan untuk mengelola kebun koleksi.

KENDALA PENGELOLAAN PLASMA NUTFAH TEBU DI P3GI
 Kendala yang dihadapi dalam mengelola plasma nutfah di P3GI adalah tersedianya dana yang kurang memadai dan tidak berkesinambungan.  Dengan demikian pelestarian plasma nutfah tidak dapat optimal karena koleksi tidak selalu mendapat perawatan yang bagus akibatnya beberapa aksesi punah.  Apabila kondisi ini berlangsung dalam jangka waktu lama akan mengurangi jumlah koleksi P3GI.  Contoh yang pernah dialami oleh P3GI yaitu kehilangan beberapa sumber daya genetik tebu penting seperti Cirebon hitam, Banjarmasin hitam, tebu emas, tebu merah, klon-klon dari S. barberi, S. sinensis dan S. officinarum.
Selain itu dengan tidak tersedianya dana yang memadai, upaya menambah keragaman genetik melalui kegiatan eksplorasi di habitat aslinya tidak dapat dilakukan.  P3GI melakukan ekspedisi terakhir kali pada tahun 1995.  Masalah ini harus segera mendapat perhatian serius karena eksploitasi kawasan hutan untuk pertambangan, industri, jalan, penebangan kayu, semakin mengancam terjadinya erosi genetic di habitat asli.   
Selain itu erosi keragaman genetik  akan mempercepat proses penyempitan gene resources tebu di Indonesia, karena punahnya klon-klon penting tidak diimbangi dengan upaya penambahan keragaman genetik dan upaya perawatan koleksi yang ideal.  Masalah yang setiap tahun terjadi adalah tebang dan regenerasi koleksi terlambat karena tidak tersedia dana yang mencukupi, sehingga koleksi terlambat ditebang.  Dengan demikian beberapa aksesi yang pertumbuhannya cepat telah memasuki fase kematian. Klon-klon yang seperti ini sulit berkecambah sehingga tidak dapat diregenerasikan dan terancam punah.  Selain itu kekurangan SDM yang handal menjadi masalah yang tidak kalah penting untuk menangani masalah tersebut.
Tabel 5.  Klon-klon yang mati pada MT 2007/2008
No.
Spesies
Jumlah
1.
2.
3.
4.
5.
Saccharum officinarum
Saccharum robustum
Saccharum edule
Tanpa penggolongan
Tebu hasil persilangan
3
12
7
1
16

Jumlah
39

KESIMPULAN


1.          Keberadaan plasma nutfah tebu sangat diperlukan untuk memperbaiki produktivitas gula melalui program perakitan varietas tebu unggul baru.
2.          Upaya melestarikan dan meningkatkan keragaman genetik plasma nutfah tebu dapat dilakukan secara optimal jika tersedia dana yang memadai dan berkesinambungan.
3.          Punahnya beberapa aksesi plasma nutfah menyebabkan berkurangnya  keragaman genetik yang dikoleksi, sehingga hal ini harus dicegah dengan melestarikan koleksi secara optimal.


DAFTAR PUSTAKA
Azrai, Muhammad.  2005.  Pemanfaatan markah molekuler dalam proses seleksi pemuliaan tanaman.   Jurnal AgroBiogen 1(1):26-37

Berding, M and H. Koike.  1980.  Germplasm Conservation of the Saccharum complex : A collection from the Indonesian Archipelago.  Hawaiian Planters’ Record Vo. 59, No. 7; HSPA : 176 hal.

Grasel, C.D. 1974. The origin of sugarcane.  ISSCT sugarcane Breeder’s Newsletter 34: 10-18.

Lamadji, S.  1994.  Pelestarian Plasma Nutfah Tebu.  Gula Indonesia. 19(1):33-37.

Lestari G.E dan Ragapadmi P. 2005.  Penyimpanan In vitro tanaman obat daun dewa melalui pertumbuhan minimal.  Jurnal AgroBiogen 1(2): 68-72

Maxted, N dan S.P. Kell.  2003.  Plant diversity, conservation and use. In Thomas, B., D.J. Murphy and B.G. Murray (Eds), Encyclopedia of Applied Plant Sciences, Biodiversity and conservation. Elsevier Academic press. Oxford UK, san diego, p. 25-48.

Naidu, K.M. and T.V. Sreenivasan.  1987.  Conservation of Sugarcane Germplasm.  In: Copersucar Int. Sugarcane Workshop. CopersucarTech. Center, Piracicaba-SP, Brasil : 33-53 hal.

Roach, B.T. and daniels.  1987.  A Review of the Origin and Improvement of Sugarcane .  In: Copersucar Int. Sugarcane Workshop. CopersucarTech. Center, Piracicaba-SP, Brasil : 1- 31 hal.

Sudharma, I.M.  1994.  Pelestarian plasma nutfah secara in-vitro.  Bahan pelatihan pengelolaan plasma nutfah pertanian.  Lawang-Malang 11p.

Sastrowijono, S.  1996.  Cara mengenal klon-klon tebu.  Seri Pedoman P3GI.  Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia Pasuruan.

Williams, J.T.  1991.  Plant genetic resources:  Some new direction.   Adv. Agron. 45: 61-91.

Withers, L.A. 1985. Cryopreservation and Storage of Germplasm : 169-191. In: R.A. dixon (Ed) Plant cell culture : A practical approach. IRL Press, Oxford-Washington.

CARA MEMELIHARA KEMURNIAN GENETIK DAN PRODUKSI BENIH JAGUNG KOMPOSIT: Mendorong Petani Membuat Benih Bermutu Tinggi


Oman Suherman 1 dan Awaludin Hipi 2
1.   Ahli Peneliti Utama pada Balitsereal, Maros- Sulawesi Selatan
2.   Peneliti pada BPTP Nusa Tenggara Barat
                                                                                 ABSTRAK        
Benih jagung bermutu yang murni dari varietas unggul jagung komposit menjamin tercapainya produktivitas tinggi. Benih yang kemurnian genetiknya tinggi dapat diperoleh melalui penyiapan bahan genetik pilihan, budidaya tidak luas dan intensif, penggunaan sarana produksi yang berimbang sesuai lingkungan tumbuh dan  pengelolaan yang optimum. Empat cara memelihara kemurnian genetik jagung komposit varietas unggul yaitu (a)  penyerbukan campuran, (b) seleksi massa pada plot terisolasi, (c) konversi penanaman persilangan half-sib ke dalam blok yang terisolasi, dan (d) persilangan half sib satu tongkol per baris pada blok terisolasi. Keempat cara berpeluang dapat dilakukan oleh petani karena bahan genetik dan bahan lapangan tersedia disekitar petani, sebagian petani pada umumnya sedikit mengetahui cara menyiapkan benih yang baik berdasarkan seleksi ukuran/bentuk tongkol dan biji.
Kata kunci : kemurnian genetik, benih, jagung bersari bebas
PENDAHULUAN
Jagung (Zea mays L) termasuk tanaman serealia yang bebas diperdagangkan dan dapat dikonsumsi dalam berbagai bentuk olahan sederhana hingga olahan bergengsi tinggi. Ragam jenis makanan selingan seperti jagung manis dan jagung pop corn tersebar di desa dan perkotaan. Tepung jagung produk industri bahan setengah jadi banyak digunakan oleh berbagai jenis industri antara lain makanan ringan kerupuk (Chiki, Chitos, dll), pabrik biskuit, barbaque, roti, mie, spagheti, es krem, bumbu masak, kecap, saus, tauco, soun, pemanis, minuman penyegar, sirop, dan minyak sawit. Industri ransum pakan ternak, unggas, dan ikan berkembang pesat sejak tahun 1985, memenuhi perubahan pola konsumsi masyarakat yang meningkat terhadap konsumsi daging, telur dan susu sebagai akibat dari meningkatnya inovasi teknologi biologi,  kimia, dan pendapatan masyarakat. Sejalan dengan itu  permintaan jagung meningkat dengan laju pertumbuhan 3,4 % / tahun (Kasrino, 2002). Pasar jagung terbuka di dalam negeri dan ekspor ke Jepang, Korea,  Taiwan, Malaysia, Thailand dan Filipina.
Dalam mendukung peningkatan produksi jagung di Indonesia, Karama (2004), berpendapat bahwa kebijakan perbenihan jagung komersil tingkat nasional sebaiknya diproduksi di Indonesia. Namun hingga saat ini, sumber daya dan kelembagaan perbenihan jagung dalam negeri belum merupakan produsen pertanian yang mumpuni dan berdaya saing handal (Baihaki, 2004). Oleh sebab itu, aspek pemahaman ilmu pemuliaan praktis dalam kehidupan pertanian khususnya ilmu menghasilkan benih jagung bermutu oleh petani harus diperluas dan ditingkatkan.
Benih varietas unggul yang bermutu merupakan penentu batas atas produktivitas usahatani. Ketersediaan benih bermutu tepat waktu dan lokasi akan mendorong percepatan pengembangan inovasi teknologi baru guna meningkatkan pendapatan dan produksi jagung nasional. Saat ini, para industri benih jagung  nasional dan swasta belum bersinergis, sehingga pengembangan inovasi baru masih lambat antara lain terlihat dari pengembangan varietas jagung hibrida yang baru mencapai 27,91 %, selebihnya didominasi oleh jagung lokal dan komposit (Nugraha dan Subandi, 2002).  Bahkan menurut Paliwal, (2001),  sebagian besar petani Indonesia masih menggunakan benih asalan, berupa turunan hibrida dan komposit keturunan. Selama masih banyaknya jumlah petani yang menanam varietas lokal, maka rata-rata produktivitas jagung di Indonesia tetap rendah 2,47 t/ha (Subandi, 1988).

SISTEM PERBENIHAN JAGUNG KOMPOSIT
Produksi benih jagung bersari bebas atau komposit komersil dibagi atas tiga kelas yaitu benih pemulia, benih dasar, dan benih sebar. Benih pemulia disebut pula benih penjenis atau breeder seed disingkat BS. Benih dasar atau foundation seed atau disebut pula benih label putih yaitu benih sumber untuk menghasilkan kelas benih pokok. Benih pokok atau stock seed disebut pula benih label ungu merupakan benih sumber untuk menghasilkan kelas benih sebar yang lazim disingkat BR atau label biru. 
Benih penjenis dihasilkan oleh lembaga/pihak penemu varietas baru. Benihnya harus memiliki variasi keragaman pertumbuhan tanaman yang rendah. Standar mutu benih harus dilakukan secara cermat dan teliti, melakukan seleksi massa negatif untuk tanaman tipe simpang pada setiap fase pertumbuhan tanaman dalam perbanyakan benih. Pemeliharaan kemurnian genetiknya selama varietas baru diproduksi adalah penemu varietas baru. Sejak pelepasan varietas baru, dipilih satu populasi yang terbaik untuk diperbanyak ulang yang jumlahnya diatur berdasarkan jumlah baris atau panjang baris pada plot pemeliharaan benih penjenis. Dalam upaya memelihara taraf kemurnian genetik yang tinggi dianjurkan menggunakan luas plot yang kecil dan dipelihara secara intensif. Berbagai cara pemeliharaan dan produksi benih pemulia antara lain: (a)  penyerbukan campuran, (b) plot seleksi massa terisolasi, (c) konversi penanaman campuran terisolasi ke dalam blok persilangan half-sib, dan (d) persilangan satu tongkol per baris pada blok terisolasi.
Benih dasar disingkat BD atau label putih adalah turunan pertama dari benih penjenis. Penghasil kelas benih ini adalah lembaga tertentu yang diawasi oleh Balai sertifikasi sebagai pengendali mutu standar yang didampingi oleh pemulianya sebagai penangung jawab dalam mempertahankan kemurnian varietasnya. Cara perbanyakannya harus terisolasi dari pembungaan yang bersamaan (± 30 hari) dengan  varietas lainnya. Seluruh tanaman tipe simpang dan tanaman terserang penyakit harus dicabut sebelum penyerbukan. Tanaman yang dicabut paling banyak berjumlah 10-15 % dari total populasi. Plot perbanyakan benih penjenis jagung yang jumlah tipe simpangnya ≥ 15 % tidak baik dijadikan kelas benih penjenis yang penilaiannya dilakukan oleh BPSB bersama pemuliannya.
Generasi pertama dari kelas benih dasar dapat diperbanyak ulang menghasilkan benih pokok dengan penanggungjawab seorang teknisi yang ditunjuk oleh pemulia. Standar mutu dilakukan oleh BPSB. 
Benih sebar atau BR atau benih label biru merupakan proses perbenihan tahap akhir. Lokasi produksi harus terisolasi dari pembungaan yang bersamaan (± 30 hari) dengan  varietas lainnya. Seluruh tanaman tipe simpang dan tanaman terserang penyakit harus dicabut sebelum penyerbukan. Jumlah tanaman tipe simpang  > 15 %. Panangkar pilihan BPSB harus berkoordinasi atau bekerjasama dengan pengusaha benih pemerintah (BUMN)  atau pengusaha benih swasta yang bertanggungjawab dalam pendistribusian benih berlabel. Kelulusan benih bermutu disertifikasi oleh BPSB dan diberi perlakuan seed treatment dengan insektisida dan fungisida sebelum dijual ke petani.
CARA MEMELIHARA KEMURNIAN GENETIK DAN PRODUKSI BENIH
1.       Seleksi massa pada plot terisolasi
Benih yang akan diperbanyak merupakan turunan kedua dari varietas unggul baru atau benih penjenis dari lembaga penemu varietas. Harga benih penjenis jagung komposit dari lembaga publik penemu varietas baru adalah lebih murah dibanding harga jagung hibrida. Petani diperbolehkan mendapatkan benih penjenis sesuai pilihannya dengan melakukan pembelian resmi kepada unit komersialisasi teknologi di lembaga penemu varietas yaitu Balitsereal. Sebanyak 2,5 kg benih penjenis jagung ditanam pada luas plot 0,10 ha  dengan bentuk petak hampir persegi empat (32 m x 32 m). Lahan dipersiapkan secara baik misalnya masing-masing 1 kali pembajakan, penghalusan tahan dan perataan lahan. Jarak tanam agak jarang yaitu 75 cm x 25 cm dengan jumlah biji 1-2 lubang. Waktu tanam adalah 30 hari sebelum atau sesudah penanaman jagung disekitarnya dengan radius 200 m (isolasi). Pada umur 10-15 hari setelah tanam dilakukan penjarangan tanaman dengan mensisakan satu tanaman. Pupuk dasar masing-masing 100 kg untuk urea, SP36 dan KCl diberikan setelah tanaman tumbuh setelah penjarangan. Pupuk urea susulan diberikan umur 28 hari dan 40 hari setelah tanam. Penyiangan pertama bersamaan pembumbunan dilakukan umur 24 hari. Kelembaban tanah dipertahankan cukup selama pertumbuhan tanaman. Pada waktu penanaman yaitu harus 30 hari sebelum atau sesudah penanaman jagung disekitarnya atau berjarak 200 m (isolasi). Pada blok pertanaman dibuat saluran air pembatas anak petak setiap 5 m agar memudahkan dalam pelaksanaan seleksi. Pada fase pembungaan, tanaman yang menyimpang atau berpenampilan tidak sesuai dengan deskripsi bunga jantannya (malai) harus dicabut sebelum menyerbuk. Sebelum panen, tanaman yang tidak dipotong malainya dan berpenampilan baik sesuai deskripsi dari setiap plot 5 m x 5 m dipilih dan diberi tanda (kapuri) sedikitnya 1000 tongkol. Setelah panen dipilih 500 tongkol yang seragam bentuk tongkol dan bijinya. Campuran biji secara berimbang dari setiap tongkol pilihan merupakan benih sumber pertama yang bermutu tinggi. Setiap tongkol dapat dipilih 250 butir, sehingga dari 500 tongkol akan menghasilkan 125.000 butir atau sekitar 35 kg benih bermutu tinggi yaitu cukup untuk 1,5 ha.
2.       Konversi pertanaman persilangan half-sib ke dalam blok yang terisolasi.
Cara ini menggunakan benih sumber sebanyak 3,5 kg, ukuran plot 15 m x 15 m, jarak tanam 75 cm x 25 cm, jumlah biji 1-2 butir per lubang, penjarangan umur 10-15 hari dan disisakan  satu tanaman. Blok pertanaman harus terisolasi pada saat berbunga. Takaran pupuk dan pemeliharaan tanaman dilakukan seperti cara di atas. Sebelum pembungaan baris tanaman diatur berdasarkan baris yang berfungsi sebagai induk jantan atau polinator dan baris yang berfungsi sebagai induk betina atau penerima tepungsari dengan perbandingan baris tanaman induk jantan terhadap induk betina adalah 1 : 3. Penataan baris ini diatur secara simetris yaitu setiap satu baris induk jantan selalu diselingi dengan tiga baris induk betina. Bunga jantan atau malai dari seluruh tanaman induk betina harus dicabut sebelum penyerbukan, sedangkan malai pada tanaman induk jantan yang berpenampilan tidak baik dan tipe simpang (20-40 %) harus dicabut sebelum penyerbukan. Menjelang panen, baris induk betina dilakukan plotting dengan cara menandai setiap 16 rumpun per baris (kapur). Sebanyak 2-3 tanaman pilihan dari 15 rumpun (plot) yang sesuai deskripsi  diberi tanda untuk dipanen sebagai calon benih dengan pembandingnya induk jantan yang sempurna. Setelah panen dipilih 500 tongkol yang bentuknya baik dan seragam termasuk warna dan ukuran biji. Campuran biji secara berimbang dari setiap tongkol pilihan merupakan benih sumber pertama yang bermutu tinggi. Setiap tongkol dapat dipilih 250 butir, sehingga dari 500 tongkol akan menghasilkan 125.000 butir atau sekitar 35 kg benih bermutu tinggi yaitu cukup untuk 1,5 ha.
HASIL BENIH METODE PERBANYAKAN HALF-SIB
Jumlah tanaman yang menyimpang berdasarkan bentuk tanaman dan tinggi tanaman dalam tiga periode pengamatan mencapai 409 tanaman atau   10,3 % yang terdiri dari atas sepertiga  bagian berasal dari pejantan dan sisanya berasal dari kelompok tanaman betina (Tabel 1). Pada fase vegetatif yakni umur tanaman 4 minggu, yang lebih banyak membuang tanaman tipe simpang yaitu yang terlalu tinggi dan yang kurus. Sedangkan pada umur 7 minggu seleksi massa negatif lebih banyak pada habitus tanaman yang pendek dan yang kurus. Pada umur 10 minggu, seleksi roguing relatif marata antara 2-5 % dari karakter bentuk dan tinggi tanaman.
Tabel 1.  Jumlah tanaman tipe simpang (%) varietas Bisma berdasarkan bentuk tanaman dan  tinggi tanaman. Maros 2003
Umur tanaman
Bentuk tanaman
Tinggi tanaman
Gemuk
Kurus
Tinggi
Pendek
4 minggu
46 (1,2%)
69 (1,8%)
74 (1,9%)
55 (1,4%)
7 minggu
22 (0,6%)
31 (0,9%)
25 (0,6%)
30 (0,8%)
10 minggu
18 (0,5%)
13 (0,4%)
16 (0,5%)
11 (0,2%)
Sumber : Data primer yang diolah
Malai merupakan gudang tepungsari dan dalam satu malai terdapat jutaan serbuksari. Tanaman pilihan yang bermalai baik sesuai dengan deskripsi harus dipertahankan dan menyerbuki tanaman pilihan lainnya. Bentuk malai yang dikehendaki adalah tidak serak dan kuncup dan relatif seragam. Demikian pula untuk warna malai /glume yang dipertahankan adalah merah.
Untuk memperoleh hasil keturunan yang seragam dalam waktu 50% berbunga, maka pada penelitian ini dipilih tanaman yang berbunganya antara 65 hingga 73 hari atau selang berbunga seminggu. Tipe simpang terbanyak adalah pada bentuk malai (Tabel 2).
Tabel 2.  Jumlah  tanaman  tipe simpang (%)  varietas  Bisma berdasarkan seleksi  pembungaan. Maros. 2003
Umur tanaman
Bentuk malai
Warna Malai
Umur keluar malai
Serak
Kuncup
Ungu
Kuning
Cepat
Lambat
Sebelum umur 56 hari
23  (0,7 %)
34 (1,0%)
21 (0,6%)
29 (0,8%)
35 (0,1%)
-
Setelah umur 73 hari
15 (0,5%)
10 (0,3%)
14 (0,5%)
10 (0,2%)
-
17 (0,6%)
Sumber : Data primer yang diolah
Populasi tanaman betina yang dipanen untuk menghasilkan benih sebanyak 44,3 % dari populasi 3.850 tanaman luas blok percobaan 25 m x 30 m. Total tongkol tipe simpang pada penelitian ini mencapai 758 atau sebesar 44,4 % dari total tanaman betina yang dipanen. Setiap tanaman dipanen satu tongkol yang letaknya dibagian atas. Tipe simpang tongkol yang terbanyak adalah pada karakter ukuran tongkol kecil  mencapai 9,2 % disusul oleh tongkol terbuka dan tongkol tidak terisi biji secara penuh (Tabel 3).
Tabel 3. Jumlah dan persentase tongkol tipe simpang dalam produksi benih  Bisma. Maros 2003
Saat seleksi
Tongkol berkelobot
Tongkol kupas
Biji
Terbuka
Berdaun
Kecil
Tdk penuh
Kuning pucat
Brs tdk lurus
Pengolahan
152
104
225
151
58
68
7,7 %
3,2%
9,2 %
7,7 %
1,8 %
2,1 %
Sumber : Data primer yang diolah
Potensi hasil dalam perbanyakan benih ini mencapai 6.325 kg/ha pipilan yang terdiri dari 2.910 kg benih bermutu dan 3.415 benih konsumsi (Tabel 4). Jumlah tongkol tipe simpang sebanding dengan hasil tanaman pejantan masing-masing 1.192 kg/ha dan 1.248 kg/ha. Intensitas seleksi tongkol cukup tinggi agar dihasilkan benih bermutu yang lebih baik. Jika jagung konsumsi dinilai Rp. 1000/kg dan jagung untuk benih dinilai Rp. 5.000/kg,  maka  dalam satu hektar diperoleh pendapatan sebesar Rp. 17.968.000 /ha selama 4 bulan.
Tabel 4. Hasil benih jagung bermutu dan konsumsi varietas Bisma.   Maros, 2003
Hasil perbanyakan
Hasil (kg/ha)
%
Benih
Konsumsi
Tanaman betina pilihan
Tipe simpang tanaman betina fase vegetatif
Tipe simpang tanaman betina fase generatif
Tipe simpang tongkol
Tanaman pejantan
2,910
-
-
-
-
-
629
349
1,192
1,248
46,1
9,9
5,5
18,8
19,7
Sumber : Data primer yang diolah
Menurut Abdul Bari et.al. (1974), tanaman tipe simpang yang mengekpresikan penampilan tanaman tidak normal pada bentuk tanaman adalah sebagai akibat silangdiri atau selfing. Selain itu tanaman tipe simpang dapat disebabkan akibat persilangan antar tanaman yang memiliki  daya gabung baik sehingga membentuk tanaman superior. Hal ini terkait dengan istilah jagung komposit yang merupakan turunan multi hibrida (Subandi, 1988 dan Dahlan dan Sugiyatni, 1992).
Bagi petani yang akan mempraktekan cara tersebut dapat mengenal tanaman tipe simpang dengan memperhatikan  (visual) secara seksama diantara tanaman sekitarnya. Bentuk tanaman yang terlalu gemuk terlihat dari susunan daun pada batang yang rapat dengan ukuran, dan sudut yang berbeda. Tanaman yang kurus, berbatang kecil, daun sempit, internode panjang, termasuk tipe simpang. Semua tipe simpang saat menseleksi dianjurkan untuk dicabut agar seleksi berikutnya semakin ringan. Penandaan tanaman tipe simpang dengan cara memotong bagian atas tanaman harus dipanen umur 75-85 hari setelah tongkol berisi dengan cara menebas tanaman.
Satu masalah dalam dalam produksi benih adalah persentase biji isi tidak penuh mencapai 7,7 %. Idealnya tongkol yang baik berisi penuh biji sepertihalnya jagung hibrida C7 dan C9 yang memiliki karakter good tip(Balitsereal, 2002). Untuk meningkatkan pengisian biji, disarankan melakukan persilangan bantuan yaitu mengumpulkan tepungsari dari tanaman pilihan lalu menyerbukan dengan bantuan tangan pada waktu rambut tongkol  masih basah.
Cara menghasilkan benih jagung komposit bermutu tinggi dari populasi unggul mestinya bisa dikerjakan oleh petani. Tanaman tipe simpang cukup dipotong bagian atasnya agar tetap menghasilkan tongkol. Seleksi tongkol yang dilakukan oleh ibu tani cenderung akan menghasilkan kualitas yang lebih baik. Kebutuhan benih per hektar 80.000 butir. Jika setiap tongkol dapat dipilih menjadi benih sebanyak 350 butir maka dalam satu hektar dibutuhkan 250 tongkol.
KESIMPULAN DAN SARAN
1.       Cara memelihara kemurnian genetik jagung komposit dan produksi benih jagung bermutu yang kemungkinan besar dapat dilakukian oleh petani adalah metose seleksi massa dan modifikasi half sib ear-to-row. Cara tersebut menghasilkan benih bermutu 2.980 kg benih dan 3.210 kg konsumsi per hektar.
2.       Biji konsumsi marupakan hasil dari tanaman tipe simpang dan sortiran tongkol serta tipe simpang yang mencapai jumlah tinggi sebanyak 1.192 kg/ha (18,8 %).
3.       Perlu mensosialisasikan cara memelihara kemurnian jagung komposit di setiap sentra pengembangan jagung oleh Litbang dan Dinas Pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Bari, Sjarkani Musa, dan Endang Sjamsudin. 1974. Pengantar Pemuliaan Tanaman. IPB. 90 halaman.
Baihaki, A. 2004. Mengantisipasi persaingan dalam menuju swasembada varietas unggul. Makalah Simposium PERIPI di Balitro Bogor, 5-7 Agustus 2004. 17 halaman.
Balitsereal 2002. Deskripsi varietas jagung edisi ketiga. Badan Litbang Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Serealia, 74 halaman.
CIMMYT. 1994. Maintenace and seed multiplication of maize. CIMMYT. Mexico. 9 pp.
Dahlan, M dan Sugiyatni S. 1992. Pemuliaan tanaman jagung. Dalam Astanto et.al.,  (Eds). Prosiding Simposium Pemuliaan I. Perhimpunan Pemuliaan Indonesia. Hal 17-29.
Karama. S. 2004. Posisi perbenihan Indonesia sekarang dan antiisipasi terhadap benih impor. Makalah Simposium PERIPI di Balitro Bogor, 5-7 Agustus 2004. 3 halaman.
Kasrino. F. 2002. Perkembangan produksi dan konsumsi jagung dunia selama empat tahun dekade lalu dan implikasinya bagi indonesia. Kumpulan Makalah Diskusi Agribisnis Jagung. Badan Litbang Pertanian.  39 halaman.
Pingali P.L., and S. Pandey. 2001. Maize production in developing word. In Pingali L.P (Ed). CIMMYT. 60 pp.
Poelman. 1987. Breeding Field Crops. Third edition.  An Avi Book, New York. P.451-507.
Subandi. 1988. Perbaikan varietas jagung. Dalam Subandi et.al.,  (Eds). Jagung Puslitbantan Bogor.
Keterangan :
1.       Penyerbukan campuran. Pada saat tanaman keluar malai dipilih 3.000 tanaman (selama 5 hari) yang keragaan tampilan tanamannya tumbuh baik dan seragam sesuai deskripsi dengan cara menutup tongkol dengan kantong plastik yang biasa dipakai untuk es lebar 3 cm. Setelah 4-6 hari tongkol dibungkus, dilakukan pembungkusan malai yang siap menyerbuk dari tanaman pilihan dengan menggunakan pembungkus dari kertas (20 cm x 25 cm). Waktu pembungkusan malai jagung adalah waktu sore hari, pengumpulan tepungsari dari pembungus dilakukan pagi hari (pukul 9-10 siang) keesokannya, tepungsari setiap kantong dicampur lalu ditumpahkan pada rambut tongkol (≤ 4 cm) yang ditutup kantong plastik. Persilangan dilakukan terhadap ≤ 1000 tanaman pilihan. Setelah 50 hari dari persilangan dilakukan panen, dan dipilih 500 tongkol hasil persilangan yang bentuk tongkol dan bijinya seragam. Campuran biji secara berimbang dari setiap tongkol pilihan merupakan benih sumber pertama yang bermutu tinggi. Setiap tongkol dapat dipilih 250 butir, sehingga dari 500 tongkol akan menghasilkan 125.000 butir atau sekitar 35 kg bermutu tinggi yaitu cukup untuk 1,5 ha.
Persilangan half sib satu tongkol per baris pada blok terisolasi. Cara ini merupakan yang paling efektif menghasilkan kelas benih pemulia. Benih sumbernya adalah 200-500 tongkol pilihan.  Biji dari setiap tongkol akan dijfungsikan sebagai baris tanaman induk betina. Benih untuk induk jantan dipersiapkan dengan cara mencampur secara berimbang dari sejumlah biji setiap tongkol (15-40 butir/tongkol). Baris induk jantan ditanam secara berselang seling dengan baris induk betina secara simetris yaitu setiap 1-2 baris pejantan diselingi dengan 3-6 baris induk betina. Jaran tanam 75 cm x 25 cm, jumlah biji 1-2 butir per lubang, diperjaran umur 10-15 hari dan mensisakan satu tanaman per rumpun. Blok pertanaman harus terisolasi saat berbunganya. Sebelum berbunga, tanaman tipe simpang pada baris induk jantan harus dicabut malainya sebelum penyerbukan (20-40 %). Seluruh tanaman induk betina harus dicabut malainya sebelum penyerbukan.  Sebelum panen, baris tanaman induk betina pilihan (50 %) yang sesuai deskripsi ditandai sebagai calon benih dengan pembanding tanaman induk jantan yang tumbuh baik dan  sempurna. Setelah panen dipilih 2-4 tongkol pilihan sesuai deskripsi hingga mencapai 500 tongkol pilihan. Setiap tongkol dapat dipilih 250 butir, sehingga dari 500 tongkol akan menghasilkan 125.000 butir atau sekitar 35 kg benih bermutu tinggi yaitu cukup untuk 1,5 ha.