A.
PENDAHULUAN
Agama pada dasarnya
hadir dengan misi kebaikan. Semua orang mengetahui bahwa agama sakral dan sarat
dengan nilai-nilai universal. Tujuannya satu agar manusia hidup damai, harmoni
dengan lingkungan, taat pada aturan, dan patuh pada ajaran Tuhan. Namun ketika
ajaran agama harus diwujudkan oleh para pemeluknya, ia harus bersentuhan dengan
kehidupan sosial budaya. pertama, ajaran
itu akan difahami oleh para pemeluknya sesuai daya nalar, tingkat pengalaman,
pengaruh lingkungan. Dalam konteks ini ajaran agama masuk dalam ranah persepsi
para pemeluknya. Tidak aneh akan muncul beragam mazhab dan aliran, walau esensinya
sama. Dan hal ini potensial menimbulkan masalah internal. Kedua, ketika para
pemeluk ajaran agama secara konsekwen harus mengamalkan ajaran agama yang
diyakininya, akan bersentuhan dengan para pemeluk ajaran agama lain. Disini
agama masuk dalam ranah sosial kehidupan beragama, dan hal ini potensial
menimbulkan masalah eksternal. Dan dalam menjamin kebebasan menjalankan agama
bagi para pemeluknya, negara telah menjamin dan mengaturnya dengan berbagai
payung hukum, namun dalam implementasinya terkadang tidak semudah yang kita
perkirakan. Atas dasar itulah perlu kiranya ada etika yang harus menjadi acuan
bersama bagi para pemeluk agama, untuk meminimalkan kemungkinan timbulnya
konflik yang sering merugikan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
B.
AGAMA
Ada dua sisi dalam memandang pengertian Agama; agama
sebagai ajaran yang memiliki kebenaran mutlak (terutama bagi yang meyakininya)
dan agama dalam pengertian pemeluk yang melaksanakan agama. Dalam pengertian
ajaran, agama tidak banyak mengundang masalah karena didalamnya mengandung
nilai-nilai yang uneversal dan baik bagi manusia. Dalam kata lain semua agama mengajarkan kebaikan bagi
semua manusia. Dalam kajian perbandingan agama, ada dua kategori, ada agama
samawi yang diturunkan melalui wahyu kepada para nabi/utusan Alloh seperti
Yahudi, Kristen, dan Islam. Ada agama ardy, atau hasil budaya manusia seperti
Hindu, Budha, dan Konghuchu. Baik agama samawi maupun agama ardy keduanya
membawa misi agar manusia hidup baik dan benar. Namun dalam pengertian yang
melaksanakan agama (pemeluk agama), agama sudah berada pada wilayah persepsi
atau pemahaman para pemeluknya. Nah dalam konteks yang terakhir inilah sering
terjadi ketegangan-ketegangan, karena dalam pengertian ini, agama bersentuhan
dengan berbagai kepentingan hidup manusia seperti politik, ekonomi, sosial, dan
budaya. Dan dalam konteks ini pula, agar supaya semua pemeluk agama dapat
dengan tenang menjalankan kewajiban agama yang diyakininya, diperlukan etika
bergaul yang kemudian dikenal dengan toleransi sosial beragama.
Sebagaimana agama-agama lain, Islam
secara jelas mengandung klaim klaim eksklusif.
Bahkan tergolong sangat ketat. Hal ini nampak dalam dua kalimah syahadah
yang merupakan kesaksian kemahamutlakan Alloh sebagai satu-satunya Tuhan, dan
kerasulan Muhammad SAW sebagi Nabi dan Rasul terakhir yang kemudian disebut
sebagai Doktrin Tauhid.
Namun demikian dalam Islam, toleransi
agama memiliki dasar pijak yang kuat. Antara lain dalam ayat alhujurot 13,
“ Hai Manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Alloh ialah orang
yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Alloh maha Mengetahui lagi maha Mengenal “
yunus
99. “ Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang dimuka
bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang yang beriaman semuanya? “
Demikian
pula dasar historis tentang toleransi beragama dapat dijumpai antara lain
piagam madinah di zaman Rasululloh, perjanjian Aeliya di zaman khalifah Umar
Bin Khattab, dan banyaknya para penganut non muslim yang menjadi pejabat dalam pemerintahan
Khalifah Abbasyah yang berlansung selama 500 tahun (750- 1258 M).
Baik secara pengertian teologis,
maupun secara historis, jelas Islam merupakan agama yang sangat mengembangkan
arti toleransi yang sebenarnya sejak ribuan tahun yang lalu. Dalam arti Islam
tumbuh dan berkembang menjadi besar seperti sekarang ini bersama dengan
pengakuannya akan hak hidup agama-agama lain yang malah hidup saling
berdampingan secara harmonis.
Secara teologis, Islam memandang
bahwa doktrin tauhid tidak hanya milik Islam seperti yang umum difahami selama
ini, namun juga sebagai inti dari semua agama terutama agama samawi. Karena
misi Islam satu yaitu menyembah Tuhan Yang Satu dengan risalah yang sama
melalui rangkaian nabi-nabi hingga Nabi terakhir Muhammad SAW. Lihat surah
annisa 163 :´Sungguh Kami telah
mewahyukan kepadamu seperti juga kami wahyukan kepada Nuh dan Nabi-nabi sesudahnya, dan kami
wahyukan juga kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’kub dan anak turunannya, dan
kepada Isa, Ayyub, Yunus, Harun, dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada
Daud. Sungguh Kami kisahkan kepadamu(muhammad) beberapa rasul sebelum kamu, dan
beberapa rasul belum kami kisahkan kepadamu, dan Alloh benar-benar telah
berbicara kepada Musa.( Itulah ) para rasul pembawa berita gembira dan pembawa
peringatan (yang sama dari Alloh) agar bagi manusia tidak ada bantahan setelah
diutusnya para Rasul, dan Alloh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana “. Bahkan
Nabi Muhammad sendiri menegaskan bahwa dia datang hanya sebagai penyempurna dari
misi kenabian para rasul terdahulu. Yaitu misi ketauhidan. Dengan penegasan di
atas, Islam mengklaim bahwa ia agama yang pertama dan sekaligus agama yang
terakhir.
Dalam pandangan Islam, konsep
tauhid bukan hanya terletak pada pengakuan adanya Tuhan Yang Esa saja, tetapi
yang lebih pokok adalah penerimaan dan respon cinta kasih dan kehendak Tuhan
yang dialamatkan kepada Manusia. (Asep Syaefulloh: 2007). Dan hal yang penting
dalam Islam dipesankan bahwa mengekspresikan ketauhidan dan ajaran agama itu
tidak boleh disertai berbantah-bantahan, melainkan harus dengan cara-cara yang
sebaik-baiknya, termasuk menjaga etika, kesopanan dan tenggang rasa dalam kehidupan
sosial beragama, kecuali terhadap mereka yang berbuat zalim seperti menghalangi
da’wah, bermain – main dengan aturan, memanipulasi data dsb. “ dan
janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, malainkan dengan cara yang paling
baik, kecuali dengan orang –orang zalim diantara mereka, dan katakanlah : Kami
telah beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada kami dan yang
diturunkan kepadamu: Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah satu: dan kami hanya
berserah diri kepada Nya. (al Ankabuut:46)
Ayat ini juga memerintahkan kepada umat
islam untuk senantiasa menegaskan bahwa para penganut kitab suci yang berbeda
beda, sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa, dan sama-sama pasrah kepadaNya.
Bahkan, biarpun sekiranya mengetahui dengan pasti bahwa orang lain menyembah
suatu obyek sembahan yang bukan Alloh yang Maha Esa, Umat Islam tetap dilarang
berlaku tidak sopan terhadap mereka. (Asep Syaefulloh:2007). Sebab menurut al
Quran sikap tidak sopan dengan mencaci dan merendahkan terhadap pihak lain yang
berbeda keyakinan dengan kaum muslim,
akan menimbulkan sikap balik dari mereka yang dicaci itu menyerang
dengan melakukan ketidak sopanan yang
sama terhadap Alloh dan RasulNya.
Ungkapan-ungkapan diatas memesankan
bahwa ajakan kepada kebenaran yang diyakini harus disertai dengan cara-cara
penuh kearifan, kesopanan, tuturkata yang baik dan tentu dengan argumen yang
masuk akal.
C.
TOLERANSI DI INDONESIA
Indonesia menjadi contoh yang baik bagi pemecahan
persoalan toleransi antar umat beragama, sebab meskipun mayoritas penduduknya
Muslim, Indonesia tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara, tetapi berdasar
pancasila yang mengakomodasi kepentingan semua lapisan masyarakat termasuk umat
beragama yang berbeda-beda.
Berbagai payung hukum yang mengatur kehidupan sosial
umat beragama telah dikeluarkan pemerintah seperti Keputusan bersama Menteri
Agama dan Menteri dalam Negeri no 1 tahun 1969 tentang pelaksanaan tugas
Aparatur Pemerintah dalam menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanaan
pengembangan dan ibadat agama oleh para pemeluknya yang kemudian disempurnakan
dengan Peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri no 9 dan 8
tahun 2006. Tentang pedoman pelaksanaan Kepala Daerah dalam pemeliharaan
Kerukunan Umat beragama, pemberdayaan Forum Kerukunan Umat beragama, dan
pendirian rumah Ibadat.
Namun dilapangan dalam implementasinya sering terjadi
konflik, hal ini disebabkan beberapa faktor seperti diidentifikasi oleh (Setda
Jabar, 2006) antara lain:
a.
Faktor keagamaan
1)
Pendirian Rumah Ibadah
Pendirian
rumah ibadah merupakan sesuatu yang sangat hakiki bagi setiap pemeluk agama
manapun, karena rumah ibadah selain berfungsi sebagai simbol kesatuan dan
pertautan rasa emosi keagamaan dalam satu barisan agama, juga menjadi rumah
suci untuk menjalankan dan membaktikan diri dalam kegiatan ibadah-ibadah ritual
bagi pemeluk-pemeluknya. Hanya saja permasalahannya, ketika penganut agama
minoritas mendirikan rumah ibadah ditengah masyarakat penganut agama mayoritas,
akan menimbulkan ketegangan dan penggelembungan potensi konflik laten.
2)
Penyiaran agama
Penyiaran
agama minoritas yang bertujuan mengajak penganut agama mayoritas untuk konversi
kepada agama minoritas, akan memunculkan reaksi spontan dari penganut agama
mayoritas, karena hal itu menyinggunggung pihak yang merasa di rugikan.
3)
Bantuan keagamaan dari luar negeri
Bantuan
keagamaan dari luar negeri yang sebenarnya sangat berguna, namun jika kemudian
diketahui dipergunakan secara keliru umpama dipergunakan penyiaran agama pihak
minoritas mengajak umat mayoritas, akan menimbulkan kecemburuan.
4)
Perkawinan beda agama
Perkawinan
merupakan komitmen penyatuan dua individu yang berbeda jenis kelamin dengan
dasar kasih dan cinta. Tetapi perkawinan bagi individu-individu yang berbeda
akan banyak menimbulkan masalah; dari mulai problem pelecehan agama, prinsif
agama yang dianut anak-anak, hak-hak warisan dan hak kewalian dan lain-lain.
Dan jika terjadi perceraian atau kematian
akan melibatkan simbol-simbol agama.
5)
Perayaan hari besar keagamaan
Perayaan
hari besar keagamaan sudah menjadi seremonial yang membudaya dalam masyarakat
Indonesia. Permasalahan akan timbul, bukan karena peryaannya, tapi ketika harus
ada pemahaman yang tegas mana yang termasuk acara seremonial dan mana yang
ritual. Sebab namanya perayaan mesti akan mengundang banyak orang termasuk
orang yang mungkin beda keyakinan untuk hadir dalam upacara itu. dizaman
menteri Agama Alamsyah Ratu Prawiranegara, telah diatur melalui edaran menteri
agama tentang tata cara pelaksanaan hari-hari besar keagamaan.
6)
Penodaan Agama
Setiap
agama mempunyai simbol-simbol tertentu yang disakralkan oleh para pemeluknya.
Penodaan terhadap simbo-simbol tersebut oleh pihak lain akan menimbulkan emosi
massa agama yang merasa ternodai. Oleh karena itu pemerintah telah mengeluarkan
Undang-undang penetapan presiden no 1 tahun 1965 tentang pencegahan penyalah
gunaan dan/atau penodaan agama.
b.
Faktor non agama
1)
Kesenjangan ekonomi
Sering
kali konflik terjadi mengatasnamakan agama, padahal seseungguhnya berawal dari
masalah ekonomi. Seperti ketersinggungan tidak dilibatkan dalam
perparkiran, membangun tanpa melibatkan
tenaga setempat, terlalu mencolok dalam hal berpakaian dll. Semua itu akan
memicu kecemberuan sosial yang seringkali menggunakan simbol-simbol agama yang
disakralkan sehingga mengundang massa keagamaan.
2)
Kepentingan politik
Sebenarnya
kehidupan politik dan kegamaan merupakan dua hal yang saling melengkapi jika
masing masing pelakunya memandang dengan pandangan yang proporsional. Namun
seringkali yang terjadi saat pelaku politik ingin mencapai tujuannya
menggunakan simbo-simbol keagamaan. Dan hal itu sering menjadi pemicu konflik,
karena agama telah disalah gunakan
dengan tidak proporsional. Mestinya, karena agama mengandung nilai-nilai
kesucian ruhani, harus dijadikan sumber inspirasi bagi para pelaku politik
untuk membangun kesadaran politik yang etis, bukan dipergunakan untuk
kepentingan yang bersifat sementara.
3)
Provokator
Masyarakat
kita sangat rentan terhadap menyusupnya Provokator yang memprovokasi massa demi
kepentingan tertentu. Hal ini sering kali menjadi sumber masalah yang
menimbulkan konflik dimasyarakat kita. Karenanya peran tokoh agama dan tokoh
masyarakat yang menjadi panutan, harus memposisikan diri sebagai pencerah bagi
masyarakat yang sudah terprovokasi tadi dengan kewibaannya.
D. SOLUSI
Dalam mengatasi kecenderungan konflik yang melibatkan
massa keagamaan, perlu berbagai pendekatan. Inilah tugas mulia yang harus
menjadi pemikiran pemerintah, Organisasi dan Lembaga kemasyarakatan yang peduli
akan kehidupan yang rukun dan damai, dengan membangun kesadaran masyarakat
tentang etika kehidupan sosial beragama.
Menurut Syamsu Rizal (1999), setiap inisiatif
pemecahan masalah keagamaan harus mencakup tiga hal : Pertama, perhatian pihak
ketiga terhadap kepentingan semua pihak yang terlibat dalam suatu pertikaian
atau konflik; jika yang diperhatikan adalah kepentingan salah satu pihak, yang
terjadi adalah pembentukan aliansi dan itu berarti eskalasi konflik. Kedua, menempatkan pihak-pihak yang berkonflik dalam
situasi yang memungkinkan mereka menjelajahi kemungkinan-kemungkinan baru
dengan maksud mencapai solusi yang dapat mereka terima. Ketiga, tugas pihak
ketiga menyediakan rasa aman bagi pelaksanaan diskusi yang proaktif yang
memperbesar peluang tukar menukar ide dan ekplorasi pilihan-pilihan tidak
mengikat.
Jadi, merawat kerukunan ditengah-tengah begitu banyak
perbedaan butuh keterbukaan, kebesaran jiwa, kesabaran, aturan dan tentu etika.