Di dalam
sejarahnya,
pemisahan sarana produksi
dari
produsen langsungnya sama sekali
tidak mirip dengan
melepas burung
merpati dari kandang. Ia lebih mirip
dengan melepaskan
ikatan kerbau gila raksasa di tengah pasar yang ramai. Proses pemisahan
membuat
luka, cucuran darah, dan membawa
kematian
ke dalam hidup para korbannya dalam arti harafiah
disertai “penghancuran paripurna terhadap tatanan
sosial tradisional” (Polanyi, 2001: 81). Pemisahan
petani dari lahan garapan
dilakukan dengan pengusiran,
perampasan,
dan
perampokan
yang disahkan
peraturan resmi. Selama puluhan
tahun proses ini menggusur ratusan
ribu orang dari pedesaan. Dari sana mereka berduyun-duyun
memasuki gerbang dunia industri sebagai
buruh upah di pabrik-pabrik kapitalis
yang mulai
bertumbuh di akhir abad
ke-18 dan awal abad ke-19.
Di Inggris, kampung halaman Revolusi
Industri,
pengkaplingan
dan
penggusuran
kaum tani
berlangsung
secara cepat dan paripurna pada abad ke-19. Masa ini disebut juga masa proletarisasi
massal.
Seperti
halnya berbagai pranata sosial dalam masyarakat kapitalis, penciptaan kerja-upahan
dan
proletariatnya
selalu didukung perundangan-undang
sehingga sah menurut nalar politik borjuasi. Di Inggris ada Bill of Inclosure of
Commons. Dengan bekal peraturan ini golongan borjuasi dan kaum elite berjuang mengkaplingi
lahan-lahan pertanian di seluruh penjuru Inggris. Dengan begitu mereka bisa menegakkan pilar-pilar
tatanan kapitalis secara sah dan meyakinkan. Tentang ini, Marx berkomentar: “Bill of Inclosure of Commons, kata lainnya ialah dekrit yang dengan dekrit itu para penguasa-lahan menganugrahi
diri sendiri lahan-
lahan penduduk menjadi milik pribadi, [atau] dekrit penggusuran penduduk” (Marx, 1990: 885).
Selain itu ada pula Bill of
Reform yang terbit pada 1832
dan Poor Law Amandement yang terbit
1834. Setelah
mengesahkan perampasan dan perampokan lahan dari para penggarapnya secara sah, dua undang-undang tersebut membantu
memberangus semua wujud terakhir paternalisme feudal
dan
melepaskan kaum miskin di
segenap penjuru Inggris dari
ikatannya tradisional,
termasuk dari perlindungan
jaminan sosial (Polanyi, 2001: 84).
Kedua kebijaksanaan
tersebut merupakan kunci paripurnanya penciptaan
pasar tenaga kerja. Mengapa? Pertama-tama karena setelah
terusir dari lahan-lahan garapan, mereka
tidak bisa lagi
menghasilkan
sarana hidup sendiri. Apa jadinya apabila kaum tani tak lagi bisa bercocok tanam?
Tentu saja mereka tidak akan bisa menghasilkan makanannya sendiri. Kedua,
karena
setelah tidak bisa lagi menghasilkan
pemenuh kebutuhan
hidupnya sendiri mereka juga tidak bisa mendapat bantuan
dari berbagai bentuk bantuan dan
jaminan
hidup tradisional. Lalu apa jadinya apabila orang-orang tanpa sarana dan jaminan hidup berbondong-bondong mengalir ke
perkotaan untuk mencari makan
sementara pabrik-pabrik
modern baru saja memulai
peran
sejarahnya? Sesuai
hukum penawaran dan permintaan,
jawaban rasional pertanyaan ini ialah buruh boleh
diupah serendah
mungkin. Itulah
yang memang terjadi. Tidak sedikit, termasuk pekerja
kanak-kanak, yang diupah beberapa butir kentang atau beberapa potong roti saja
sehari.
Jumlah yang hanya bisa untuk menjawab
panggilan lapar yang kemarin. Itulah sebabnya
muncul paradoks abad ke-19: terjadi peningkatan luar biasa dalam
produksi
barang (Inggris waktu itu
pengekspor
terbesar hampir semua komoditi penting dunia: batubara,
besi cetakan, wol, dan garmen)
dan timbunan
kemakmuran yang dinikmati golongan elite. Sementara
itu, banyak kasus kemiskinan brutal,
kelaparan, cacat kecelakaan kerja,
dan
mati muda di kalangan kelas pekerja
(Polanyi,
2001: 84-5).
Bagaimana tidak, Poor Law
Amandement 1834, pada satu sisi
membolehkan
pemilik pabrik atau
pertambangan
mengerahkan pekerja-pekerja
kanak-kanak dan
perempuan sebanyak yang dibutuhkan, dan pada
sisi lain membebas-
kan
mereka dari kewajiban
memperbaiki kondisi pabrik, tam- bang, beserta permukiman pekerja
mereka. Semua buruh bekerja 14
hingga 16 jam sehari.
Bagi pekerja
kanak-kanak, waktu kerja yang panjang dan kondisi tempat kerja yang brutal seringkali berujung pada kelelahan yang amat sangat
sehingga
mereka tanpa sengaja tertidur ketika memasuki jam-jam kerja akhir yang
menyebabkan mereka
mengalami kecelakaan
kerja (Stern, 1963: 88-89).
Tidak hanya di tempat
kerja, brutalnya
keadaan kaum pekerja Inggris juga tergambar
dari kondisi tempat tinggal
mereka.
Di dalam bukunya The Condition of Working Class in England, Frederick Engels mencatat laporan
tentang kehi-
dupan di tempat tinggal kaum pekerja
Inggris pada 1844:
“Meskipun tampilan luar tempat ini sudah mengerikan,
namun saya betul-betul
tidak siap saksikan
kekumuhan
dan
kepiluan yang ditemukan di dalamnya. Di
beberapa
kamar tidur yang kami kunjungi malam hari, kami temukan semua orang tumpah ruah saling dempet
di lantai. Ada sekitar 15 sampai 20 orang laki-laki
dan perempuan menggerombol
bersama,
sebagian terbalut pakaian, sebagian lagi tidak. Jarang dijumpai
perabot rumah di sana, dan satu-satunya yang membikin lubang ini tampak
seperti tempat tinggal adalah api menyala
di
perapian.
Pencurian dan pelacuran merupakan sumber pendapatan pokok
orang-orang ini” (Engels, 1958: 46). Pembaca yang pernah menonton
film atau membaca novel Oliver Twist karya Charles Dicken
tentu mudah membayangkan
kembali
yang
tergambar
dari laporan pandangan
mata yang dikutip Engels. Karena
kemiskinan dan pengangguran dikriminalisasi, maka
kaum pekerja
harus bersedia bekerja
dengan upah betapapun
rendahnya dan
dengan kondisi
hidup betapapun brutalnya di
bedeng-bedeng kumuh sekitaran pabrik.
(Dede Mulyanto)