A.
PENDAHULUAN
Peristiwa demi peristiwa yang dialami
bangsa Indonesia
sungguh bertubi-tubi. Upaya-upaya penyelesaian berbagai krisis yang melanda,
yang pada akhirnya membuat kondisi rakyat kecil terutama makin terpuruk, masih
belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Betapa tidak, upaya ini harus sanggup
untuk mengatasi bukan saja the tip of the
iceberg of the situstion, tapi seluruh gunung es yang telah dibangun selama
beberapa decade terakhir ini. Situasi yang mengiringi suksesi kepemimpinan
negara, dan the aftermath yang mengiringinya telah menunjukkan adanya suatu
pergeseran dalam berbagai tatanan pranata masyarakat. Keprihatinan dalam
menjalani masa ini masih belum memudar, apalagi dengan adanya berbagai
ketidaktentuan yang melanda. Namun layaknya hal ini tidak menjadikan bangsa Indonesia makin
terpuruk, seperti kata Nietsche, was micht nicht umbringt macht mich staeker, atau
disadur dengan apapun yang menimpaku, asalkan tidak memusnahkan, justru memperkuat
diriku.
Situasi Indonesia pada dua tahun terakhir
ini, khususnya sampai dengan pertengahan tahun ini, sungguh menimbulkan
dukacita yang amat sangat. Tidak mengherankan jika banyak orang menganalogikan
kondisi semacam ini dengan perang saudara yang terjadi di Negara-negara lain.
Berjatuhannya korban dari berbagai pihak, termasuk dari anggota masyarakat yang
sekedar menjadi penonton menjadi headlines bukan hanya di dalam negeri, tapi
juga di luar negeri. Kecaman-kecaman pun berdatangan dari seluruh penjru tanah
air dan benua, dsertai dengan pernyataan keprihatinan yang mendalam.
Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan
betapa krisisnya integrasi bangsa,
betapa rapuhnya sendi-sendi kenegaraan yang selama ini ditopang dengan
berbagai perangkat politik, social dan hukum. Belum lagi adanya sekelompok
orang yang dapat dikatagorikan sebagai kaum oportunis, yang berperilaku
berdasarkan aji mumpung, aji sluman slumun, selamet.
Kondisi yang tengah kita alami pada
masa transisi ini, sulit diingkari, merupakan kulminasi dari ketidakpercayaan
rakyat pada pranata social yang ada, terutama pranata hukum (baik yang
berkenaan dengan proses pembentukan, penegakkan maupun penegaknya sendiri )
yang selama ini lebih banyak nampak hanya sampai pada taraf akumulasi belaka, yang
belum mencerminkan adanya keadilan. Berbagai ekplosi yang terjadi secara
sporadic mapun tidak, bahkan yang juga telah membangkitkan gerakan sentrifugal,
merupakan ancaman bagi seluruh bangsa, yang akar permasalahannya tidak jauh
dari “hukum dan keadilan “
sebagaimana dirumuskan di atas.
Sudah teramat jelas, apalagi dengan desakan berbagai
lembaga di tingkat nasional maupun internasional, bahwasannya tidak
berfungsinya hukum dengan baik merupakan suatu fakta yang pahit, tak dapat
diingkari den sangat memprihatinkan. Sebelum terjadinya krisis moneter saja
sudah cukup banyak raksi terhadap hukum
dan penegakannya. Masyarakat masih dalam keadaan menunggu, apa kiranya
yang akan dilakukan penyelenggara Negara sekarang ini mengenai masalah-masalah
yang dihadapi. Khususnya di bidang hukum.
Sejumlah masalah yang layak dicatat termasuk diantaranya :
1. Sistem peradilan
yang kurang independent dan imparsial.
2. Belum memadainya
perangkat hukum yang mencerminkan keadilan sosial.
3. Inkonsistensi
penegakan hukum
4. Besarnya
intervensi kekuasaan terhadap hukum
5. Lemahnya
perlindungan hukum terhadap masyarakat.
Kesemua fenomena di atas merupakan
sebagian dari factor-faktor yang telah memudarkan kepercayaan masyarakat
terhadap hukum dan semua atributnya ( pembuat, penegak dan symbol-simbol hukum
), serta juga mereduksi kepastian hukum sebagai suatu pilar yang melandasi
tegaknya hukum di manapun.
Pada dasarnya, suatu hukum yang baik
adalah hukum yang mampu menampung dan membagi keadilan pada orang-orang yang
akan diaturnya. Namun sudah sejak lama orang mempunyai keraguan atas hukum yang
dibuat manusia. Enam ratus tahun sebelum Masehi misalnya, Anarchasis menulis
bahwasannya hukum seringkali berlaku sebagai sarang laba-laba, yang hanya
menangkap the weak and the poor, but easily be broken by the mighty and rich …
“ John Locke-pun dalam the Second Treatise of Government (1690) telah
memperingatkan kita bahwa “wherever Law ends, Tyranny begins “ Berdasar hal
inilah maka jelas bahwa hukum yang berlaku mencerminkan ideology, kepedulian
dan keterikatan pemerintah pada rakyatnya, dan tidak semata-mata merupakan
hukum yang diinginkan rakyat untuk mengatur mereka.
B. REFORMASI DAN
MASA TRANSISI
Setelah terpuruk pada kondisi semacam
ini, reformasi hukum adalah suatu condition
sine qua non bagi bangsa Indonesia
untuk mewujudkan Negara yang berdasar atas hukum. Hukum yang dimaksud di sini
adalah hukum yang berpihak pada rakyat, yang memperhatikan kadilan social,
sebagaimana dicantumkan dalam konstitusi. Bahwasannya hukum bukan hanya
merupakan pedoman berperilaku bagi rakyat, tapi juga bagi aparat pemerintahan
dan seluruh penyelenggara kegiatan kenegaraan, merupakan suatu norma yang telah
diakui secara universal. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa seringkali
hukum hanya dipergunakan sebagai alat untuk mengatur rakyat belaka, dan jarang
dijadikan acuan bagi diri sendiri oleh pemerintah. Hal inilah yang pertama-tama
harus disadari oleh semua pihak, agar dapat mencapai kondisi kenegaraan yang
mapan dan rakyat yang sejahtera, yakni bahwa hukum harus diperlakukan sebagai
panglima dalam negara hukum.
Reformasi hukum sebagai suatu upaya
pembaruan yang menyelurujh dan bertahap dalam masa transisi ini, seyogyanya
dilakukan terhadap system hukum yang mencakup baik substansi hukum, aparat
hukum dan juga budaya hukum, karena hanya meprioritaskan yang satu dan
mengabaikan yang lain tidak akan mencapai sasaran yang dituju. Unsur di atas
merupakan derivasi dari konsep system hukum yang bersifat sosiologis yang
diajukan oleh Lawrwnce Friedman, yang intinya memuat tiga komponen, yaitu :
1. Komponen
struktur, yakni pranata hukum yang menopang system hukum, bentuk hukum dan
proses serta kinerja mereka. Contoh klasik adalah konstitusi, lembaga
legislative dan lembaga judikatif serta aparaturnya, juga prosedur yang dipergunakan
dalam lembaga ini.
2. Komponen
substantive, yakni ketentuan hukum itu sendiri, baik yang dibuat oleh lembaga
legislative maupun administrative, serta ketentuan-ketentuan dan keputusan lain
yang mengatur system yang ada.
3. Komponen budaya
hukum, yang merupakan kunci pada pelbagai system hukum.
Substansi Hukum
Hukum di
Indonesia pada masa ini memang masih banyak yang berasal dari pemerintahan
colonial. Upaya Program Legislasi Nasional merupakan salah satu upaya yang
dilakukan untuk nasionalisasi ketentuan yang ada, dan ini bukan kegiatan yang
sederhana. Namun terlepas dari program ini, masih cukup banyak produk hukum
nasional yang perlu untuk dikaji kembali, bahkan diperlukan pula
perangkat-perangkat hukum yang sangat diperlukan rakyat.
Makna
reformasi hukum atas peraturan perundang-undangan terutama ditujukan pada
kegiatan lembaga legislative. Sebagai suatu lembaga tinggi yang mewakili aspirasi rakyat dalam segala aspek kehidupan,
dituntut anggota yang memiliki bukan hanya pemahaman atas konstituennya, tapi
juga kepedulian yang besar akan kebutuhan sang konstituen. Sudah seharusnya
bila wakil rakyat ini berjuang untuk mepertahankan dan meningkatkan hak-hak
yang layak dimiliki rakyat. Upay utama yang perlu dilakukan adalah menyusun
peraturan perundang-undangan yang mampu menciptakan suatu system yang akan
menghasilkan wakil-wakil rakyat yang tanggguh dan berorientasi pada kepentingan
rakyat.
Pada
dasarnya lembaga ini harus melakukan beberapa kegiatan dalam kaitannya dengan
pembentukan undang-undang, misalnya :
1. Memperkenalkan
dan membuat undang-undang mengenai materi yang belum ada ketentuannya, namun
sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama dengan memanfaatkan hak inisiatif
2. Memberdayakan
peraturan yang telah ada namun jarang diimplementasikan untuk kepentingan
rakyat banyak, dengan memanfaatkan hak bertanya.
3. Melakukan
perbaikan atau revisi atas peraturan perundang-undangan yang ada namun tidak
sesuai lagi dengan kondisi saat ini.
4. Menghapuskan/
mencabut undang-undang yang tidak lagi sejalan dengan kondisi dan aspirasi
rakyat, dengan memanfaatkan hak inisiatif.
Dengan adanya wakil mereka dalam
lembaga tinggi Negara yang memperjuangkan hak mereka, rakyat akan merasa
mempunyai jejakan dan pegangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa
memiliki wakil yang responsive pada kebutuhan mereka rakyat tidak akan merasa
menjadi bagian yang aktif dalam Negara, dan akhirnya dapat mengakibatkan
berbagai hal yang negative, sebagaimana dirasakan akhir-akhir ini.
C. APARAT HUKUM
Unsur penting lainnya dalam reformasi
hukum adalah diciptakannya lembaga-lembaga penegak hukum dengan
personil-personil yang berkualitas, dalam arti bukan hanya sekedar memahami
hukum, akan tetapi juga menegakkan hukum dan kadilan tanpa adanya diskriminasi.
Untuk ini diperlukan pula integritas moral yang tinggi, yang dapay dicari pada
proses rekrutmen, dan kemudian dibentuk lebih lanjut dalam proses pendidikan
yang khusus dirancang untuk keperluan tersebut. Penggantian tokoh-tokoh kunci
dalam lembaga hukum kemudian menjadi sangat
signifikan. Sebagai sarana pendukung untuk membentu, pada saat ini masih
diperlukan adanya mekanisme pengawasan internal yang fair dan domokratis.
Berkaitan dengan hal ini perlu pula dipikirkan prosedur yang transparan untuk
meyajini obyektivitas penilaian terhadap personal penegak hukum, disertai
dengan reward and punishment system yang diharapkan dapat meningkatkan
produktivitas dan kualitas produk mereka. Bagi mereka yang menunjukkan kinerja
yang baik dan produk yang berkualitas harus diberikan reward dalam beragam
bentuk, sedang yang melanggar ketentuan harus dijatuhi punishment atau hukuman.
Hukuman ini bukan hanya dimaksuudkan untuk menunjukkan pada subyek bahwa ia
bersalah dan harus mendapat sanksi atas perilakunya, akan tetapi juga sebagai
“kaca benggala” bagi orang-orang lain agar tidak melakukan perbuatan yang sama.
Mengingat banyaknya keluhan masyarakat
terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh penegak hukum (yang seringkali
disebut “oknum”), perlu dipikirkan adanya lembaga pengawasan eksternal, semacam
ombudsman, yang kelihatannya telah akan dibentuk oleh pemerintahan baru ini.
Sebagai contoh misalnya “civilian review board” untuk kepolisian, suatu lembaga
independent yang beranggotakan sejumlah warga masyarakat yang mempunyai
pemahaman hukum dan integritas yang tinggi. Menerima keluhan atau pengaduan
dari masyarakat dan kemudian meneliti kebenaran pengaduan tersebut merupakan
tugas utama lembaga ini, dan kemudian akan menyerahkan hasilnya pada lembaga
yang mereka anggap berwenang ubntuk melakukan tindak lanjut (misalnya atasan
langsung atau pengadilan ).
D. BUDAYA HUKUM
Salah satu hal yang dewasa ini
nampaknya kurang banyak mendapat perhatian adalah hukum atau legal culture.
Konsep ini didefinisikan sebagai :
“ a set of social traditions,
attitudes and expectations concerning the law, a legal profesion and an
independent judiciary, together with a respect for these, and internalization
of law-abidingness and of legal attitudes, procedures and ways of looking at
things…”
Dengan demikian hal-hal yang dimunculkan
dalam budaya hukum sangat tergantung setidaknya pada dua hal yakni :
1. Ketentuan hukum
yang ada;
2. Bentuk penegakkan
hukum yang dijalankan.
Kedua hal ini pada akhirnya memberikan
warna yang kental mengenai bagaimana persepsi ini dimanifestasikan melalui
sikap dan perilaku mereka dalam kaitannya dengan hukum. Bahwasannya banyak
anggota masyarakat yang lebih suka bertransaksi dengan penegak hukum,
menunjukkan bahwa hukum telah dianggap sebagai suatu komoditi yang dapat
diperjualbelikan. Banyak orang mengatakan bahwa ini bukanlah “budaya” dalam
arti antropologis, namun apabila perilaku semacam ini telah terpola dan
dilakukan berulang kali, sukar untuk mengingkari kenyataan yang pahit ini.
Mencari siapa yang menjadi sumber kesalahan tidak mudah, karena sebagaimana
juga dalam kegiatan ekonomi, fenomenon ini sangat dilandasi pada adanya the law
of supply and demand; tanpa adanya kedua factor ini tidak mungkin terjadi hal
demikian.
Untuk menciptakan budaya hukum yang
positif dan mendukung pembangunan masyarakat, oleh karenanya tidak mungkin
terlepas dari dua komponen yang disebutkan diatas, yakni substansi dan aparat
hukum. Apabila dapat diyakinkan bahwa hukum yang dibentuk adalah berorientasi
pada kepentingan rakyat dan berkeadilan social, serta aparat penegak hukum
dalam menjalankan tugasnya bersifat non-diskriminatif dan tegas, mau tidak mau
secara perlahan-lahan masyarakat juga akan mengikuti pola ini; demikian pula
sebaliknya.
Hal yang disebut terakhir ini sedikit
banyak merupakan tanggungjawab pemerintah juga, khususnya dalam menciptakan
masyarakat yang terdidik, an educated public. Keberadaan masyarakat yang
terdidik pada masa colonial merupakan suatu hal yang dihindari oleh penjajah.
Alasannya sederhana saja, meningkatnya jumlah warga masyarakat yang mampu
berpikir kritis akan mengancam kekuatan penjajah, yang tentunya lebih suka
mendikte dan tidak mengikutsertakan masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan. Denganmembiarkan rakyat dalam kebodohan, dalam ketidaktahuan, akan
lebih mudah untuk memerintah mereka.
Pembukaan UUD 1945 telah dengan tegas mencantumkan
bahwa salah satu tugas dalam pendidikan Republik Indonesia antara lain adalah
“mencerdaskan bangsa”. Masyaraklat yang cerdas akan dengan mudah memahami hak
dan kewajibannya, baik secara sosiologis maupun yuridis. Selain itu ia dapat
berpikir bukan hanya untuk dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya, namun
juga akan banyak membantu pemerintah untuk mencapai kondisi masyarakat yang
sejahtera. Tanpa adanya masyarakat yang cerdas, bagaimana mungkin pembangunan
dapat dilakukan bersama ?
Oleh karenanya dalam upaya meraih kondisi masyarakat madani
yang dapat urun rembug untuk membangun bangsa bersama-sama dengan pemerintah,
masa transisi ini sangat tepat untuk dijadikan batu loncatan untuk menuju kearah
:
1. adanya masyarakat
yang mempercayai kebujakan pemerintah.
2. adanya masyarakat
yang tidak sekedar “tut wuri handayani “ akan tetapi juga memiliki kemampuan
memahami landasan berpikir dan perilaku pemerintah.
3. adanya masyarakat
yang merasa menjadi bagian yang signifikan dalam pengambilan keputusan oleh
pemerintah.
4. adanya masyarakat
yang partisipatif dalam membangun Negara.
Mungkin yang sulit pada masa ini
adalah mengajak masyarakat untuk mempercayai pemerintah. Secara sederhana saja,
berbagai unjuk rasa yang dilakukan bukan hanya oleh mahasiswa tapi juga
kelompok-kelompok masyarakat lainnya, menunjukkan ketidakpuasan dan juga
ketidakpercayaan pada pemerintah. Hal lain yang layak dicermati adalah
rendahnya tingkat pengikutsertaan
rakyat dalam berbagai tingkat pengambilan keputusan, yang lebih dikenal dengan demokratisasi. Menganggap rakyat
sebagai objek belaka untuk diatur berarti menempatkan mereka dalam posisi
pasif, yang pada satu titik dapat membuat mereka menjadi apatis. Tentunya bukan
kondisi semacam ini yang diinginkan oleh kita semua.
Kesemua masalah di atas agaknya
berkaitan erat dengan konsep Good Governance yang dinggap belum dilaksanakan
dengan baik yakni yang berkenaan dengan :
1. legitimasi
pemerintah ( tingkat demokratisasi )
2. akuntabilitas pemerintah
( kebebasan pers, pembuatan keputusan yang transparan, mekanisme
pertanggungjawaban pemerintah )
3. kompetensi
pemerintah untuk membuat dan melaksanakan kebijakan.
4. Penghormatan
pemerintah pada HAM dan rule of law (perlindungan atas hak individu dan kelompok,
kerangka kegiatan ekonomi dan social, serta partisipasi public )
Apabila hal-hal yang disebut di atas
tidak dipenuhi, akan sangat sulit bagi masyarakat untuk melihat kesungguhan
pemerintah dalam menyelenggarakan proses pengambilan keputusan. Ketidakjelasan
dan ketidaktransparanan proses pengambilan keputusan misalnya, membuat
masyarakat aelalu diliputi oleh berbagai pertanyaan, apakah memang benar bahwa
kepentingan mereka selalu diprioritaskan.
E. PENUTUP
Menyadari keberadaan dalam masa
transisi ini, diperlukan upaya -upaya yang optimal untuk membuat bangsa
Indonesia meningkatkan rumangsa
handerbeni, sense of belonging, le desir de vivre ensemble.
Teriakan-teriakan propagandis hendaknya dihentikan hanya sekedar sebagai
retorika belaka oleh semua pihak; sudah waktunya dimanifestasikan dalam aksi
yang konkret. Kondisi yang tengah dialami Indonesia saat ini seharusnya telah
cukup untuk menimbulkan ” sense of
urgency” pada setiap orang akan perlunya untuk kembali pada supremasi
hukum. Hukum seharusnya menjadi landasan dalam berperilaku, bukan hanya bagi rakyat,
tapi juga bagi pemerintah. Menyadari keberadaan dalam masa
transisi ini, diperlukan upaya -upaya yang optimal untuk membuat bangsa
Indonesia meningkatkan rumangsa
handerbeni, sense of belonging, le desir de vivre ensemble.
Teriakan-teriakan propagandis hendaknya dihentikan hanya sekedar sebagai
retorika belaka oleh semua pihak; sudah waktunya dimanifestasikan dalam aksi
yang konkret. Kondisi yang tengah dialami Indonesia saat ini seharusnya telah
cukup untuk menimbulkan ” sense of
urgency” pada setiap orang akan perlunya untuk kembali pada supremasi
hukum. Hukum seharusnya menjadi landasan dalam berperilaku, bukan hanya bagi rakyat,
tapi juga bagi pemerintah.