Home AD

Wednesday, March 21, 2012

PROTEIN


BAB I
PENDAHULUAN

     Protein adalah senyawa organik kompleks yang mempunyai berat molekul tinggi.  Seperti halnya karbo-hidrat dan lemak, protein mengandung unsur-unsur karbon, hidrogen dan oksigen, tetapi sebagai tambahan-nya semua protein mengandung unsur nitrogen.  Kebanyak-an protein juga mengandung sulfur, dan beberapa protein juga mengandung phosphor. Berat kering suatu sel hewani hampir 50% nya adalah protein.
     Protein merupakan salah satu zat makanan yang sangat dibutuhkan oleh ternak terutama untuk tujuan produksi, karena protein ini setelah dimetabolismekan dalam tubuh, dicerna dan diserap, maka akan didapatkan hasil akhir yang merupakan hasil produksi (output) dari ternak itu, yang akan menguntungkan bagi kita.
     Peranan protein sangat penting dalam tubuh ternak, tidak saja sebagai penentu kualitas produksi, tapi juga untuk keperluan hidup pokok, aktivitas dan kebutuhannya disesuaikan dengan kemampuan ternak tersebut dalam mengkonsumsi protein.
     Peranan protein bagi ternak ruminansia dan ternak unggas berbeda.  Hal ini karena pada ternak ruminansia yang dibutuhkan adalah kualitasnya, karena pada ternak ruminansia mempunyai mempunyai empat lambung dimana salah satu lambungnya dapat mensintesa protein sendiri.   Sehingga untuk keefektifan protein disini diperlukan kualitasnya (karena protein mahal, sehingga merupakan penghamburan kalau kita berikan banyak), Sedangkan pada  ternak non ruminansia khususnya ternak unggas, protein diberikan sesuai kebutuhannya, sehingga dalam hal ini yang dipentingkan adalah jumlahnya (kuantitas), karena pada hewan ternak non-ruminansia, khususnya unggas yang memiliki sistem lambung tunggal dan tidak mempunyai kemampuan untuk mensintesa protein sendiri maka akan langsung mengkonsumsi protein, mencerna dan menyerapnya di usus halus.  Kebutuhan tersebut bisa dihitung ber-dasarkan kebutuhan untuk hidup pokok atau produksi.        


BAB II
PROTEIN
2.1.  Pengertian dan Sifat Protein
     Tumbuh-tumbuhan sanggup menggunakan sumber-sumber anorganik untuk membangun protein tubuhnya, sedangkan unggas dan hewan ternak lainnya sebagian besar ter-gantung pada sumber asam-asam amino (Anggorodi, 1979). 
     Setiap sel hidup mengandung protein.  Istilah protein berasal dari kata Yunani yang disarankan oleh Berzelius, yaitu “proteious” yang berarti pertama atau kepentingan utama (Anggorodi, 1985).
     Protein adalah zat organik yang mengandung unsur-unsur C, H, O, N, S dan P dengan komposisi dasar sebagai berikut :
     Karbon (C)   51,0 - 55,0 %
     Oksigen (O)  21,5 - 23,5 %     
     Nitrogen (N) 15,5 -  2,0 %    
     Hidrogen (H)  6,5 -  7,3 %
     Sulfur (S)    0,5 -  2,0 %
     Phosphor (P)  0   -  1,5 %
     Protein adalh zat esensial bagi kehidupan, karena zat tersebut merupakan protoplasma aktif dalam semua sel hidup.  Hal ini menunjukan bahwa protein merupakan penyusun struktur sel-sel tubuh, antibodi-antibodi, hormon dan enzim-enzim.  Molekul protein merupakan sebuah polimer dari asam-asam amino yang digabung dengan ikatan-ikatan peptida.
     Meskipun semua protein yang terdapat didalam tubuh hewan atau bahan-bahan makanan sering dapat digolongkan ke dalam protein secara kolektif, akan tetapi setiap protein berbeda satu sama lain.  Perbedaan ini ditandai dengan kandungan asam-asam aminonya yang memberikan ke-khasan sifat fisik dan kimia serta biologisnya dari tiap-tiap protein.  Beberapa sifat protein adalah sebgai berikut :
1.  Merupakan koloid dan daya larutnya dalam air ber-
    beda (kreatin-albumin).
2.  Salting Out, protein yang larut dapat diendapkan
    dari larutan dengan penambahan garam.
3.  Asam-asam amino dalam ikatan peptida tidak tanggap
    terhadap reaksi asam basa.
4.  Amphoterik, ada beberapa gugus asam amino dan
    karboksil bebas dalam sistem protein.
5.  Dapat bertindak sebagai buffer.
6.  Tiap sistem protein mempunyai titik isoelektrik
    karakteristik.
7.  Semua protein dapat mengalami denaturasi.
2.2.  Klasifikasi Protein
     Berdasarkan daya larut beberapa protein di dalam air, larutan garam, basa dan larutan-larutan etanol, maka secara garis besar protein dapat klasifikasi  sebagai berikut :
1.Protein sederhana (protein berbentuk bulat = globular       protein), yaitu golongan protein yang pada hidrolisis hanya menghasilkan asam-asam amino atau derivat-derivatnya.  Protein sederhana meliputi albumin, globulin, glutelin, prolamin, histon dan protamin. 
2.Protein gabungan (conjugated protein) ialah protein sederhana bergabung dengan radikal non-protein.  Ke dalam golongan ini termasuk :
  a. Nucleoprotein, yaitu gabungan dari satu atau lebih 
     molekul protein dengan asam nucleic.
  b. Glikoprotein, yaitu gabungan dari molekul protein dan zat yang mengandung gugusan karbohidrat selain asam nucleic, misalnya mucin.
  c. Phosphoprotein, yaitu gabungan dari molekul protein dengan zat yang mengandung phosphor selain asam nucleic atau lecithin, misalnya casein.
  d. Hemoglobin, yaitu gabungan dari molekul protein dengan hematin atau zat-zat yang sejenis, misalnya hemoglobin.
  e. Lecithoprotein, yaitu gabungan dari molekul protein dengan lecithin, misalnya jaringan fibrinogen (Anggorodi, 1979).
3.Protein asal
  Protein tersebut berasal dari protein bermolekul tinggi yang mengalami degradasi karena pengaruh panas, enzim atau zat-zat kimia.  Golongan ini ter-diri dari :
  a. Protein primer, misalnya protean.
  b. Protein sekunder, misalnya proteosa, pepton, peptida.
2.3.  Fungsi Protein
     Protein dalam tubuh ternak mempunyai fungsi sebagai berikut :
1.  Memperbaiki jaringan
2.  Pertumbuhan dari jaringan baru
3.  Metabolisme (deaminasi) untuk energi
4.  Metabolisme ke dalam zat-zat vital dalam fungsi tubuh (zat-zat vital tersebut termasuk zat anti darah yang menghalang-halangi infeksi)
5.  Enzim-enzim yang esensial bagi fungsi tubuh yang normal
6.  Sumber hormon-hormon tertentu dalam tubuh.

 BAB III
PERANAN PROTEIN BAGI TERNAK RUMINANSIA
3.1.  Peranan Protein dalam Proses Produksi Susu,
      Tenaga Kerja dan Wool
     Pada ternak sapi perah yang telah mulai ber-produksi (laktasi) faktor makanan sangat memegang peranan penting dalam proses menghasilkan susu, baik kualitas maupun kuantitasnya.  Pemberian makanan yang tidak cukup baik kualitasnya, akan sedikit menurunkan kadar protein dan SNF (Solid non-fat).  Hal ini dapat ditanggulangi dengan penambahan protein dalam ransum-nya, sehingga produksi juga akan meningkat.  Menurut Lubis (1963), tinggi rendahnya kadar protein suatu ransum sapi perah mempunyai pengaruh besar terhadap tinggi rendahnya hasil susu yang diperoleh.  Dalam hal ini penting diperhatikan adalah kualitas protein.  Disamping itu ransum harus cukup mengandung karbohidrat dan lemak.  Jika keadaan ini kurang maka protein untuk pembentukan jaringan akan digunakan sebagai sumber kalori dan tenaga.
     Untuk produksi tenaga kerja, peranan zat makanan organik seperti karbohidrat, lemak dan protein dapat berfungsi sebagai sumber energi.  Dalam keadaan normal yang pertama digunakan adalah karbohidrat, kemudian lemak.  Apabila karbohidrat dan lemak dari ransum tidak mencukupi, maka langkah terakhir yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan energi adalah penggunaan jaringan urat daging atau jaringan protein.
     Serat wool sebetulnya adalah protein murni dan mempunyai susunan kimiawi yang sama seperti rambut, hanya bedanya dalam hal sisik-sisiknya yang sangat kecil yang bersusun menutupi wool.  Sisik-sisik tersebut yang memberikan nilai khas pada wool sebagai bahan tenun.  Pada ternak kambing, mohair mempunyai susunan kimiawi yang sama seperti serat wool, meskipun strukturnya berbeda, sehingga kebutuhan zat-zat makanan dari kambing adalah sama dengan kebutuhan pada domba, dan kebutuhan untuk kambing perah menyamai kebutuhan bagi sapi perah.
     Ada dua hal yang membedakan antara pertumbuhan atau produksi wool dan produksi urat daging (tenaga kerja), yaitu :
1.  Meskipun imbangan energi-nitrogen negatif, pertumbuhan wool tetap berjalan terus dengan pengorbanan dari perombakan jaringan protein lainnya.
2.  Protein wool mempunyai penyebaran asam amino yang berbeda sama sekali dengan yang terdapat dalam urat daging, sehingga membutuhkan pola yang berlainan untuk pembentukannya.    
Berdasarkan persentase, protein wool mengandung 10 kali
lebih banyak cystine daripada protein urat daging, suatu perbedaan yang hanya dapat diimbangi sebagian oleh kadar yang lebih tinggi dari methionin dalam urat daging.
      Penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli menunjukan bahwa meskipun ransumnya telah di-tambah cystine atau sulfur, tidak akan mempertinggi produksi wool.  Dapat diterangkan bahwa mikroorganisme dalam rumen dapat menggunakan sulfur anorganik dan sumber-sumber NPN (nitrogen non protein) untuk mem-bentuk asam-asam amino esensial tersebut.
3.2.  Kebutuhan Protein untuk Produksi Susu, Tenaga Kerja dan Wool

      Pada sapi perah agar dapat menghasilkan air susu, kebutuhannya tergantung pada kapasitas masing-masing sapi (Lubis, 1963).  Semakin bertambah jumlah zat protein serta zat-zat lain yang diperoleh ternak dalam ransum-nya semakin banyak pula air susu yang dapat dihasilkannya.
      Tinggi rendahnya kadar protein ransum sangat erat kaitannya dengan banyak sedikitnya penggunaan bahan penguat.  Penggunaan ransum dengan kandungan kadar protein yang tinggi tapi pemberiannya tidak disesuaikan dengan tingkat produksi susu merupakan pemborosan, sebab biaya ransum per satuan air susu yang dihasilkan akan menjadi lebih mahal (Crampton dan Harris, 1969).
      Kebutuhan protein bisa dinyatakan dalam protein dapat dicerna dan protein kasar.  Jumlah tersebut akan mencukupi kebutuhan untuk laju produksi sesuai dengan anjuran, asalkan energi dan zat-zat lain terpenuhi.  Komposisi asam amino dari protein ransum tidak sangat penting, karena mikroba dalam rumen dan retikulum mempunyai kemampuan untuk membentuk asam-asam amino yang dibutuhkan dari protein yang berkualitas lebih rendah dan dari sumber-sumber NPN.  Di Indonesia menurut Lubis (1963), susunan ransum itu biasanya didasarkan pada protein dapat dicerna dan martabat pati yang diperhitungkan berdasarkan kebutuhan untuk hidup pokok dan produksi air susu.
      Kebutuhan protein untuk produksi lebih mudah ditentukan daripada untuk pertumbuhan karena masalahnya tidak sekompleks seperti pada penentuan kebutuhan protein untuk pertumbuhan.
      Beberapa peneliti sapi perah mengatakan bahwa jika ditambahkan untuk kebutuhan hidup pokok, maka cukup protein ditambahkan untuk menggantikan yang hilang dari tubuh dalam produksi susu sebesar lebih kurang 25%, kita akan mendapatkan kebutuhan minimum untuk laktasi.
Sementara ahli berpendapat bahwa tingkat protein kasar dalam ransum sebesar 13 - 14% dari bahan keringnya sudah dapat memenuhi kebutuhan untuk sapi laktasi.  Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa untuk sapi laktasi diperlukan protein dalam ransumnya sebesar     16 - 18% dari berat kering bagi sapi perah yang ber-produksi lebih dari 15 liter per hari.
      Pada ternak kerja, dalam ransumnya dibutuhkan lebih banyak protein, mineral dan vitamin.  Ternak kerja yang masih muda dan sedang tumbuh membutuhkan lebih banyak makanan daripada yang dewasa, apabila masing-masing mengerjakan pekerjaan yang sama.
      Nilai setiap macam bahan makanan untuk produksi tenaga kerja bergantung pada jumlah nilai energi netto yang dihasilkan karena energi yang digunakan dalam energi termis. semuanya diubah ke dalam panas dan kemudian terbuang apabila produksi tenaga kerja atau pembentukan jaringan tubuh telah terlaksana.  Ada duga-an bahwa penyediaan protein sedikit di atas kebutuhan minimum cenderung memberikan kondisi tubuh dan semangat yang baik.
      Untuk ternak penghasil wool membutuhkan persediaan protein dan TDN yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi atau babi pada keadaan dewasa kelamin yang sama, karena serat wool yang dihasilkannya merupakan protein murni.  Untuk ternak domba yang sedang tumbuh, domba bunting dan domba yang menyusui anaknya maka kebutuhan akan protein menjadi dua kali lebih banyak.

3.3.  Kelebihan dan Kekurangan Protein
     Kelebihan protein dalam ransum tidak menyebabkan gangguan kesehatan terhadap ternak yang mengkonsumsi-nya, tapi sebagian besar akan dikeluarkan melalui urine atau sebagian kecil dipergunakan untuk aktivitas pem-bentukan hormon (Makin, 1982). 
     Kelebihan pemberian protein dalam ransum merupakan pemborosan, karena protein harganya mahal dan sebetul-nya pada ternak ruminansia seperti ternak sapi dan domba, ada aktivitas mikroba dalam rumennya yang dapat mensintesa protein dari zat-zat makanan yang bukan protein murni (NPN).
      Kekurangan protein dalam ransum yang tidak sesuai dengan kemampuan prestasi produksi, maka akan menurun-kan produksi susu dan protein ransum yang dibutuhkan untuk mempertahankan tubuh menurun atau protein tubuh yang telah terbentuk akan digunakan kembali dalam usaha untuk menutupi kebutuhan yang sebenarnya.
 

BAB IV
PERANAN PROTEIN BAGI UNGGAS

4.1.  Peranan Protein dalam Produksi Telur
     Telur, seperti halnya air susu adalah hasil sekresi dari sistem reproduksi, mekanisme endokrin, proses metabolik dan kimia faali.
     Ayam petelur komersial pengeluaran telurnya dapat diatur dengan jalan mengatur konsumsi makanannya.  Hal ini menunjukkan bahwa faktor makanan memegang peranan penting dalam proses produksi telur.  Faktor makanan terpenting yang diketahui mempengaruhi besarnya telur adalah protein dan asam linoleat.  Karena lebih kurang 50% dari bahan kering telur adalah protein, maka pe-nyediaan asam-asam amino untuk sintesis protein adalah kritis untuk produksi telur.  Bila persediaan satu atau lebih asam amino rendah maka protein telur dengan komposisi asam amino yang berubah tidak akan di-sintesis.
     Efisiensi penggunaan protein makanan bergantung dari kandungan asam-asam amino esensial dan asam-asam amino non esensial yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan metaboliknya.  Sebagian besar ternak unggas memperoleh asam-asam amino dari pencernaan enzimatik dari protein makanan yang diabsorpsi melalui usus halus.
     Ternak ayam memperoleh sebagian besar proteinnya dalam bentuk asli (alam).  Molekul protein mengandung hanya sedikit senyawa yang peka terhadap aksi protein-ase.  Kualitas protein makanan tertentu ditunjukan dengan mengetahui kadar asam amino esensialnya yang biasanya sangat kurang dalam suatu makanan atau kelompok makanan tertentu.
4.2.  Kebutuhan Protein untuk Unggas   
     Protein dibutuhkan oleh ternak unggas, sebenarnya menunjukkan dibutuhkannya 10 atau lebih asam-asam amino essensial dalam protein dalam ternak unggas tersebut.  Sehingga kita harus menekankan penentuan kebutuhan kuantitatif asam-asam amino essensial bagi ternak.
     Kebutuhan ternak unggas akan protein dinyatakan dengan persentase protein dalam makanan dan semua baku-an mencantumkan pengurangan kebutuhan persentase protein dalam ransum dengan bertambah tuanya ternak, karena ternak yang makin tua akan menyimpan protein lebih rendah dalm tiap pertambahan berat badannya dibandingkan ternak muda.
     Kebutuhan protein untuk produksi telur bergantung pada beberapa faktor, yaitu besar dan bangsa ayam, temperatur lingkungan, tahap produksi, perkandangan, luas ruang untuk ayam, air minum, tingkat penyakit dalam kandang, kandungan energi dalam ransum, cekaman akibat keadaan lingkungan yang berbeda dan kualitas protein yang terkandung dalam ransum (Thornton dan Whittet, 1960). 
     Ayam Leghorn putih yang sedang bertelur menyimpan sekitar 6 gram protein dalam setiap telur yang dihasil-kan, sedangkan untuk pemeliharaan jaringan protein tubuh setiap hari dibutuhkan sekitar 3 gram protein.  Jadi untuk pemeliharaan jaringan protein tubuh dan produksi telur maksimum pada ayam dewasa dibutuhkan sekitar 10 gram protein setiap hari.
     Beberapa penelitian menunjukkan bahwa untuk produksi maksimum sekitar 75 - 80% dan untuk efisiensi penggunaan ransum terbaik, maka ayam Leghorn putih harus mengkonsumsi lebih kurang 17,5 - 18,5 gram protein per hari.  Kebutuhan protein tersebut diterap-kan pada ayam-ayam yang bobot dewasanya adalah 2 kg.  Untuk jenis ayam yang lebih berat, kebutuhan protein sehari-hari harus ditingkatkan sekitar 1,5 gram per hari untuk setiap kilogram kenaikan bobot badan.  Dengan demikian tampaknya ternak unggas khususnya ayam hanya sekitar 55% efisien dalam mengubah protein ransum ke dalam protein telur dan ke dalam protein serta senyawa-senyawa nitrogen lainnya yang diperlukan untuk hidup pokok.  Menurut Lubis (1963), ayam setelah ber-umur 6 bulan sebaiknya mendapat makanan atau ransum yang kadar proteinnya lebih kurang 15%.  Selanjutnya Scott et al. (1976), melaporkan bahwa kebutuhan protein untuk ayam Leghorn putih berdasarkan fase produksi yang diteliti pada musim dingin dan musim panas, dapat dilihat pada tabel berikut.
     Tabel 4.1  Kebutuhan Protein untuk Laghorn Putih
                Berdasarkan Fase Produksi pada Daerah
               Iklim Panas dan Dingin

Fase Produksi
Iklim Dingin
( % )
Iklim Panas
( % )
I    (prod. 78%)
15,00 - 20,00
17,00 - 22,00
II   (prod. 72%)
  13,70 - 16,80
  15,20 - 18,50
III  (prod. 62%)
  13,50 - 16,80
  15,00 - 18,40



Sumber : Wahju, J. (1985).

4.3.  Kelebihan dan Kekurangan Protein
     Kelebihan protein dalam ransum untuk ternak unggas meskipun kandungan semua asam-asam amino essensial se-imbang akan menimbulkan gangguan, dimana dapat meng-akibatkan penurunan pertumbuhan, pengurangan penyimpan-an lemak tubuh dan meningkatkan kadar asam urat dalam darah serta dapat menimbulkan stress pada ayam.  Hal ini dapat dibuktikan dengan terjadinya peningkatan dalam besarnya kelenjar adrenalin dan produksi adreno-kortikoid.
     Pada defisiensi protein ringan, kuantitas protein yang disintesa akan menurun dan pada defisiensi berat, sintesa protein dapat berhenti,  Hal ini berpengaruh terhadap berkurangnya besar telur atau berhentinya produksi.
BAB V
KESIMPULAN

          Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.  Protein merupakan zat makanan yang mempunyai
    peranan penting dalam proses produksi, baik pada
    ternak ruminansia, maupun ternak non ruminansia
    khususnya ternak unggas.
2.  Penentuan kebutuhan protein untuk ternak ruminansia
    terutama ditekankan pada kualitasnya.
3.  Penentuan kebutuhan protein untuk ternak unggas
    ditekankan pada penentuan kebutuhan kuantitas asam-
    asam amino essensial yang terkandung dalam protein
    ransum bagi ternak.

DAFTAR PUSTAKA

1.  Anggorodi, R.  1979.  Ilmu makanan ternak umum.
         PT. Gramedia : Jakarta.

2.  Anggorodi, R.  1985.  Kemajuan mutakhir dalam ilmu
         makanan ternak unggas.  UI Press : Jakarta.

3.  Crampton, E.W. dan L. E. Harris.  1969.  Applied
         animal nutrition.  WH Freeman and Company :
         San Fransisco.

4.  Lubis, D.  1963.  Ilmu makanan ternak.  PT. Pem-
         bangunan : Jakarta.

5.  Makin, M.  1982.  Pengaruh pemberian tingkat
         protein ransum sapi perah Holstein Friesian
         terhadap produksi, kadar protein dan kadar
         lemak air susu.  Laporan penelitian.  Fakultas
         Peternakan Universitas Padjadjara : Bandung.

6.  Scott, M. L., M.C. Nesheim, dan R. J. Young.  1976.
         Nutrition of the chicken.  3th. Ed.  Ithaca :
         New York.

7.  Thorton, P. A. dan W. A. Whittet.  1960.  Protein
         requirement for egg production as influenced
         by management, genetic background and dietary
         energi level.  Poultry Sci. 39 : 916 - 921.

8.  Tilmann, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo,
         S. Prawirokusumo, S. lebdosoekojo.  1986.
         Ilmu makanan ternak dasar.  Gadjah Mada
         University Press : Yogyakarta.

9.  Wahju, J.  1985.  Ilmu nutrisi unggas.  Gadjah
         Mada University Press : Yogyakarta.

PENYAKIT SP PADA UNGGAS


BAB I
PENDAHULUAN
             Salah satu faktor yang harus mendapat perhatian dalam pemeliharaan ternak unggas terutama ternak ayam ras adalah pencegahan terhadap penyakit, karena bila penyakit telah menyerang ternak akan merugikan dan menurunkan potensi pertumbuhan dan produksi yang dimiliki oleh ternak unggas tersebut, dimana pada ayam tipe petelur akan menurunkan kemampuan berproduksi, sedangkan pada ayam tipe pedaging dapat menyebabkan kekerdilan.
            Menurut Blakely dan Bade (1992), kemungkinan berjangkitnya suatu penyakit pada sistem pemeliharaan ternak ayam secara terkurung relatif cukup besar.  Oleh karena itu usaha-usaha pencegahan berjangkitnya penyakit perlu mendapat perhatian, sehingga dapat diperoleh keadaan kesehatan ternak yang memadai dengan biaya yang lebih rendah bila dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk biaya pengobatan.
            Selanjutnya Blakely dan Bade (1992) juga menyatakan bahwa, yang dimaksudkan dengan penyakit adalah segala gejala penyimpangan dari keadaan kesehatan yang normal.
            Macam penyakit yang dapat menyerang ternak unggas menurut Wiharto (1985) dapat disebabkan oleh :
a.  Parasit
b.  Protozoa (hewan bersel satu)
c.  Jamur
d.  Bakteri
e.  Virus
f.  Defisiensi zat makanan
g.  Stress akibat lingkungan yang kurang menguntungkan.
            Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pernafasan merupakan salah satu di antara penyakit yang paling menyusahkan dalam industri unggas.  Istilah umum yang sering digunakan untuk menggolongkan berbagai infeksi saluran pernafasan yaitu “airsacculitis”.  Istilah ini menunjukkan suatu infeksi kantung udara dan tidak bersifat spesifik bagi suatu penyakit tertentu. 
            Suatu kelompok ayam yang mengalami problema respirasi, memperlihatkan tanda-tanda kesulitan bernafas, megap-megap, bersin, batuk dan keluarnya cairan kental, merupakan tanda-tanda yang menunjukkan gejala penyakit pernafasan.
            Penyakit-penyakit sistem pernafasan pada ternak unggas antara lain penyakit Mikoplasmosis ( CRD ), Tetelo atau Newcastle Disease  ( ND ), Laryngotrachitis, Infectious Coryza, Infectious Bronchitis ( IB ) dan Aspergillosis.

 BAB  II
PENYAKIT-PENYAKIT SISTEM PERNAFASAN
2.1.  Chronic Respiratory Disease (CRD)
            CRD dilaporkan terdapat hampir di seluruh dunia, sedangkan kejadian di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Richey dan Dirdjosoebroto pada tahun 1965, dimana ayam ras yang sakit memperlihatkan gejala gangguan respirasi (Rusdi, 1987). 
            CRD adalah suatu jenis penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri.  Penyakit ini terjadi secara berlarut-larut (kronis) dan menimbulkan gangguan, terutama pada saluran pernafasan ternak unggas, sehingga penyakit ini disebut juga penyakit pernafasan menahun.
            Menurut Yahya (1991) kasus CRD di Indonesia sering dijumpai pada pe-ternakan-peternakan ayam.  Karena salah satu gejala penyakit ini adalah ngorok, maka peternak ayam sering menyebutnya sebagai penyakit ngorok.
            Di lapangan kejadian CRD secara murni jarang ditemui, umumnya sudah ada komplikasi dengan penyakit-penyakit lain terutama Escherichia coli sehingga disebut CRD kompleks.
            Kerugian yang disebabkan oleh serangan penyakit ini sangat besar, karena menyebabkan kegagalan dalam vaksinasi ND, menghambat pertumbuhan, konversi makanan buruk, penurunan produksi dan kualitas telur, kematian dan banyak ayam yang harus diafkir.
Menurut Rusdi (1987) ayam dan kalkun secara alami rentan terhadap infeksi
Mycoplasma gallisepticum.  Selain itu burung dara, ayam hutan dan beberapa unggas liar juga dapat diserang oleh penyakit ini.  Pada umumnya ayam umur muda lebih rentan terhadap infeksi terutama ayam pedaging, dan secara umum bila tanpa komplikasi dengan penyakit lain ternak ayam lebih tahan terhadap infeksi CRD daripada kalkun.
2.1.1.  Penyebab Penyakit
              “Chronical respiratory disease” pada ayam disebabkan oleh bakteri Mycoplasma gallisepticum, berukuran 0,25 - 0,50 mikron, berbentuk pleomorfik yang biasanya kokoid, tidak mempunyai dinding sel sejati dan bersifat gram negatif (Yahya, 1991). 
            Mycoplasma gallisepticum dapat merangsang pembentukkan zat kebal yang tidak sempurna, sehingga penderita yang telah sembuh akan bertindak sebagai pembawa bibit penyakit dan merupakan sumber penularan.
            Penyakit ini dapat menyerang ayam pada semua tingkatan umur, tetapi lebih banyak menyerang ayam muda.  Pada kasus serangan penyakit ini tingkat kesakitan (Morbiditas) tinggi, tetapi tingkat kematian (Mortalitas) rendah.  CRD akan lebih parah apabila disertai dengan infeksi sekunder, misalnya penyakit Newcastle Disease (ND) dan penyakit infectious bronchitis (IB).
2.1.2.  Gejala Penyakit
              CRD sebenarnya merupakan penyakit saluran pernafasan ringan jika tidak disertai dengan faktor komplikasi lain, seperti :
- infeksi penyakit saluran pernafasan lain
- reaksi vaksinasi dengan vaksi aktif
- stress karena suhu dingin, kandungan amonia terlalu tinggi, 
- ventilasi yang buruk dan faktor stress yang lain
- infeksi oleh bakteri, misalnya E. coli.
              Biasanya jika CRD menyerang maka seluruh kelompok ayam akan terkena meskipun derajat keparahannya berbeda-beda.  Menurut Yahya (1991) masa inkubasi CRD bervariasi antara 2 - 3 minggu dan penyakit bersifat kronis, sedangkan menurut Rusdi (1987) masa inkubasi CRD bervariasi antara 4 - 21 hari.
            Tanpa komplikasi, kelompok ayam yang terserang CRD tidak menunjukkan gejala klinis yang jelas.  Pada kelompok ayam yang gejala klinisnya jelas dapat dilihat, dimana ayam akan mengalami kesukaran waktu bernafas dan timbul suara, bersin, ngorok, keluar cairan dari hidung, konsumsi makanan sedikit, ayam lemah dan kurus, sayap terkulai, mengantuk dan diare berwarna seperti tanah.  Adakalanya ayam yang terserang menunjukkan muka bengkak akibat adanya penimbunan eksudat dalam sinus infra orbitalis. 
            Jika dilakukan bedah bangkai dapat ditemukan kelainan pada saluran per-nafasan yaitu rongga dan sinus hidung mengandung eksudat katar.  Pada kantong hawa selain mengandung eksudat katar dapat pula ditemukan penebalan dan kekeruhan (“Cloudy swelling”).
            Pada ayam yang menderita komplikasi dapat ditemukan peradangan pada perikardium, capsula hati dan pada kantung udara.  Peradangan pada saluran telur juga seringkali dijumpai.
            Diagnosa terhadap CRD dapat dikelirukan dengan penyakit-penyakit sebagai berikut :
- Snot
- Kolera unggas
- Newcastle Disease (ND)
- Infectious Bronchitis (IB)
2.1.3.  Penularan Penyakit
            Penularan penyakit dapat terjadi secara vertikal dan horisontal.  Penularan penyakit secara vertikal terjadi melalui telur yang dihasilkan oleh induk penderita CRD.  Penularan secara horisontal terjadi dari ayam yang satu ke ayam lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. 
            Penularan penyakit horisontal tidak langsung terjadi dengan melalui obyek atau perantara, seperti manusia, hewan liar, makanan, air minum, debu, dan peralatan kandang yang terkontaminasi oleh bakteri Mycoplasma gallisepticum, sehingga bibit penyakit tersebut masuk ke dalam tubuh ayam yang sehat dan menyebabkan ayam yang bersangkutan sakit atau tercemar Mycoplasma gallisepticum.  Menurut Rusdi (1987) penularan melalui udara tidak melebihi enam meter.
            Selanjutnya Whendrato dan Madyana (1987) menyatakan bahwa, ayam yang pernah terserang CRD dan telah sembuh (carrier) atau ayam penderita merupakan sumber penularan ke ayam sehat yang lain.
2.1.4.  Pengendalian Penyakit
2.1.4.1.  Pencegahan
                Ada beberapa tindakan yang harus dilakukan dalam upaya pencegahan terhadap serangan penyakit CRD, antara lain :
1)   Memelihara anak ayam (DOC) yang berasal dari perusahaan pembibitan ayam (“Breeding Farm”) yang bebas CRD.
2)   Melakukan sanitasi kandang dan lingkungan peternakan termasuk mencegah agar tidak terlalu banyak manusia atau hewan liar yang masuk ke dalam kandang.
3)   Usaha peternakan dikelola dengan baik sehingga memungkinkan suasana nyaman bagi ayam, antara lain : jumlah ayam pada suatu luasan kandang tidak terlalu padat, ventilasi kandang cukup dan sedapat mungkin diusahakan agar amonia tidak berkumpul di dalam kandang, ayam jangan sampai kedinginan, pemberian ransum dan vitamin yang cukup.
4)   Mengingat ayam yang pernah menderita CRD bertindak sebagai pembawa penyakit, sebaiknya ayam muda tidak dipelihara di dekat ayam tua atau dewasa dan pemeliharaan ayam pedaging dipelihara pada areal kandang yang berbeda dengan areal kandang ayam petelur.  Pelaksanaan sistem “all in all out” menunjang usaha pencegahan CRD.
5)   Pada pemeliharaan ayam petelur perlu melakukan vaksinasi CRD inaktif dan Snot minimal 3 bulan sekali.
2.1.4.2.  Pengobatan
                Obat-obatan yang dapat dipergunakan untuk penyakit ini di antaranya ialah tylosin, spiromycin, oxytetracyclin, streptomycin dan antibiotika lain yang mem-punyai spektrum luas.  Berikan Vita stress 4 - 5 hari setelah jatah pemberian obat habis diberikan, untuk membantu proses penyembuhan.
2.2.  Infectious Bronchitis (IB)
            Infectious Bronchitis (IB) adalah penyakit saluran pernafasan ayam yang di-sebabkan oleh virus, bersifat akut dan sangat menular sehingga penyebarannya dalam sekelompok ayam sangat cepat sekali.  Penyakit ini menimbulkan gangguan pada saluran pernafasan ayam ditandai dengan sesak nafas pada ayam muda dan pada ayam petelur mengakibatkan penurunan produksi dan kualitas telur.  Juga pada ayam muda yang berhasil sembuh dari penyakit infectious bronchitis, pertumbuhannya menjadi terhambat.
            Menurut Rusdi (1987), penyakit IB ini sangat merugikan.  Angka kematian pada ayam muda berkisar antara 0 - 40%, kematian yang tertinggi pada ayam ber-umur kurang dari enam minggu sedang derajat pertumbuhannya sangat lambat, sehingga penyakit ini sangat merugikan peternakan ayam pedaging.  Pada ayam dewasa angka kematiannya berkisar antara 0 - 5%, dan menyebabkan penurunan produksi telur yang sangat cepat.  Penurunan produksi telur ini dapat berlangsung dalam waktu yang cukup lama, bahkan dapat menyebabkan ayam petelur tidak dapat kembali berproduksi setingkat dengan produksi ayam normal. 
2.2.1.  Penyebab Penyakit
            Penyakit IB disebabkan oleh virus IB yang termasuk golongan Coronaviriadeae, virus yang mengandung ribonucleic acid (RNA), berukuran antara 80 - 120 nm.
     Virus IB mudah tumbuh dalam embrio ayam, sedangkan dalam biakan jaringan hanya dapat tumbuh setelah mengalami adaptasi.  Bila di luar tubuh ayam virus IB akan segera in aktif, terutama bila terkena panas, sinar matahari langsung ataupun desinfektan.
            Di dunia dikenal delapan serotipe virus IB, yaitu Massachusetts, Connecticut, Georgia, Delaware, Iowa 69, Iowa 97, New Hampshire dan Australia T.
            Kekebalan silang yang terjadi di antara serotipe tidak cukup untuk melindungi tubuh ayam terhadap infeksi virus alam.  Mengingat banyaknya serotipe virus dan kekebalan silang seperti tersebut di atas maka untuk keberhasilan vaksinasi, vaksin yang dipergunakan di suatu daerah harus sesuai dengan serotipe virus yang terdapat di daerah bersangkutan.
            Di Indonesia penyakit IB pertama kali ditemukan dan dibuktikan secara virologik pada tahun 1977 oleh Purnomo Ronohardjo dari bagian Virologi Lembaga Penelitian Penyakit Hewan Bogor (Rusdi, 1987).
2.2.2.  Gejala Penyakit
              Penyakit IB menular dengan sangat cepat, dalam waktu dua sampai tiga hari, sebagian besar atau seluruh ayam muda dalam satu kandang bisa menjadi sakit.  Menurut Yahya (1991), gangguan yang dapat dilihat yang disebabkan oleh penyakit ini adalah keluar lendir dari hidung, sesak nafas, terdengar suara ngorok, mata ter-lihat selalu basah, sudut mata medial melebar dan selaput niktitan berwarna merah, nafsu makan dan minum menurun.
              Pada ayam dewasa akan terdengar suara ngorok waktu bernafas, produksi telur menurun antara 10 -50%.  Penurunan produksi kadang-kadang terjadi dalam jangka waktu yang sangat lama dan bahkan tingkat produksi tidak dapat kembali normal seperti halnya tingkat produksi ayam normal.  Kualitas telur menurun, karena bentuk telur tidak normal, kerabang kasar atau lunak, bagian putih telur yang kental menjadi sangat cair sehingga tidak dapat dibedakan dengan bagian putih telur cair, dan daya tetas telur menurun.
              Jika dilakukan bedah bangkai akan tampak kelainan pada saluran per-nafasan, kantung hawa, ovarium dan kadang-kadang pada ginjal.  Perubahan saluran pernafasan yaitu pada trachea, bronchi dan rongga hidung ditemukan lendir yang bersifat serosa.  Pada trachea, selaput lendirnya menjadi kemerahan.  Kantung hawa menjadi keruh dan ada bagian-bagian yang menebal (‘cloudy swelling”).  Pada layer, ovariumnya menjadi lemah dan lunak.  Seringkali ditemukan kuning telur pecah di dalam rongga perut sehingga akan terjadi peradangan pada peritonium.  Pada ginjal akan ditemukan perubahan yang khas, yaitu pembengkakan disertai pengendapan asam urat.
              Jika ayam penderita infectious bronchitis terserang CRD, keadaan penyakit menjadi lebih parah dan menjadi penyakit saluran pernafasan yang tidak sembuh-sembuh.  Pada keadaan seperti itu komplikasi dengan E. coli mudah terjadi dan mem-perparah keadaan. 
              Pendiagnosaan infectious bronchitis sering dikelirukan dengan Newcastle disease, infectious laryngotracheitis, CRD atau snot (Wiharto, 1985).
2.2.3.  Penularan Penyakit
              Penyakit IB menular dalam waktu yang sangat singkat.  Dalam jangka waktu 2 - 3 hari sebagian besar atau seluruh ayam dalam satu kelompok akan tertular IB, biarpun ayam itu berada dalam kandang yang memenuhi persyaratan sanitasi.  Infectious bronchitis merupakan penyakit yang paling menular diantara penyakit menular lainnya pada ternak unggas, dengan masa inkubasi 18 - 36 jam (Yahya, 1991).
            Penularan penyakit IB tidak terjadi secara vertikal melalui telur, tapi terjadi secara horisontal, dimana sumber penularan adalah ayam yang sakit, virus keluar dari tubuh ayam sakit bersama partikel-partikel kecil lendir yang dibatukkan atau lendir yang dikeluarkan dari mata atau hidung. 
            Penularan secara langsung terjadi, dimana ayam sehat menghirup udara yang mengandung partikel virus.  Penularan juga dapat terjadi secara tidak langsung, yaitu jika virus yang mencemari petugas kandang, peralatan kandang, dan hewan liar kemudian masuk ke dalam tubuh ayam sehat melalui saluran pernafasan atau pencernaanya.
2.2.4.  Pengendalian Penyakit
2.2.4.1.  Pencegahan
1)   Pemeliharaan lingkungan yang sehat misalnya, kontruksi dan sanitasi kandang yang baik, suhu udara yang optimum, ventilasi kandang cukup, kepadatan kandang yang sesuai dengan standar strain ayam yang dipelihara, mencegah kadar amonia yang tinggi dan sedapat mungkin dilakukan sistem “all in all out”.
2)   Melaksanakan vaksinasi infectious bronchitis secara teratur sesuai dengan pe-tunjuk pembuat vaksin.
2.2.4.2.  Pengobatan
                Belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan IB.  Usaha yang dapat dilakukan adalah membuat kondisi badan ayam cepat membaik dan merangsang nafsu makannya dengan memberikan obat anti stress dan mencegah infeksi sekunder dengan therapy atau doxyvet.  Dapat pula diberikan pemanasan tambahan pada kandang.
2.3.  Newcastle Disease (ND)
            Newcastle disease (ND) atau disebut juga tetelo, cekak, pseudovogelpest, pseudo fowl plaque atau avian pneumo encephalitis adalah penyakit infeksius me-nular yang sampai sekarang masih merupa-kan masalah yang menduduki urutan paling atas dalam menimbulkan kematian pada ternak ayam baik ras maupun bukan ras (buras).
            Penyakit tetelo ditemukan untuk pertama kali oleh Kranaveld di Indonesia pada tahun 1926.  Doyle pada tahun 1927 memberi nama Newcastle disease yang berasal dari nama suatu daerah di Inggris “Newcastle on Tyne” yang terjangkit penyakit serupa di Indonesia.  Penemuan Doyle dipublikasikan melalui British Veterinary.  Saat ini penyakit tetelo telah tersebar secara luas di beberapa bagian dunia.  Kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit ini adalah kematian yang tinggi, penurunan produksi dan kualitas telur serta menghambat pertumbuhan (Yahya, 1991).
             Menurut Rusdi (1987) wabah ND ditandai dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi.  Kematian oleh strain velogenik tipe Asia paling tinggi, 80 - 100%, strain velogenik Amerika 60 -80%, strain Mesogenik biasanya tidak melebihi 10% dan itu terbatas pada ayam-ayam yang muda, strain Lentogenik hanya menyebabkan infeksi yang asymptomatis.
2.3.1.  Penyebab Penyakit
              Penyebab penyakit ND adalah virus golongan paramyxo yang  berukuran 150 - 250 milimikron, tersusun dari RNA, protein dan lemak.  Virus ini bersifat menggumpalkan (“haemagglutinasi”) sel-sel darah merah ayam, selain itu virus ND juga mengeluarkan toksin homolisin.
              Berdasarkan pada tingkat keganasannya (virulensinya), virus penyebab Newcastle disease terbagi menjadi empat strain, yaitu :
1)   Strain velogenik tipe Asia
2)   Strain velogenik tipe Amerika
3)   Strain mesogenik, misalnya Kumarov. Mutkeswar, dan Roikin.
4)   Strain lentogenik, misalnya La sota, B1, dan F.
            Strain velogenik adalah strain sangat virulen, penyebab banyak kematian, strain mesogenik, kurang virulen kerugian yang ditimbulkan terutama berupa pe-nurunan produksi telur dan penghambat pertumbuhan, sedangkan strain lentogenik avirulen.  Keempat strain banyak terdapat di alam, wabah terjadi biasanya oleh introduksi strain velogenik ke populasi yang tidak kebal.  Di Indonesia pada umum-nya strain velogenik tipe Asia yang sering menimbulkan wabah.  Strain-strain mesogenik dan lentogenik dipakai sebagai strain untuk pembuatan vaksin.
            Virus penyebab ND cepat mati pada suhu di atas 500C, tahan 1 minggu pada suhu 370C, 2 bulan pada suhu 22 - 280C dan berbulan-bulan pada karkas beku.  Virus ini juga tahan pada perubahan pH 2 sampai dengan pH 10, tetapi peka terhadap sinar ultra-violet dan sinar matahari, terhadap formalin (1 - 2%), phenol ( 1 : 20 ) dan kalium permanganat dalam larutan 1 : 5.000 atau dengan fumigasi.
              Dari segi serotipe, hanya terdapat satu macam serotipe.  Atas dasar kesamaan serotipe ini maka vaksin dari suatu negara dapat dipergunakan di negara-negara lain.
              Masa inkubasi virus ini bervariasi, strain velogenik tipe Asia masa inkubasi-nya 2 - 4 hari, sedangkan untuk strain velogenik tipe Amerika masa inkubasinya 5 - 6 hari.
              Infeksi oleh virus penyebab Newcastle disease di alam yang tidak menyebab-kan kematian akan menimbulkan kekebalan selama 6 - 12 bulan, demikian pula hal-nya kekebalan yang diperoleh dari vaksinasi.
2.3.2.  Gejala Penyakit
              Masa inkubasi bervariasi antara 2 - 15 hari dan rata-rata 5 - 6 hari.  Penyakit berlangsung hingga 14 -16 hari sesuai dengan tingkat keganasan virus yang menulari atau menginfeksi, gejala penyakit yang timbul bermacam-macam.  Umumnya mula-mula terjadi gangguan pernafasan yang terlihat dengan adanya batuk-batuk, ngorok, megap-megap, nafsu makan hilang, konsumsi air minum meningkat dan berkumpul pada tempat yang hangat.  Satu sampai dua hari setelah gejala tersebut muncul gangguan saraf, dimana terlihat kaki lumpuh, jalan diseret dan tanda-tanda yang jelas adalah leher terpuntir dan berjalan berputar-putar.
              Angka mortalitas sangat tinggi, pada broiler dapat menyebabkan berat badan optimal tidak tercapai saat panen.  Pada ayam petelur produksi telur sangat menurun dapat mencapai 0% dan kulit telur menjadi rapuh sehingga mudah pecah, bentuk telur menjadi berubah dan daya tetas telur sangat rendah.
              Bila dilakukan bedah bangkai, akan terlihat kantung hawa menjadi keruh, proventrikulus (lambung kelenjar) mengalami pendarahan (“haemorhagie”) yang berbentuk bintik-bintik (“ptechiae”).  Kerusakan ini bersifat khas (“pathognomosis”) bagi Newcastle disease tipe Asia (Yahya, 1991).
              Pada usus dapat terjadi enteritis dan nekrosa, eksudat kental dan berwarna kehijauan bercampur darah.  Pada saluran pernafasan akan didapatkan peradangan di sinus hidung, trachea, laryng dan juga pneumonia. 
              Eksudat yang bersifat katarhalis sampai mucopurulent dapat ditemukan pada saluran pernafasan.  Patologi anatomi yang terjadi pada saluran pernafasan tidak khas untuk penyakit Newcastle disease saja. 
              Pada susunan saraf dan otak dapat ditemukan dan degenerasi dan nekrosa otak.  Pada ayam petelur yang sedang berproduksi dapat ditemukan calon kuning telur yang mengalami perdarahan.  Calon kuning telur bentuknya menjadi tidak teratur, kadang-kadang ada calon kuning telur yang pecah di rongga perut.
              Newcastle disease sering dikelirukan dengan infectious bronchitis, infectious laryngotracheitis, chronic respiratory disease dan avian encephalomyelitis.      
2.3.3.  Penularan Penyakit
              Penularan Newcastle disease dari hewan yang satu ke hewan yang lainnya melalui kontak (persentuhan) dengan hewan yang sakit, sekresi, eksresi, dari hewan sakit serta juga bangkai penderita ND.  Jalan penularan melalui alat percernaan dan pernafasan. 
              Virus yang tercampur lendir atau dalam faeces dan urine tahan dua bulan bahkan dalam keadaan kering tahan lebih lama lagi.  Demikian pula virus yang men-cemari litter (jejabah) dan perlengkapan kandang.  Hal ini merupakan sumber pe-nularan yang penting.
              Wabah ND umumnya terjadi karena perubahan dari induk semangnya sendiri, seperti kenaikan jumlah populasi yang tidak kebal, perubahan iklim yang me-nyebabkan stress seperti perubahan musim kemarau ke musim hujan atau sebaliknya dan makanan kurang baik atau keadaan lingkungan yang memungkinkan penularan itu terjadi, seperti sanitasi dan tata laksana yang kurang baik (Wiharto, 1985).
              Penularan dari satu tempat ke tempat lain terjadi melalui alat transportasi, pekerja kandang, burung dan hewan lain, debu kandang, angin, serangga, makanan dan karung makanan yang tercemar.  Dapat pula melalui transpotasi dari karkas ayam yang tertular ND dan ayam dalam masa inkubasi.
2.3.4.  Pengendalian Penyakit
2.3.4.1.  Pencegahan
1)   Melakukan vaksinasi ND secara teratur sesuai dengan petunjuk pembuat vaksin.
2)   Melakukan sanitasi kandang dan lingkunan kandang.  Sebelum kandang  diguna-kan harus dibersihkan dan dilabur dengan kapur yang dibubuhi NaOH 2%, dengan formalin 1 - 2%, KMnO4 1 : 5.000 atau difumigasi.  Bila memakai litter, harus di-usahakan agar tetap kering.  Kandang-kandang harus tetap dijaga kebersihannya dan ventilasinya diatur sedemikian rupa sehingga udara dalam kandang tetap segar, serta diusahakan bebas dari hewan-hewan yang dapat memindahkan virus ND.  Selain itu kandang hendaknya harus pula kena sinar matahari.
3)   Hanya memelihara ayam yang berasal dari peternakan yang bebas penyakit ND.
4)   Di pintu masuk disediakan tempat-tempat untuk penghapus hamaan untuk orang maupun alat angkutan.
5)   Harus memperhatikan mutu dan jumlah makanannya.
2.3.4.2.  Pengobatan
                Belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan ND.  Untuk mengurangi kematian, bagi seluruh ayam yang belum menunjukkan adanya gangguan, diberikan penerangan tambahan, perbaikan keadaan alas kandang supaya tetap kering.  Kemudian lakukan vaksinasi dengan vaksin ND dengan cara spray, tetes mata atau suntikan dan berikan vita stress dalam air minum.
2.4.  Infectious Laryngotracheitis (ILT)
            Infectious laryngotracheitis adalah penyakit unggas akut dan sangat menular yang menimbulkan gangguan terutama pada saluran pernafasan. 
            Di Indonesia penyakit ini belum pernah dilaporkan kejadiannya secara resmi, akan tetapi mengingat ILT ditemukan di negara-negara asal bibit ayam ras yang di- impor ke Indonesia, maka dapat diperkirakan penyakit ini suatu saat dapat terbawa (Yahya, 1991).
            Penyakit ini akut sekali, berjalan sangat cepat dengan angka kematian ber-kisar antara 10 - 70% dan umumnya menyerang ayam ber-umur di atas 5 minggu.  Bila kelompok ayam yang terserang seluruhnya rentan maka angka kesakitan (morbiditas) bisa mencapai 100%.  Ayam yang terserang dapat mati atau sembuh setelah 5 - 6 hari.  Pada ayam petelur produksi telur menurun antara 10-20% dan kembali normal dalam jangka waktu empat minggu.
2.4.1.  Penyebab Penyakit
              Penyebab ILT adalah virus yang termasuk golongan Herpetovirideae atau Herpes virus, yang mempunyai struktur DNA, berukuran antara 195 - 250 nm, dan masa inkubasi ILT berkisar antara 6 - 12 hari.
              Virus penyebab ILT hanya dikenal dalam satu serotipe, tetapi virus mem-punyai virulensi yang bermacam-macam.   Pada suhu di bawah 0oC virus tahan hidup dan tetap bersifat infektif di luar induk semang, tetapi mudah dihancurkan dengan desinfektan atau sinar matahari langsung.  Jika virus terselubung di dalam lendir atau bangkai ayam, tetap infektif untuk waktu yang panjang dan merupakan sumber infeksi untuk ayam angkatan berikutnya.
              Ayam yang berhasil sembuh dari serangan infectious laryngotracheitis akan menjadi kebal dalam jangka waktu satu tahun, sedangkan vaksinasi akan menimbul-kan kekebalan dalam jangka waktu  2 - 12 bulan (Rusdi 1987).
2.4.2.  Gejala Penyakit
              Gangguan yang dapat dilihat dari luar adalah keluarnya lendir bercampur darah dari mata dan lubang hidung, batuk-batuk, bersin.  Seringkali kepala dikibas-kan dengan kuat untuk melepaskan gumpalan lendir dan darah yang menyumbat trachea.  Ayam menjadi susah sekali bernafas, kepala dan leher dijulurkan ke depan dan paruh dibuka lebar-lebar untuk menghirup udara sebanyak-banyaknya.  Dari mulut dan lubang hidung dapat keluar lendir berdarah sehingga kadang-kadang dapat ditemukan lendir berdarah pada dinding atau lantai kandang.  Seringkali daerah kepala menjadi berwarna kebiruan.  Ayam mati karena kekurangan oksigen di dalam tubuhnya akibat tersumbatnya saluran pernafasan (“aspeksia”).
2.4.3.  Penularan Penyakit
              Penyakit ILT akan terjadi bila partikel yang mengandung virus masuk ke dalam tubuh ayam melalui saluran nafas atau melalui konjugtiva.
              Sumber penularan adalah ayam sakit terutama melalui gumpalan darah dan lendir yang dibatukkan.  Hewan yang telah sembuh dapat menjadi pembawa penyakit (“carrier”) selama 2 tahun.
              Penularan secara langsung melalui penghisapan ke saluran nafas atau masuknya virus ke konjugtiva.  Penularan tidak langsung terjadi jika makanan atau minuman, peralatan kandang dan hewan liar yang tercemar virus, menghantarkan virus tersebut ke ayam sehat.
              Ayam yang tertular ada yang menunjukkan gejala sakit dan ada yang tidak.  Ayam tampak tidak sakit karena virus terselubung dalam tubuh ayam dan pada tubuh ayam virus tahan sampai dengan 16 bulan.  Virus berpindah dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh lain.  Suatu saat jika ada stress gejala sakit dapat muncul, ayam yang demikian merupakan sumber penularan  penyakit.
2.4.4.  Pengendalian Penyakit
              Karena di Indonesia penyakit infectious laryngotracheitis belum pernah ada, maka pencegahan yang terbaik adalah sistem karantina yang ketat.  Jika ada ayam yang menderita infectious laryngotracheitis harus dimusnahkan.
2.5.  Infectious Coryza
            Infectious coryza atau disebut juga korisa atau snot adalah penyakit infeksius yang menular.  Penyakit ini menimbulkan gangguan terutama pada saluran pernafas-an.  Penyakit korisa ini ditemukan hampir di seluruh dunia terutama di negara yang beriklim tropik.
              Angka kesakitan (morbiditas) sangat tinggi yaitu 100%, menghambat per-tumbuhan dan menurunkan produktivitas ayam.  Angka pengafkiran pada ayam dara cukup tinggi hingga dapat mencapai 40%.  Pada ayam yang sedang berproduksi me-nyebabkan penurunan produksi   berkisar antara 10 - 40%.
              Angka kematian (mortalitas) rendah tetapi adanya komplikasi dengan CRD, ILT, ND, IB, kolera dan cacar dapat menyebabkan kematian tinggi.  Penyakit ini sering menyerang ayam pada umur 18 - 23 minggu (ayam dara menjelang bertelur) dan menyebabkan keterlambatan masa bertelur (Rusdi, 1987).

2.5.1.      Penyebab Penyakit
  Infectious coryza disebabkan oleh bakteri, berbentuk batang yang pleomorfik, tidak bergerak, bersifat gram negatif dan disebut Haemophilus gallinarum.
              Bakteri ini tidak dapat hidup lama di luar tubuh ayam, akan mati setelah 4 - 5 jam, karena sangat peka terhadap pengaruh luar, akan tetapi jika ada di dalam tubuh induk semang sangat tahan dan tidak ada satu jenis obatpun yang dapat me-matikan bakteri penyebab penyakit ini, oleh karena itu ayam yang sudah sembuh dari serangan penyakit ini akan tetap membawa bibit penyakit.
              Bakteri ini tidak mudah dibiakkan dalam media buatan karena memerlukan faktor-V yaitu nicotinamide adenine dinucleotide (NAD), tapi bakteri ini akan sangat baik tumbuhnya bila dibiakkan dalam media agar darah dan dieramkan secara mikroaerofilik.
              Pada saat ini dikenal sekurang-kurangnya tiga serotipe Hemophilus gallinarum, tetapi sifat antigeniknya sama, oleh karena itu uji aglutinasi dengan antigen yang dibuat dari salah satu serotipe dapat dipakai sebagai cara diagnosa.  Untuk pembuatan vaksin dianjurkan menggunakan pokok kuman dari galur setempat.
2.5.2.  Gejala Penyakit
              Proses penyembuhan dari penyakit korisa akan terjadi dalam jangka waktu dua minggu, dan ayam yang sembuh dari penyakit ini akan mempunyai kekebalan selama 2 - 3 bulan.
              Penyakit infectious coryza merupakan penyakit kronis, yang gejala klinisnya dapat dilihat dimana dari lubang hidung keluar eksudat atau lendir yang mula-mula berwarna kuning dan encer tetapi lambat laun berubah menjadi kental, bernanah dan berbau khas.  Di sekitar lubang hidung terdapat kerak eksudat berwarna kuning, sinus infraorbitalis membengkak sangat besar karena terisi lendir yang telah mengental, kelopak mata membengkak dan mata tertutup, ayam menjadi sulit bernafas, kadang-kadang ditemukan diare berwarna hijau, pertumbuhan menjadi terhambat dan kerdil.
              Jika ayam yang mati karena infectious coryza dibedah, maka di dalam sinus infraorbitalis terdapat eksudat kental berwarna putih atau kuning dengan bau yang khas.  Jika keadaan sudah kronik terdapat juga peradangan pada kantung hawa (Yahya, 1991).
              Ayam yang terinfeksi akan mengeluarkan lendir ingus secara terus menerus  1 - 4 hari setelah penularannya, kemudian suhu badan akan naik dan nafsu makan berkurang.  Jika jangger terserang maka akan membengkak dan keras.  Keadaan ini dapat berlangsung selama kurang lebih dua bulan.  Jika ayam petelur terserang infectious coryza, maka produksi telurnya akan terhambat atau tidak berproduksi sama sekali.  Hal ini karena indung telur (“ovarium”) mengalami pengecilan (“atropi”). 
2.5.3.  Penularan Penyakit
              Penularan penyakit hanya terjadi secara horisontal baik secara langsung maupun tidak langsung.  Di dalam satu kelompok penularan terjadi melalui kontak langsung dari satu penderita ataupun pembawa penyakit.  Makanan dan air minum tercemari marupakan sumber penularan. 
              Ayam yang telah sembuh dari penyakit ini akan bertindak sebagai pembawa bibit penyakit dan dapat menularkannya pada ayam yang lain.  Masa inkubasi ber-kisar antara 1 - 3 hari.
 2.5.4.  Pengendalian Penyakit
2.5.4.1.  Pencegahan
1)   Melakukan vaksinasi secara teratur sesuai dengan anjuran pembuat vaksin.  Biasanya vaksinasi dilakukan pada ayam berumur 8 - 10 minggu dan diulang pada umur sekitar 16 - 18 minggu.  Vaksinasi dilakukan dengan suntikan intramuskular atau subkutan.
2)   Cara yang paling baik untuk mencegah terjadinya penyakit ini ialah melaksanakan sanitasi dan pengelolaan peternakan yang baik, misalnya konstruksi kandang yang baik, ventilasi kandang yang baik, ke-padatan yang sesuai dengan iklim setempat, dan sedapat mungkin melakukan “all in all out” program.  Diusahakan agar ayam untuk peremajaan dipelihara sendiri sejak kecil dalam tempat tersendiri di peternakan yang bersangkutan.  Usahakan agar ayam yang berada dalam suatu kelompok berumur sama, karena timbulnya penyakit sering diakibatkan oleh ter-campurnya ayam dari berbagai umur di dalam satu kelompok.
2.5.4.2.  Pengobatan
                Sulfathiazole adalah obat yang paling efektif untuk pengobatan infectious coryza.  Bila obat ini tidak ada, dapat juga dipilih obat-obatan sulfamethazine, sulfamerazine, atau erytrhomycin(gallimycin).  Di Amerika Serikat penggunaan preparat sulfa untuk ayam petelur sejak umur 14 minggu ke atas dilarang FDA.             
2.6.  Aspergillosis
            Kasus aspergillosis pada ayam di Indonesia pertama kali dilaporkan pertama kali pada tahun 1952 oleh Kranaveld dan Djaenoedin.   Aspergillosis atau disebut juga Bruder Pneumonia adalah penyakit yang disebabkan oleh jamur yang dapat me-nyerang manusia maupun hewan, tetapi penyakit ini sering dijumpai pada unggas.  Aspergillosis pada unggas menimbulkan gangguan terutama pada saluran pernafasan ayam bagian atas, konjugtiva dan kadang-kadang menyerang organ visceral dan susunan saraf pusat.
            Aspergillosis merupakan salah satu anggota kelompok penyakit yang disebab-kan oleh jamur (Mycosis).  Selain oleh Aspergillus sp, Mycosis sering ditimbulkan oleh Candida albicans atau Trichophyton gallinae.  Penyakit ini dapat menyerang ayam pada semua tingkatan umur, tetapi lebih sering tampak pada anak ayam umur 2 - 3 minggu (Wiharto, 1985).
2.6.1.  Penyebab Penyakit
              Aspergillosis disebabkan terutama oleh jamur Aspergillus fumigatus di-samping Aspergillus flavus.  Jamur-jamur tersebut terdapat di alam bebas maupun di dalam tanah.
              Secara normal Aspergillus sp hidup sebagai saprofit (hidup pada tumbuhan lain yang sedang dalam proses pembusukan) dan dapat hidup tanpa tergantung dari sifat parasitiknya.  Jamur atau sporanya dapat dijumpai di udara bebas, debu, jerami, biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan yang sedang mengalami pembusukkan (Rusdi 1987).                                                                                                                                                                                
2.6.2.  Gejala Penyakit
              Terdapat dua macam bentuk Aspergillosis, yaitu bentuk akut dan bentuk kronis.  Pada bentuk akut didapatkan pada ayam muda dengan gejala klinis dimana ayam tidak mau makan, mengantuk, kesulitan bernafas, suatu saat timbul kejang-kejang.  Jika penularan terjadi sejak di mesin tetas, gejala tersebut akan tampak pada umur 2 - 3 hari.  Jika penularan terjadi di kandang indukan, gejala penyakit akan tampak pada umur 5 - 6 hari.  Infeksi pada bagian otak menyebabkan kelumpuhan dan gangguan saraf yang lain, infeksi pada mata (biasanya unilateral) menyebabkan mata tertutup oleh cairan kental berwarna kuning.
              Pada bentuk kronis (biasanya menyerang ayam dewasa) akan ditemukan bahwa nafsu makan menurun, batuk, kesulitan bernafas dan lama kelamaan ayam menjadi kurus.
              Jika bangkai ayam dibedah akan didapatkan salah satu dari bentuk radang paru-paru tersebar, bentuk bungkul kecil-kecil dan bentuk radang kantong udara yang tersebar.  Radang paru-paru ini secara umum sering dijumpai, kadang-kadang disertai cairan bernanah yang berwarna hijau.
2.6.3.  Penularan Penyakit
              Penularan terjadi secara horisontal dari ayam sakit ke ayam sehat, melalui spora di udara, debu dan bahan makanan yang masuk ke dalam tubuh ayam sehat.  Anak ayam dapat terserang aspergillosis karena tempat pemeliharaan atau makanan-nya tercemar spora.
2.6.4.  Pengendalian Penyakit
2.6.4.1.  Pencegahan
                Belum ada vaksin yang efektif yang dapat digunakan untuk usaha pen-cegahan, upaya yang terbaik adalah menjaga kebersihan kandang dan makanan.  Memusnahkan sumber jamur dan spora serta menyingkirkan hewan penderita.  Tidak menggunakan antibiotika melebihi jangka waktu yang ditentukan.  Tempat pemeliharaan ayam umur satu hari dan inkubator dibersihkan dan difumigasi sebelum digunakan.
2.6.4.2.  Pengobatan
                Tidak ada obat yang efektif dan ekonomis untuk penyakit aspegillosis pada unggas, tapi dapat dikurangi dengan memberikan obat-obatan yang mengandung antibiotika seperti Terramycin Poultry Formula.

 BAB III
KESIMPULAN

            Berdasarkan uraian di atas maka dapat tarik kesimpulan sebagai berikut :
1.  Upaya pencegahan terhadap penyakit yang mungkin menyerang dalam pe-
    meliharaan ternak unggas merupakan tindakan yang harus mendapat perhatian
     khusus, selain pemilihan bibit dan makanan.
2.  Penyakit-penyakit sistem pernafasan merupakan kelompok penyakit yang perlu
     mendapat perhatian dan penanganan yang serius dalam pemeliharaan ternak
     unggas dalam sistem terkurung.
3.  Penyakit-penyakit sistem pernafasan menimbulkan kerugian yang sangat besar 
     dalam pemeliharaan ternak unggas.

 DAFTAR PUSTAKA

1.  Blakely, J. dan Bade, D.H.  1992.  Ilmu peternakan, diterjemah-
         kan oleh Bambang Srigandono.  Gadjah Mada University Press.
         Yogyakarta.

2.  Rusdi, U.  1987.  Pedoman pengendalian penyakit hewan menular.
         Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung.

3.  Whendrato, I. dan Madyana, I.M.  1987.  Beternak ayam secara
         populer.  CV. Eka Farma : Semarang.

4.  Wiharto.  1985.  Petunjuk beternak ayam.  Lembaga Penerbitan
          Universitas Brawijaya.  Malang

5.  Yahya, Y.  1991.  Penyakit-penyakit penting pada ayam.
           PT. Angkasa : Bandung.