Home AD

Monday, October 21, 2013

Implementasi Pendidikan Anak di Keluarga mampu Menurut QS. Lukman Pada Era Modern


            Masalah berat yang dialami oleh keluarga muslim akhir-akhir ini adalah tentang pergaulan di kalangan anak-anak dan remaja. Di masa modern ini, anak yang dibesarkan dalam keluarga yang baik belum tentu bisa bertahan dengan dahsyatnya pengaruh kenakalan yang ada di sekelilingnya. Apalagi kecenderungan dalam keluarga mampu yang ‘mengabaikan’ keberadaan anak-anak mereka. Kalangan keluarga mampu merasa sudah lebih dari cukup memberikan uang kepada anak-anaknya dan memfasilitasi segala kebutuhan mereka.
Para orangtua di keluarga mampu beranggapan bahwa dengan uang yang berlebihan dan serba kecukupan, anak sudah terpenuhi kebutuhannya. Ditambah lagi mereka sudah merasa aman dengan penjagaan oleh baby sitter atau pembantu, supir atau satpam, sedangkan anak-anak mereka jarang melihat kedua orang tuanya yang tidak pernah di rumah. Sang Bapak sibuk bisnis keluar negeri, dan sang Ibu super aktif di yayasan-yayasan sosial, keduanya sama-sama jarang pulang. Padahal selain butuh materi, anak-anak juga butuh kasih sayang dari kedua orang tua mereka. Hal ini diperparah lagi dengan ‘pendidik lain’ di rumah yang kadang-kadang peranannya justru lebih dominan dari orang tuanya sendiri, di Barat disebut dengan idiot box atau televisi. Dampak lebih jauh televisi terhadap perkembangan anak bisa menjadi suara dominan dalam kehidupan mereka dan agen utama proses sosialisasi dalam kehidupan anak.
Pada sisi lainnya, anak-anak atau remaja bermasalah yang mempunyai latar belakang keluarga mampu yang religius ataupun keluarga mampu yang sekuler sulit dibedakan. Jika sudah keluar rumah, anak-anak ini memiliki banyak faktor pembentuknya, antara lain dari lingkungan, temannya, maupun dari media televisi dan internet. Pada akhirnya, lingkungan itulah yang kemudian mempengaruhi perkembangan anak tersebut.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan QS. Lukman menawarkan pada keluarga muslim, khususnya keluarga mampu, untuk mengaplikasi konsep-konsep yang terkandung di setiap ayatnya sebagai upaya memecahkan masalah yang terjadi terkait dalam hal pendidikan anak. Konsep yang berangkat dari ‘konsep hikmah’ ini dapat diterapkan dengan tahapan-tahapan berikut:
1.      Orang tua menentukan perencanaan dan tujuan pendidikan anak, baik perencanaan jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam hal ini orang tua sangat berperan dalam menentukan arah pendidikan anak sejak kecil hingga ia cukup dewasa dalam memilih langkahnya, dengan memperhatikan minat dan bakat yang ada pada anak.
2.      Orang tua terlibat dalam proses pendidikan anak. Meskipun kendala terbesar pada keluarga mampu adalah kehadiran orang tua yang tidak maksimal, namun dalam hal ini orang tua tetap dituntut untuk terlibat langsung dalam proses yang terjadi. Kehadiran orang tua tidak harus full time, cukup tiga kali  per pekan, atau dua kali per pekan, atau satu kali per pecan pun dirasa cukup untuk terus memantau dan mendampingi proses pendidikan tersebut.
3.      Menu pendidikan yang berupa konsep-konsep pendidikan QS. Lukman disusun berdasarkan hierarkis yang tepat. Misalnya, pendidikan tauhid lebih diutamakan dalam proses pendidikan anak dibanding pendidikan ibadah. Logikanya adalah tidak mungkin anak melakukan shalat jika tidak dikenalkan dulu untuk siapa ia beribadah. Pengenalan akhlak dapat dikenalkan sambil memperkenalkan pendidikan ibadah, dan sebagainya.
4.      Dalam proses pendidikan keluarga yang akan dan sedang berlangsung, orang tua dapat mendatangkan orang-orang yang kompeten dalam pendidikan anak untuk mendukung menu-menu pendidikan yang sedang dilaksanakan. Misalnya konsultan pendidikan, konseling anak, guru privat yang berakhlak baik dan berilmu. Jika orang tua tidak mampu menyusun, merancang, dan menentukan arah pendidikan anak karena ketidakmampuan mereka, jasa konsultan pendidikan dibutuhkan untuk membantu merumuskan langkah-langkah apa yang harus dilakukan. Dalam sebuah bisnis, untuk mencapai hasil yang sukses orang tidak akan ragu mengeluarkan uang lebih untuk menyewa konsultan bisnis yang handal untuk melancarkan tujuan yang dimaksud. Lalu mengapa dalam merancang masa depan anak orang, orang tua tidak menggunakan jasa konsultasi pendidikan untuk menyukseskan keinginannya? Demikian pula kebutuhan guru privat di rumah. Dalam hal ini, guru yang dibutuhkan bukan seperti guru les atau kursus seperti biasa. Guru yang dibutuhkan disini adalah guru yang selain dapat mentransfer ilmu pengetahuannya tapi juga dapat mentransfer akhlak yang baik. Jadi, dengan kehadiran orang tua yang minim, guru privat ini sedikit banyak dapat membantu melakukan pendidikan-pendidikan akhlak dalam keluarga. Sedangkan konseling anak dibutuhkan untuk terus memantau perkembangan jiwa dan kecenderungan anak dalam menghadapi lingkungannya, baik di rumah, sekolah, atau di masyarakat.
5.      Melengkapi sarana-sarana pendidikan untuk mendukung menu-menu pendidikan yang sedang berlangsung. Misalnya di rumah dapat dibuat sentra-sentra kreatif anak sesuai dengan kecenderungan atau hobinya. Contohnya untuk anak yang menyukai seni dapat dibuat ruang seni, ruang olahraga, perpustakaan mini, pengadaan audio visual yang mendukung pembelajaran, dan sebagainya.
6.      Melakukan rekreasi keluarga yang bermanfaat ke berbagai komunitas masyarakat untuk melatih mengenalkan ragam masyarakat yang ada sehingga  anak dapat mengenal ragam masyarakat di luar lingkungan tempat ia tinggal. Hal ini bertujuan agar anak mampu beradaptasi pada tiap lapisan masyarakat, down to earth, dan pada akhirnya kelak mampu berkomunikasi dengan baik dengan berbagai lapisan masyarakat. Misalnya kunjungan-kunjungan ke komunitas masyarakat petani, masyarakat pemulung, masyarakat pencinta seni, dan lain sebagainya.
Dalam hal ini orang tua harus memiliki wawasan pengetahuan yang luas serta dasar pengetahuan agama yang mencukupi untuk menghindari kesalahan strategi dalam mendidik anak. Selain itu orangtua sebisa mungkin harus mengalokasikan waktu yang cukup untuk memberikan kesempatan bagi anak berinteraksi serta meresapi sikap-sikap Islami yang ditunjukkan oleh orang tua dalam perilaku kesehariannya. Orang tua juga harus mengetahui empat periode dalam perkembangan kognitif anak, yaitu:
a.       Periode 1 - 2 tahun. Pada masa ini anak mengorganisasikan tingkah laku fisik seperti menghisap, menggenggam dan memukul. Pada usia ini cukup dicontohkan melalui seringnya dibacakan ayat-ayat suci al-Quran atau ketika kita beraktivitas membaca Bismillah.
b.      Periode 2 - 7 tahun. Anak mulai belajar untuk berpikir dengan menggunakan symbol dan khayalan mereka tapi cara berpikirnya tidak logis dan sistematis. Contohnya ketika Nabi Ibrahim mencari Robbnya.
c.       Periode 7 - 11 tahun. Anak mengembangkan kapasitas untuk berpikir sistematik. Contohnya orang tua dapat memberikan gambaran bahwa angin tidak terlihat tetapi dapat dirasakan, begitu juga dengan keberadaan Allah S.W.T. yang tidak dapat dilihat tetapi ada ciptaannya.
d.      Periode 11 - Dewasa. Kapasitas berpikirnya sudah sistematis dalam bentuk abstrak dan konsep.
Suasana kesehatan dan kejiwaan ibu sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak dalam rahimnya. Rangsangan yang diberikan ibu kepada anaknya dalam rahim sangat penting bagi perkembangan selanjutnya. Ibu sebaiknya mengaktifkan komunikasi dengan anak sejak dalam rahim. Memasuki bulan keenam dan ketujuh masa kehamilan, bayi mulai mendengar suara-suara seperti detak jantung ibu dan juga suara lain di luar rahim. Semua itu didengarkan melalui getaran ketuban yang ada dalam rahim. Suara ibu adalah suara manusia yang paling jelas didengar anak, sehingga suara ibu selalu menjadi suara manusia yang paling disukai anak.
Anak menjadi tenang ketika ibunya menepuk-nepuk perutnya sambil membisikkan kata manis. Hal ini akan menggoreskan memori di otak anak. Semakin sering hal itu diulang semakin kuat guratan itu pada otak anak. Kemampuan mendengar ini sebaiknya digunakan oleh ibu untuk membuat anaknya terbiasa dengan ayat-ayat al-Qur’an. Karena suara ibulah yang paling jelas, maka yang terbaik bagi anak dalam rahim adalah bacaan ayat al-Qur’an oleh ibunya sendiri, bukan dari tape atau radio atu dari yang lain. Semakin sering ibu membaca al-Qur’an selama kehamilan semakin kuatlah guratan memori al-Qur’an di otak anak. Masa usia 0 – 2 tahun didominasi oleh aktivitas merekam, sedangkan masa usia 3 – 5 tahun didominasi oleh aktivitas merekam dan meniru.
Pada masa sekarang, umumnya perkembangan anak lebih cepat sehingga aktivitas meniru muncul lebih cepat. Pada masa-masa inilah lingkungan keluarga memberikan nilai-nilai pendidikan lewat kehidupan keseharian. Semua orang yang berada di lingkungan keluarga harusnya memberikan perlakuan dan teladan yang baik secara konsisten. Ketika anak sudah mulai bermain ke luar rumah pada masa usia 3 – 5 tahun keluarga harus sudah bisa membentengi anak dari nilai-nilai atau contoh-contoh buruk yang ada di luar rumah.
Sedangkan masa usia 3 – 10 tahun merupakan fase-fase cerita dan pembiasaan. Pada saat inilah terdapat lapangan yang luas bagi orangtua untuk menjalankan ‘konsep hikmah’ yang ada dalam QS. Lukman. Konsep ini bisa diterapkan dengan berbagai cara, misalnya, menanamkan nilai-nilai kebaikan lewat cerita, menggali cerita-cerita al-Qur’an dan sejarah perjuangan Islam, membiasakan ibadah, dan lain-lain.
Masa usia 6 – 10 tahun adalah masa pengajaran adab, sopan santun, dan ahlak yang baik. Juga merupakan masa pelatihan pelaksanaan kewajiban-kewajiban muslim seperti sholat dan shaum. Rasulullah S.A.W bersabda, “Apabila anak telah mencapai usia 6 tahun, maka hendaklah ia diajarkan adab dan sopan santun.” [HR. Ibnu Hibban]. Dalam hadits yang lain Beliau mengatakan, “Suruhlah anak-anakmu mengerjakan sholat pada usia 7 tahun dan pukullah mereka pada usia 10 tahun bila mereka tidak sholat, dan pisahkan mereka dari tempat tidurnya (laki-laki dan perempuan)” (HR. al-Hakim dan Abu Dawud).
Masa akhir anak-anak, yaitu usia 10-14 tahun merupakan rentang usia dimana anak-anak umumnya memasuki masa baligh. Jadi masa ini anak-anak sudah dekat sekali atau bahkan sudah baligh. Karenanya pada masa ini pemberian tugas sudah harus dilengkapi dengan sanksi apabila mereka tidak menjalankan tugas yang diberikan. Setelah usia 10 tahun, walaupun mereka belum baligh, kita sudah harus memukul mereka agar mereka menjadi lebih disiplin dalam menjalankan shalat. Tentunya nasehat dalam bentuk verbal juga tidak ditinggalkan.
Dari proses pendidikan yang digambarkan di atas dapat difahami bahwa sesungguhnya ibu bukan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab akan pendidikan anak di dalam keluarga. Namun memang tidak dapat disangkal bahwa ibu adalah pihak yang paling dominan pengaruhnya dalam keberhasilan pendidikan anak karena ialah orang yang pertama kali memberi warna pada anak. Selain itu ibu adalah pihak yang paling dekat dengan anak sehingga dialah yang paling mudah berpengaruh pada anak. Tidak aneh ketika Islam menempatkan ibu sebagai suatu posisi utama bagi seorang wanita. Tugas-tugas sebagai seorang ibu harus didahulukan pelaksanaannya apabila berbenturan dengan pelaksanaan dengan aktivitas lain.
Persoalannya adalah tidak semua orang dapat memenuhi kriteria-kriteria di atas yang disebabkan orang tua, terutama ibu, tidak memiliki wawasan pengetahuan yang mumpuni, khususnya di bidang pendidikan anak dan nilai-nilai  dasar Islami. Terlebih, kehadiran ibu dalam keluarga mampu sangat minim. Ibu seperti halnya Bapak memiliki kesibukan-kesibukan di luar yang ‘enggan’ ditinggalkan. Dalam situasi semacam ini orang tua perlu mengambil langkah-langkah di atas sebagai upaya mengantar anak menuju pintu gerbang masa depan yang cerah, sehat dan agamis. Salah satunya adalah mendatangkan guru privat. Secara tekhnis, guru privat ini bisa didatangkan pada waktu usia anak di bawah dua belas tahun untuk mengajarkan nilai-nilai dasar Islam, termasuk cara membaca al-Qur’an dan Hadits. Pada usia tiga belas tahun sampai dengan delapan belas tahun kandungan makna al-Qur’an dan Hadits mulai diajarkan dengan metode yang praktis, sistematis dan komprehensif, mengingat pada periode ini anak sudah mulai disibukkan dengan pelajaran-pelajaran di sekolah. Selain itu penggunaan gadget-gadget dapat menarik anak untuk mengikuti proses pendidikan yang diajarkan. Arahkan anak pada penggunaan positif sambil menjelaskan tentang dampak negatifnya.
Dengan demikian diharapkan ketika memasuki bangku kuliah anak sudah memiliki gambaran yang utuh dan komprehensif tentang Islam, beserta nilai-nilai abadi yang terkandung di dalamnya. Sehingga ia tidak akan mudah menyerah terhadap tekanan-tekanan dan pengaruh-pengaruh luar yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Minimal ia akan tahu ke mana jalan untuk kembali ketika melakukan penyimpangan-penyimpangan dari nilai-nilai Islam akibat pengaruh eksternal yang sangat kuat.
Sedangkan untuk mengenalkan Allah S.W.T. dalam kehidupan anak dapat melalui proses pendidikan antara lain:
a.       Menciptakan hubungan yang hangat dan harmonis
b.      Jalin hubungan komunikasi yang baik dengan anak, bertutur kata lembut, bertingkah laku positif.
c.       Menghadirkan nilai tauhid melalui aktivitas rutin, seperti ketika kita bersin ucapkan Alhamdulillah, ketika kita memberikan uang jajan katakan bahwa uang itu titipan Allah jadi harus dibelanjakan dengan baik seperti beli roti.
d.      Memanfaatkan momen religius, Seperti Sholat bersama, tarawih bersama di bulan ramadhan, tadarrus al-Qur’an, buka shaum bersama.        
e.       Memberi kesan positif tentang Allah. Kenalkan sifat-sifat baik Allah Jangan mengatakan “nanti Allah marah kalau kamu berbohong” tapi katakanlah “ anak yang jujur disayang Allah”.
f.       Beri teladan. Anak akan bersikap baik jika orang tuanya bersikap baik karena anak menjadikan orang tua model atau contoh bagi kehidupannya.
Selain itu, untuk kebutuhan pendidikan formal anak orang tua dapat menyekolahkan anak di lembaga-lembaga Islam semacam pesantren modern yang saat ini sudah banyak memiliki sekolah-sekolah umum yang berkualitas. Namun menurut peneliti, memasukkan anak sejak TK sampai SMU di lembaga-lembaga pendidikan yang memakai lebel Islam, misalnya yayasan Muhammadiyah, yayasan NU, yayasan al-Azahar dan lain-lain tidak begitu efektif. Salah satu sebabnya adalah karena kurang komprehensifnya kurikulum keislaman di dalamnya. Kendatipun begitu, ini jauh lebih baik dibanding, misalnya, memasukkan anak ke sekolah-sekolah non-Muslim yang minim pendidikan agama Islam
Hanya yang harus diperhatikan adalah pemilihan sekolah. Dengan berjamurnya sekolah-sekolah Islam, mulai dari terpadu hingga bersistem Internasional, banyak dari sekolah-sekolah tersebut menawarkan bentuk pendidikan yang hanya menambahkan kata-kata Islam di belakang sekolahnya namun konsep yang digunakan tidak jelas, masih mendikotomikan antara Islam dan umum, serta belum mengintegralkan Islam ke dalam pendidikan sekolah.
Untuk mencapai tujuan menciptakan dan melahirkan anak-anak shaleh dambaan orang tua, sangat diperlukan adanya peran orang tua untuk memilih dan menerapkan ide-ide cemerlang dan efektif. Selain itu, hubungan orang tua dengan anak juga mengambil peran penting bagi keberhasilan anak. Jadi, tidak ada alasan bagi orang tua untuk tidak mendidik anaknya sejak usia dini.
Kehidupan keluarga saat ini baik di kota besar maupun di desa berubah semakin kompleks, terutama dalam hal permasalahan pengasuhan anak. Orang tua yang sibuk bekerja di luar rumah meninggalkan anak-anaknya yang di asuh oleh pembantu atau keluarga terdekat. Maka, hubungan orang tua dengan anakpun menjadi renggang. Komunikasi antara orang tua dengan anak menjadi terbatas yaitu ketika pulang dari kerja. Walaupun sekarang dengan komunikasi yang serba canggih, anak-anak di fasilitasi alat komunikasi berupa handphone. Secara psikologis anak bukan hanya memerlukan komunikasi via handphone tetapi anak juga memerlukan dekapan dan kasih sayang kedua orang tuanya khususnya ibu.
Sekarang ini banyak dijumpai para orang tua yang menghantarkan anaknya ke sebuah lembaga pendidikan dengan tujuan menjadikan anaknya menjadi anak yang cerdas, anak yang bisa di harapkan orang tuanya kelak di masa mendatang. Namun, pendidikan yang diperoleh anak di sekolah ternyata tidak seperti yang diharapkan orang tua dan hasil nilai-nilai ujian anak yang kurang memuaskan orang tua. Lantas orang tuapun menuntut sekolah atau memarahi anak dengan dalih kekecewaan terhadap pendidikan anak. Tetapi, lagi-lagi orang tua harus banyak introspeksi diri. Selaku orang tua sudah berapa banyak yang dilakukan terhadap pendidikan anak.
Orang tua seharusnya memiliki kualitas diri yang memadai, sehingga anak-anak akan berkembang sesuai dengan harapan. Artinya orang tua harus memahami hakikat dan peran mereka sebagai orang tua dalam membesarkan anak, membekali diri dengan ilmu tentang pola pengasuhan yang tepat, pengetahuan tentang pendidikan yang dijalani anak, dan ilmu tentang perkembangan anak, sehingga tidak salah dalam menerapkan suatu bentuk pola pendidikan terutama dalam pembentukan kepribadian anak yang sesuai denga tujuan pendidikan itu sendiri untuk mencerdasakan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Allah dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Pendampingan orang tua dalam pendidikan anak diwujudkan dalam suatu cara-cara orang tua mendidik anak. Cara orang tua mendidik anak inilah yang disebut sebagai pola asuh. Setiap orang tua berusaha menggunakan cara yang paling baik menurut mereka dalam mendidik anak. Untuk mencari pola yang terbaik maka hendaklah orang tua mempersiapkan diri dengan beragam pengetahuan untuk menemukan pola asuh yang tepat dalam mendidik anak.

Al-Qur’an dan Proses Pendidikan Anak dalam Keluarga


Al-Qur’an adalah sebagai sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan yang berguna untuk pedoman bagi manusia terutama bagi keluarga dalam rangka melakukan proses pendidikan anak dalam keluarga. Proses ini memiliki estafet yang berkesinambungan dari generasi ke generasi berikutnya, dengan harapan generasi yang akan datang akan lebih baik dari pada generasi sekarang. 
Bila dirunut secara detail, al-Qur’an tidak mengungkap secara langsung bentuk pendidikan terhadap anak. Maksudnya, ayat-ayat al-Qur’an tidak menggambarkan secara terperinci bagaimana sistem, pola dan mekanisme pendidikan yang efektif diterapkan untuk anak. Sejumlah redaksi al-Qur’an yang ditelusuri ternyata berupa rangkaian indikator yang berkaitan dengan segala sesuatu di seputar proses kelangsungan hidup berkeluarga dalam kaitannya dengan keberadaan anak. Namun demikian sejumlah redaksi al-Qur’an tersebut bisa dipakai sebagai piranti untuk mengkaji perhatian al-Qur’an terhadap pendidikan anak. Misalnya:
1.      Mengandung seruan agar orang tua memerintahkan anak untuk selalu berbuat baik seperti terkandung dalam QS. Lukman [31] : 17-18 yang artinya :
Artinya: “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.

2.      Mengajarkan anak berdikari secara mandiri seperti terkandung dalam Q.S. al-Anbiya’ [21] : 78-79 yang artinya :
Artinya: “dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu. Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan Hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. dan kamilah yang melakukannya”.

3.   Menanamkan sikap adil terhadap anak seperti terkandung dalam Q.S. Yusuf [12] : 18 yang artinya:
Artinya: “mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya'qub berkata: "Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; Maka kesabaran yang baik Itulah (kesabaranku). dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan"

4.      Mengajari anak beribadah seperti terkandung dalam :
a.    Q.S. al-Baqarah [2] : 132-133 yang artinya :
Artinya: dan Ibrahim telah Mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya".
b.    Q.S. Lukman [31] : 17 yang artinya :
Artinya: “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
c.    Q.S. at-Tahrim [66]: 6 yang artinya :
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang, dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala”

Al-Qur’an menjadi dasar pengajaran serta fondasi bagi semua disiplin ilmu yang diperoleh kemudian. Sebab hal-hal yang diajarkan kepada seorang anak akan mengakar lebih mendalam dan apapun juga. Dalam pelaksanaannya mengajarkan sesuatu kepada seorang anak harus dengan lembut dan santun, bukan dengan kekerasan. Karena hal itu dapat berdampak negatif dan merusak akhlak anak.
Melihat kenyataan yang ada, maka pendidikan terhadap anak mutlak menjadi tanggung bersama untuk menyiapkan generasi yang lebih baik.
Konsep tersebut tidaklah mudah untuk dikerjakan jika sendirian, karena betapapun usaha telah dilakukan faktor utama yang ada pada keluarga masih mendominasi, yaitu faktor emosional. Emosional ini dipengaruhi suasana keluarga. Banyak persoalan-persoalan pribadi yang terjadi karena faktor emosi. Saling mengabaikan meremehkan antara keduanya juga membawa dampak kurang perhatian yang selanjutnya akan menyengsarakan anak-anaknya.
            Oleh karena itu kondisi kehidupan keluarga sangat berpengaruh terhadap kualitas perkembangan anak, sehingga keharmonisan dalam keluarga sangat essensial bagi perkembangan anak didik. Hubungan mesra, gembira dan terbuka antara ayah dan ibu merupakan kondisi yang positif bagi perkembangan sosialitas anak. Hal ini dapat memperlancar pergaulan sosial di masyarakat luas dan mencegah timbulnya kecenderungan anti masyarakat maupun mengucilkan diri dari masyarakat.