Home AD

Tuesday, May 05, 2015

PRINSIP KEADILAN EKONOMI

Menurut Louis Kelso dan Mortimer Adler, dalam konsep keadilan ekonomi, terdapat tiga prinsip esensial yang bersifat interdependen, yaitu partisipasi, distribusi, dan harmoni. Ketiganya menopang bangunan keadilan ekonomi dalam masyarakat. Jika satu di antaranya hilang, niscaya bangunan keadilan menjadi runtuh.
Dalam prinsip partisipasi terkandung pengertian bagaimana setiap orang bebas berpartisipasi untuk memberikan masukan (input) ke dalam proses ekonomi untuk membangun kehidupan bersama. Harus ada kesempatan yang sama bagi semua orang (equal opportunity), baik untuk memperoleh hak milik pribadi ataupun terlibat dalam pekerjaan produktif. Prinsip partisipasi  ini  tentu  belum  atau  tidak  menjamin  hasil  yang  sama  (equal  results).  Prinsip partisipasi hanya membuka akses bagi semua untuk ikut serta dalam  proses produksi, baik dengan dirinya sebagai pekerja (as a worker) ataupun dengan kekayaannya sebagai pemilik (as an owner). Karena itu, keadilan ekonomi menolak monopoli, hak-hak khusus dan rintangan- rintangan yang bersifat eksklusif lainnya.
Sedangkan prinsip distribusi berurusan dengan soal hasil, soal keluaran (output) yang diperoleh  dari  sistem  ekonomi  bagi  setiap  orang  (worker)  dan  bagi  setiap  capital  (owner). Melalui pola distribusi kekayaan pribadi dalam pasar yang bebas dan terbuka, keadilan distributif (distributive justice) secara otomatis terkait dan harus terkait secara berimbang dengan keadilan partisipatif  (participative  justice),  dan  pendapatan  menjadi  terkait  dengan  peranserta  dalam proses produksi (productive contributions).
Dalam praktik, seringkali timbul konflik pengertian antara prinsip keadilan distributif ini dengan konsep charity atau welas asih‟. Konsep charity menyangkut ide bagi semua sesuai kebutuhannya (to each according to his needs), sedangkan dalam prinsip distributive justice, ideanya   adalah   bagi   semua  sesuai   dengan   kontribusinya   (to   each   according   to   his contribution). Kesalahpahaman mengenai kedua pengertian ini sering menimbulkan dua cara pandangan ekstrim pada masing-masing posisi, sehingga menimbulkan perdebatan dan bahkan konflik yang tidak berkesudahan. Yang satu terlalu menekankan doktrin kesucian hak milik dan kesucian kontrak (the sanctity of property and the sanctity of contract), sedangkan yang lain menekankan pentingnya intervensi pemerintahan Negara untuk mempertahankan atau memaksakan tegaknya tata social yang berkeadilan. Menurut Kelso dan Adler, konsep distribusi yang sebenarnya harus dipisahkan dan tidak boleh dikacaukan dengan pengertian charity yang demikian itu. Distribusi bukan sedekah atau karitas.
Dalam keadilan distributif, yang diutamakan adalah bekerjanya sistem pasar bebas dan terbuka (feee and open marketplace), bukan pemerintah. Pasar bebas dan terbuka itulah yang dianggap merupakan sarana paling objektif dan demokratis dalam menentukan harga (price), upah (wage), dan keuntungan (profit) yang adil. Namun demikian, tanpa peran negara sebagai pengendali,  distorsi  dalam  sistem  pasar  yang  bebas  akan  menciptakan  ketidakadilan  dalam dirinya sendiri. Seperti dikemukakan oleh Joseph Stieglitz, selalu ada asymetrical informationdalam mekanisme kerja pasar bebas yang menyebabkan kebebasan itu sendiri menjadi tidak adil dalam dirinya sendiri. Karena itu, peran intervensionis negara tetap harus terbuka kapan saja dan untuk hal apa saja intervensi itu diperlukan. Intervensi Negara itu bahkan bukan hanya boleh tetapi wajib dilakukan memastikan keadilan yang sebenarnya dapat diwujudkan.
Karena  itu,  pandangan  Kelso  dan  Adler  tersebut  di  atas  dapat  dianggap  terlalu liberal untuk mengabaikan kebutuhan akan doktrin charity sebagai kenyataan dengan hanya  mengakui  peran  pasar  dalam  mekanisme  „partisipasi dan  distribusi  untuk  keadilan ekonomi. Dalam praktik, diperlukannya charity di samping „distribusimerupakan kenyataan alamiah dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan, prinsip partisipasi dan distribusi itu sendiri dalam praktik tidak pernah bersesuaian secara penuh, sehingga selalu saja timbul konflik sebagai akibat ketidakseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat. Itu sebabnya, dibutuhkan prinsip yang ketiga, yaitu harmoni, seperti yang dibayangkan oleh Kelso dan Adler sendiri. Justru dalam rangka harmoni itulah diperlukan peran negara dan peran pasar secara seimbang. Dalam rangka sistem distribusi yang berkeadilan, harus ada peran pasar dan negara sekaligus. Bahkan seharusnya sistem distribusi terkait erat dengan tiga ranah kekuasaan negara (state), kekuatan masyarakat (civil society), dan kekuatan pasar (market) sekaligus. Bagaimana pun, dalam mekanisme hubungan sinergis di antara ketiga cabang kekuasaan negara, pasar, dan masyarakat selalu diperlukan peran pengendali utama, yang berfungsi sebagai dirigent‟.  Peran demikian tidak lain harus dan hanya dapat dimainkan oleh negara yang mendapat mandat dari seluruh rakyat untuk memegang dan menyelenggarakan kekuasaan umum.
Prinsip harmoni merupakan prinsip pengimbang yang sangat diperlukan untuk mengatasi distorsi baik dalam input maupun output ekonomi dan melakukan koreksi yang diperlukan untuk memulihkan tata ekonomi yang adil dan seimbang bagi semua orang (justice for all). Prinsip keseimbangan ini akan menjadi rusak jika diganggu oleh adanya pelbagai kendala yang tidak adil yang membatasi partisipasi dengan monopoli atau dengan menggunakan kekayaan untuk merugikan  atau  mengeksploitasi  hak-hak  orang  lain.  Keseimbangan  ekonomi  itu  tidak  lain, seperti dirumuskan oleh Oxford Dictionary merupakan Laws of social adjustment under which the self-interest of one man or group of men, if given free play, will produce results offering the maximum advantage to other men and the community as a whole. Prinsip ini memberikan panduan untuk pengendalian monopoli, penerapan sistem checks and balances di antara institusi- institusi social, dan sinkronisasi kembali antara distribusi (out-take) dengan partisipasi (in-take).

Dua  prinsip  pertama,  yaitu  partisipasi  dan  distribusi,  mengalir  dari  impian  abadi  umat  manusia  akan keadilan pada umumnya yang dengan sendirinya membutuhkan keseimbangan antara input dan out-take, yaitu  bagi  masing-masing  sesuai  dengan  apa  yang  seharusnya (to  each  according  to  he  is  due). Sebaliknya, prinsip harmoni mencerminkan impian manusia akan nilai-nilai absolute lainnya, termasuk kebenaran (Truth), cinta (Love), dan keindahan (Beauty). Prinsip ketiga ini tidak lain merupakan prinsip yang mengontrol dan membatasi kecenderungan manusia untuk tamak, memonopoli, dan menghegemoni penguasaan yang mengabaikan dan mengeksploitasi orang lain. Tentu, harmoni itu sendiri tidak sekedar membatasi, tetapi lebih dari itu ia mengutamakan kedamaian hidup. Karena itu, masyarakat yang menginginkan kedamaian, haruslah terlebih dulu bekerja untuk keadilan, dan hanya dengan orientasi dama itulah keadilan dapat diwujudkan. Keadilan juga dekat sifat-sifat ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Hanya dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, keadilan dapat ditegakkan, dan dalam keseimbangan antara ketaqwaan dan keadilan itulah keadaban manusia dapat tumbuh dan berkembang. Karena itu, antara ketaqwaan, keadilan, dan peradaban bangsa mempunyai hubungan saling menopang satu sama lain. Karena itu, dalam Pancasila, sila pertama dan kedua bergandengan erat, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketuhanan, Keadilan, dan Keadaban sebagai satu kesatuan sinergis. Sementara itu, keadilan, juga berkaitan erat dengan kebebasan dan kesejahteraan. Tanpa keadilan, kebebasan akan memakan dirinya sendiri. Tanpa kesejahteraan, demokrasi pun menjadi tidak berguna. Kesejahteraan tanpa keadilan hanya akan dinikmasti oleh segelintir orang saja. Kesemuanya itu haruslah berjalan dalam harmoni atau keseimbangan yang dinamis. Disitulah terletak kedamaian hidup bersama yang menjamin kebahagiaan bersama. (Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie)