Al-Qur’an
adalah sebagai sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan yang berguna untuk
pedoman bagi manusia terutama bagi keluarga dalam rangka melakukan proses
pendidikan anak dalam keluarga. Proses ini
memiliki estafet yang berkesinambungan dari generasi ke generasi
berikutnya, dengan harapan generasi yang akan datang akan lebih baik dari pada
generasi sekarang.
Bila dirunut secara detail, al-Qur’an
tidak mengungkap secara langsung bentuk pendidikan terhadap anak. Maksudnya,
ayat-ayat al-Qur’an tidak menggambarkan secara terperinci bagaimana sistem,
pola dan mekanisme pendidikan yang efektif diterapkan untuk anak. Sejumlah
redaksi al-Qur’an yang ditelusuri ternyata berupa rangkaian indikator yang
berkaitan dengan segala sesuatu di seputar proses kelangsungan hidup
berkeluarga dalam kaitannya dengan keberadaan anak. Namun demikian sejumlah redaksi al-Qur’an tersebut bisa dipakai sebagai piranti
untuk mengkaji perhatian al-Qur’an terhadap pendidikan anak. Misalnya:
1.
Mengandung
seruan agar orang tua memerintahkan anak untuk selalu berbuat baik:
Artinya: “Hai
anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan
cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan
(oleh Allah). Dan janganlah
kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu
berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS.
Lukman [31] : 17-18).
2.
Mengajarkan anak berdikari secara mandiri:
Artinya: “dan (ingatlah kisah)
Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman,
karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. dan adalah
Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu. Maka Kami telah memberikan
pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada
masing-masing mereka telah Kami berikan Hikmah dan ilmu dan telah Kami
tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. dan
kamilah yang melakukannya” (Q.S. al-Anbiya’ [21] : 78-79).
3.
Menanamkan sikap adil terhadap anak:
Artinya: “mereka
datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya'qub
berkata: "Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang
buruk) itu; Maka kesabaran yang baik Itulah (kesabaranku). dan Allah sajalah
yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan" (Q.S. Yusuf [12] : 18).
4.
Mengajari anak beribadah:
Artinya: dan
Ibrahim telah Mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub.
(Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih
agama ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama
Islam".Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut,
ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah
sepeninggalku?" mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan
Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa
dan Kami hanya
tunduk patuh kepada-Nya". (Q.S.
al-Baqarah [2] : 132-133).
Artinya:
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik
dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa
yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang
diwajibkan (oleh Allah). (Q.S.
Lukman [31] : 17).
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang,
dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan, dan Kami
sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala” (Q.S. at-Tahrim [66]:
6).
Al-Qur’an
menjadi dasar pengajaran serta fondasi bagi semua disiplin ilmu yang diperoleh
kemudian. Sebab hal-hal yang diajarkan kepada seorang anak akan mengakar lebih
mendalam dan apapun juga. Dalam pelaksanaannya mengajarkan
sesuatu kepada seorang anak harus dengan lembut dan santun, bukan dengan
kekerasan. Karena hal itu dapat berdampak negatif dan merusak akhlak anak.
Melihat
kenyataan yang ada, maka pendidikan terhadap anak mutlak menjadi tanggung
bersama untuk menyiapkan generasi yang lebih baik.
Konsep tersebut
tidaklah mudah untuk dikerjakan jika sendirian, karena betapapun usaha telah
dilakukan faktor utama yang ada pada keluarga masih mendominasi, yaitu faktor
emosional. Emosional ini dipengaruhi suasana keluarga. Banyak persoalan-persoalan pribadi yang terjadi karena
faktor emosi. Saling mengabaikan meremehkan antara keduanya juga membawa dampak
kurang perhatian yang selanjutnya akan menyengsarakan anak-anaknya.
Oleh karena itu kondisi kehidupan
keluarga sangat berpengaruh terhadap kualitas perkembangan anak, sehingga keharmonisan dalam keluarga sangat essensial bagi perkembangan anak didik. Hubungan
mesra, gembira dan terbuka antara ayah dan ibu merupakan kondisi yang positif
bagi perkembangan sosialitas anak. Hal ini dapat memperlancar pergaulan sosial di masyarakat luas dan
mencegah timbulnya kecenderungan anti masyarakat maupun mengucilkan diri dari masyarakat.
No comments:
Post a Comment