Di Jawa, praktik enclosure
dan penciptaan proletariat
sebetulnya sudah dimulai sejak Tanam Paksa
1830-1870 yang diterapkan dengan sungguh-sungguh “untuk mengeksploitasi jajahan
secara “rasional”
dan tanpa perasaan”
(Levang,
2003:
9). Sejak 1830, Jawa dikelola sebagai wilayah
perluasan produksi gula dan tanaman
ekspor. Secara resmi golongan elite pedesaan Jawa yang menguasai tanah-tanah
garapan diwajibkan menanam
seperlima lahan garapannya dengan tebu sebagai
ganti pajak
tanah. Dalam prakteknya
luasan itu
bisa setengah atau lebih dari luas
lahan garapan. Selain itu, mereka juga wajib mengerahkan sejumlah tertentu
pekerja sebagai buruh upahan bagi perkebunan.
Di bawah
eksploitasi Sistem Tanam Paksa, desa-desa Jawa
tidak
hanya menjadi penyedia lahan perkebunan
yang kebutuhannya
meningkat
seiring dengan
akumulasi kapital, tetapi juga sumber
“cadangan tenaga kerja untuk operasi gula”
(Wolf, 1990: 334) yang melimpah
murah.
Perluasan perkebunan sepanjang Tanam Paksa, terutama yang
dikelola langsung
sektor swasta,
terus berlangsung dengan dukungan undang-undang persewaan
yang diterbitkan
masing-masing
pada 1839 dan 1857.
Perundang- undangan tersebut
turut memperkenalkan
untuk pertama kalinya
pranata-pranata
kapitalis seperti sewa tanah, upah, dan
panjer ke dalam kehidupan ekonomi petani
Jawa (Suhartono, 1995: 68).
Meski proletarisasi tenaga kerja dan komodifikasi
lahan sudah mulai muncul sejak Tanam Paksa,
tetapi penegasannya
sendiri baru terjadi setelah
golongan borjuasi
liberal di negeri Belanda
menguasai Staaten
General
(parlemen) pada
1870. Pada tahun itu parlemen
menerbitkan Undang-undang
Pertanahan (Agrarische
Wet) untuk
negeri jajahan. Rumusannya didasarkan kepada gagasan- gagasan
kelas borjuasi Eropa
tentang kepemilikan pribadi.
Agrarische Wet berfungsi seperti Bill of Inclosure of Commons di
Inggris, yakni sebagai
pendukung legal komodifikasi tanah dan tenaga
kerja. Berdasarkan
undang-undang tersebut, pemerintah kolonial
menerbitkan sertifikat-sertifikat hak milik untuk lahan-lahan garapan
penduduk. Tanah-tanah yang tidak
digarap secara langsung, termasuk tanah adat yang tidak bisa dibuktikan secara
tertulis kepemilikannya, terutama tanah-tanah dari kelompok adat atau bangsawan yang tidak mau bekerja sama
dengan
pemerintah
kolonial, menjadi milik
“negara”.
Tanah-tanah yang kemudian menjadi milik penduduk bisa disewa. Begitu pula tanah yang
tergolong tanah negara. Hanya
jangka waktunya saja
yang
ber beda. Tanah
milik penduduk bisa disewa per tahun, sedangkan
tanah
negara bisa disewa melalui hak
guna usaha selama 75 tahun.
Peraturan-peraturan yang diturunkan dari Agrarische wet,
turut
membantu percepatan
terlaksananya program enclosure
di negeri jajahan. Ordonansi Pembukaan Hutan tahun 1874, misalnya, telah “membatasi otonomi desa dengan mengalihkan wewenang membuka
hutan di tanah terlantar
dari kepala
desa ke pejabat pemerintah” (Furnivall,
2009: 193). Di bawah
pengawasan ordonansi
ini, penduduk tidak bisa lagi membuka
lahan-lahan garapan sembarangan. Tanah-tanah “terlantar” haram digarap
oleh mereka yang membutuhkannya. Peraturan
ini menjadi salah satu tonggak penting penciptaan
proletariat. Bagaimanapun, tanpa lahan,
kaum tani tidak bisa lagi menjadi petani.
Orang-orang yang terusir dari
lahan garapan jumlahnya pasti amat
banyak
saat
itu
karena
“para pejabat desa memperoleh kebebasan besar dalam pembagian tanah,
dapat semaunya sendiri menolak
atau menyetujui permohonan dan
sudah
tentu dapat pula memilih sawah-sawah
yang baik bagi
dirinya” (Breman,
1986: 25). Lahan-lahan terbaik sudah diambil kepala
desa, keluarga, dan elite-elite di
sekitar mereka.
Ketimpangan penguasaan
lahan warisan masa
feodal sebelumnya memungkinkan
penguasaan lahan dan perluasannya hanya bagi segelintir elite
pribumi. Penduduk tanpa perlindungan sosiolegal yang mencakup petani miskin dan buruh tani, dapat dengan
mudah diubah menjadi pekerja
upahan. Sebagian dari mereka
kemudian
menjadi
buruh perkebunan
tebu dan pabrik gula (Boomgaard, 1989: 122-4) atau keluar desa mencari
penghidupan
sebagai pekerja upahan
di perkotaan (Ingleson, 2004: 7-8).
Penghentian pembukaan lahan garapan
atas nama “kepentingan
negara‟ di tengah-tengah struktur sosial pedesaan Jawa yang timpang
memungkinkan
pemerintah kolonial
memenuhi
kebutuhan
kaum kapi-
talis akan koelie berupah
murah.
Buruh-buruh
murah bisa memasok
tenaga kerja untuk perkebunan dan
pertambangan
di Jawa, Sumatra, dan juga
untuk koloni-koloni Belanda
di Srilanka, Afrika Selatan,
atau Suriname (Wertheim,
1956:
81). Kaum tani tanpa tanah dari Jawa juga berguna
memacu produksi beras dengan mendorong mereka
mengikuti program
kolonisatie ke Sumatra. Sementara
itu, golongan penduduk yang lebih
aman secara sosiolegal seperti para kepala
desa (bekel), petani
pemilik tanah (sikep), bangsawan setempat,
kaum pengusaha
Tionghoa, serta
seksi pribumi
dari birokrasi
pemerintah
kolonial bisa menda- patkan banyak keuntungan dari komodifikasi tanah ini.
Dengan semangat liberal di
jantungnya, Agrarische Wet membuat tanah terbuka
bagi kaum pemodal
mendulang laba di negeri jajahan.
Bila sebelum 1870 usaha
perkebunan merupakan staatbedrijf
atau perusahaan
negara,
setelah
1870, usaha perkebunan
menjadi
usaha swasta. Didukung
oleh perkembangan
bank-bank komersial di Belanda
sejak 1850, berbondong-bondonglah
kaum kapitalis berinvestasi dalam pembangunan
rel dan jalur kereta api, pertambangan, perbankan, dan
perkebunan (Kartodirdjo, 1999: 19).
Kapitalis-kapitalis yang bermodal besar bisa menyewa
“tanah negara‟ dalam jangka waktu 75 tahun dengan
mendatangkan buruh-buruh dari sekitar dan tempat
lain. Kapitalis yang kekurangan
modal bisa dengan mudah membuka perusahaan saham gabungan. Ijin pendirian perusahaan
itu
sendiri bisa digunakan sebagai jaminan
untuk memperoleh kredit dari bank- bank komersial Eropa. Dana
pinjaman ini
yang kemudian digunakan untuk menyewa tanah-tanah
di negeri jajahan (Geertz,
1983: 88). Artinya,
hampir hanya dengan modal dengkul saja kaum
kapitalis bisa menghisap
kekayaan tanah dan tenaga kerja negeri jajahan. Bukan kebetulan
apabila
sejak 1850
sampai
1870 terjadi
perkembangan
luar biasa dalam
industri perbankan
Belanda. Perkembangan ini menunjukkan telah terjadi “konsentrasi
dan
sentralisasi modal” di sana (Kartodirdjo, 1999 : 19) hasil perkembang
industri di
negeri induk yang membutuhkan ladang-ladang investasi baru.
Dalam kaitannya dengan perluasan
hubungan persewaan berskala
besar,
kajian sejarah sosialnya Jan Breman di Kere- sidenan Cirebon
sampai
pada kesimpulan
bahwa: “praktek sewa
menyewa
di atas kontrak ini yang hakikatnya
merupakan jasa perikatan
perseorangan ialah
praktek pengubahan
tenaga kerja
menjadi
komoditi
dan
penjualan
tenaga
kerja dengan persyaratan
ketat di dalam
pasar yang teratur mengingatkan kepada armada
tenaga
kerja yang dikirim dari
Cirebon untuk bekerja di Jawa Barat jauh di dalam abad ke-18 yang telah
silam” (Breman, 1986: 30).
Sistem penyewaan tanah yang
didukung Agrarische
Wet 1870 memang merupakan kekuatan
kapitalis
dalam menghancurkan
corak
organisasi
kerja
feodal. Tetapi, seperti ditegaskan oleh Marx
“kekuatan produksi dan
hubungan produksi baru tidaklah berkembang dari ketiadaan,
tidak pula jatuh begitu saja dari langit,
tidak pula dari rahim Idea yang ada dengan sendirinya;
tetapi dari dalam dan sebagai
antitesis terhadap
perkembangan
produksi dan
diwariskan
dari hubungan kepemilikan
tradisional [sebelumnya]”
(Marx,
1973: 278).
Berdasarkan aturan Agrarische Wet, misalnya,
kaum kapitalis memang dilarang mengambil
alih lahan-lahan
penduduk.
Mereka
hanya bisa menyewanya. Aturan ini tampak begitu mulia dan akan menghindarkan penduduk pribumi
dari pengambilalihan
tanah secara
sewenang-wenang.
Tetapi, karena kapitalis diperbolehkan
menyewa
lahan
penduduk di tengah-tengah
struktur penguasaan
tanah pedesaan yang feodalistik, maka
kaum kapitalis
bisa
mendapatkan
dua
sumberdaya penting, tanah dan tenaga kerja sekaligus,
dengan murah karena, seperti ditegaskan sejarawan Sartono Kartodirdjo,
“tanah dan tenaga kerja merupakan satu kesatuan, kedua-duanya
terjalin pada organisasi politik penduduk pribumi,
sehingga
mereka yang menguasai tanah itu dapat menggunakan tenaga penduduk secara
sewenang-
wenang sebanyak yang dikehendakinya” (Kartodirdjo, 1999: 25).
Eksploitasi kapitalis dengan
pranata-pranata barunya itu berdiri di atas pranata-pranata penindasan feodal
yang
diberi nyawa baru.
Kelas-kelas sosial pedesaan Jawa dan hubungan
hirarkis di antara mereka dimanfaatkan
untuk mempermurah
ongkos investasi kapital.
Misalnya, kerja sama kapitalis
dengan para elite setempat, terutama
lapisan bangsawan lokal dan
kepala desanya, membangkitkan kembali pranata kerja rodi untuk membangun jalan-jalan, saluran irigasi, jembatan, dan infrastruktur
produksi. Proyek
pengerahan
tenaga
kerja paksa yang diwarisi kapitalis modern
dari jaman feodal
dan
Tanam Paksa
1830, ternyata
tidak dihapuskan meski kaum liberal di parlemen
mengklaim bahwa mereka
hendak menghapuskan
praktik-praktik
feodal dalam pembangunan perekonomian kapitalis yang liberal. Mengapa demikian?
Karena “kerja rodi demikian
diperlukan baik untuk memperbesar surplus dengan perluasan
infrastruktur pemukiman
dan pengolahan
tanah serta pembangunan
jaringan lalu-lintas
dan
irigasi dan untuk membiayai
anggaran aparatur pemerintah yang diperlukan untuk meneruskan dan menggalakkan eksploitasi kolonial”
(Breman, 1986: 7).
Di bawah sistem
eksploitasi kapitalis pasca Agrarische Wet 1870, bangsawan
setempat beserta
barisan kepala desanya menjadi
penanggung jawab pasokan tenaga kerja dalam jumlah banyak dengan
upah rendah. Mereka menjadi ujung tombak eksploitasi kolonial. Dengan
pengaruh
mereka juga, harga sewa tanah yang semula ditentukan
oleh pemerintah berangsur-angsur
di- tentukan oleh pengusaha
perke- bunan dengan
harga, tentu saja,
yang
lebih rendah
(Suhartono,
1991: 52-61). Sosiolog
dan sejarawan
Jan Breman, misalnya,
menemukan bahwa di Keresidenan Cirebon (meliputi Cirebon,
Majalengka, Kuningan, Indramayu
sekarang), kepala desa setiap tahunnya menyisihkan
sewilayah lahan sawah terbaik terlebih
dahulu untuk perkebunan tebu sebelum
membagi dan
menyerahkan kembali tanah yang disewa
perkebunan ke penduduk desa
(Breman,
1986: 80). Mereka adalah pengabdi setia para “penghisap asing‟.
Perannya tidak banyak berbeda
dengan pemerintahan negara-negara Dunia Ketiga saat
ini
terhadap
kekuatan kapitalis internasional.
Untuk menghindari
perpindahan pekerja
dari
wilayah-wilayah yang pasokan tenaga kerjanya pas-pasan, pemerintah mengeluarkan aturan yang mempersulit
perpindahan. Salah satu aturan itu ialah mereka
yang
hendak pindah harus
punya saudara dengan penduduk di desa yang dituju. Tujuan aturan ini jelas. Selain
untuk menyedikitkan kemungkinan perpindahan,
dengan
mengikatkan
mereka kepada
penduduk
desa yang dituju, mereka tidak
bisa
lepas dari jerat kerja paksa
dan
kerja upahan bagi
kejayaan kaum kapitalis perkebunan.
Mereka yang berhasil
terlepas
dari eksploitasi
melalui kekuasaan kepala
desa tetap tidak bisa lenggang begitu saja hidupnya.
Dengan bekal Staatsblad 1838 No.
45,
pemerintah kolonial bisa
menangkapi
orang-orang tanpa lahan yang
tidak memenuhi wajib kerja serta kaum gelandangan yang
terusir dari pedesaan.
Mereka
dikriminalisasi secara
legal
dan apabila tertangkap boleh dieksploitasi
tanpa bayaran. Mereka dimasukkan ke dalam barak-barak kerja paksa yang
diabdikan
kerjanya
kepada pemerintah
kolonial
dan kaum kapitalis
(Breman,
1986: 32). Seperti halnya
Poor Law Amandement
di
awal industrialisasi Inggris,
Staatsblad
1838 No. 45 menjadi semacam mesin legal di “babak awal bagi
timbulnya pasar tenaga
kerja yang
lebih luwes dan merdeka” (Breman,
1986: 33). Aturan ini memaksa orang-orang tanpa lahan memilih
menjadi buruh upahan dengan upah
murah atau menjadi budak.
Apabila pasokan tenaga kerja
tetap kurang, para pedagang budak
sudah
siap sedia dengan
rombongan
budak atau buruh-buruh
setengah budak yang dipasok dari
daerah
pedalaman Nusantara. Marx menggambarkan:
“Tidak ada yang lebih jelas daripada
sistem
penculikan orang di Celebes dalam
rangka mendapatkan
budak-budak
untuk Jawa. Penculik dilatih untuk
tujuan ini. Penculik, juru bahasa dan
penjual adalah agen-agen utama bisnis ini, para pangeran
pribumi merupakan pedagang utamanya. Orang-orang
muda yang berhasil diculik disembunyikan di penjara-penjara
bawah
tanah
rahasia
di Celebes sampai mereka siap diangkut kapal-kapal budak.
Sebuah laporan resmi mengatakan : “Ini satu kota Macassar,
misalnya, penuh dengan penjara-penjara rahasia, satu lebih mengerikan dari yang lainnya, penuh-padat
dengan kesialan, korban-korban keserakahan dan kekejaman terikat
belenggu,
direnggut paksa dari
keluarga-keluarga mereka‟ (Marx, 1990: 916).
Bedol desa atau penangkapan orang-orang,
lalu memindahkan mereka ke perkebunan
atau pertambangan-pertambangan yang memerlukan pasokan tenaga kerja bisa juga terjadi apabila
para
bangsawan setempat memilih untuk
tidak turut serta dalam permainan, melakukan perlawanan, lalu kalah. Tenaga kerja buruh-buruh setengah budak ini menjadi
semacam
pampasan
perang yang bisa dijual kepada siapapun kapitalis yang memerlukan pasokan buruh murah.
Tentang salah satu wilayah yang kaum bangsawannya
dikenal pembangkang, Marx menulis: “Banjuwangi, sebuah propinsi Jawa, terhitung berpenduduk
80.000 jiwa pada 1750 dan hanya 18.000 pada
1811.
Itulah
[hasil]
usaha yang penuh damai” (Marx, 1990: 916).
Penerbitan Agrarische Wet 1870, selain penting
untuk
membatasi akses kaum tani atas lahan-lahan
yang belum digarap,
juga vital untuk mendapatkan
pendapatan
tahunan dari pajak. Tidak seperti
kebijakan semasa
Tanam Paksa yang kolot,
kaum
borjuis liberal di parlemen Belanda
paham betul bahwa
eksploitasi modern harus menyertakan
juga
perpajakan modern. Tanah-tanah dipajaki.
Mereka
yang tercatat sebagai
pemilik lahan diwajibkan
membayar
sejumlah tertentu uang kepada pemerintah.
Pemerintah kolonial dan raja-raja lokal bawahan mereka menggunakan dana pajak untuk membiayai birokrasi dan,
terutama, untuk membayar hutang
mereka kepada kaum kapitalis
keuangan. Di dalam skema perpajakan
modern, mengalirlah uang dari kapitalis ke pemerintah
kolonial dalam rupa hutang publik
dan
penyewaan
tanah negara, lalu ke rakyat pekerja lewat sewa
tanah
dan upah. Dari sana uang itu kembali ke kapitalis dalam bentuk
pengembalian pinjaman bunga dan
laba.
Dalam pandangan Marx, sistem perpajakan modern merupakan satu dari segi empat eksploitasi
kapitalis di wilayah
koloni
selain
lahan koloni, hutang nasional dan sistem proteksi. Sistem perpajakan modern “memanfaatkan kekuasaan negara, kekuatan
masyarakat
yang
terpusat dan terorganisasi,
untuk
mempercepat,
seperti halnya di dalam kandang
eraman, proses peralihan
corak produksi feodal
menjadi
corak kapitalis, dan
memendekkan peralihannya. Pemaksaan adalah istri setiap masyarakat tua yang sedang mengandung yang baru. Ia sendiri sebuah kekuatan ekonomi”, simpul Marx (1990: 915-916).
Di tingkat kehidupan
sehari-hari, perpajakan
modern membawa
kehidupan penduduk Jawa ke
dalam ekonomi uang. Sementara itu, dalam kesimpulan Jan Breman,
“ekonomi uang yang sedang bertumbuh membantu pemerintah
kolonial dalam merapatkan
genggamannya pada golongan tani tak
bertanah
dan
untuk memaksanya agar menyerah kepada kebutuhan
ekonomi pasar” (Breman, 1986: 40).
Dalam konteks perluasan
pasar untuk barang-barang industri Eropa, pemaksaan perekonomian uang modern
lewat
sistem upah, sewa, dan sistem pajak
modern seiring dengan penghancuran corak
produksi rumahtangga tradisional
merupakan jalan pembukaan pasar- pasar baru. Bagaimanapun
juga
realisasi nilai-lebih
dari produk-
produk industri yang dihasilkan pabrik-pabrik
kapitalis seperti tekstil dan pakaian
hanya dimungkinkan
oleh perluasan
ketergantungan penduduk suatu wilayah
kepada
pasar kapitalis. Barang-barang industri tekstil Belanda dari Twente,
misalnya, “menggantikan industri
tenun rumahan
pribumi dan mendesak kaum tani
Jawa lebih
jauh menuju perekonomian
uang”
(Wertheim, 1956: 80). (Dede Mulyanto)
No comments:
Post a Comment