Home AD

Wednesday, March 21, 2012

PERUBAHAN PARADIGMA PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN SDA SERTA KEIRIGASIAN


1.           Latar Belakang
            Secara umum, diseluruh jajaran birokrasi pemerintahan, kata paradigma atau umumnya orang mengatakan dengan paradigma baru pembangunan sudah sangat familier dilingkungan itu, bahkan kata seperti ini sudah menjadi kosa kata baru dalam pembicaraan sehari hari sejak periode Reformasi Indonesia mulai thaun 1998. Lingkungan birokrasi sangatlah cepat mengadopsi berbagai istilah yang menjadi kata  kunci dalam paradigma baru pembangunan seperti pemberdayaan, partisipasi, transparansi, keseimbangan gender, demokrasi, akontabilitas public dan masih banyak istilah lain. Kata pemberdayaan misalnya, kata ini tidak hanya digunakan sebatas pada pembicaraan sehari hari melainkan juga telah menjadi label sebuah bagian dalam departemen, nama dinas di pemerintahan daerah, semua label yang dulu diberi judul pembangunan kini diganti dengan pemberdayaan. Pertanyaan tentangnya adalah apakah pikiran ini sudah terinternalisasi dalam perilaku umumnya para birokrat atau hal ini adalah sebuah strategi untuk mengelabuhi masyarakat atau strategi untuk penganggaran kegiatan yang diharuskan mengunakan istilah istilah baru? Selanjutnya, apakah pengunaan kata kata tersebut sudah menunjukkan perilaku reformis yang dikehendaki oleh perubahan yang dimaksudkan dengan reformasi? Persoalan ini tidak mudah dijawab sebab sebuah perubahan pikiran hanya akan kelihatan kalau perilaku manusiannya telah berubah.
            Perubahan seperti ini juga diikuti oleh Departemen Kimpraswil sebagai departemen yang memiliki kopetensi besar dalam pembangunan keirigasian di Indonesia yang lebih banyak menyangkut aspek fisik dan ada departemen lain seperti Depdagri dan Deptan yang berhubungan dengan persoalan kelembagaan, dan istitusi pertanian yang menyangkut pertanian lahan basah (sawah). Persoalan mendasar yang telah banyak disinggung adalah penataan kembali pembagian kerja antar departemen (koordinasi antar departemen), bertahun tahun hal ini dibicarakan bahkan direkomdasikan dalam berbagai seminar dan lokakarya, akan tetapi perubahan perilaku untuk ini masih juh dari apa yang diharapkan. Sudah tentu, perubahan paradigma baru memerlukan legitimasi politik sebab kebijakan pembangunan itu lebih banyak ditentukan oleh keputusan politik dari pada perubahan pikiran yang bersifat akademis. Perubahan paradigma baru juga membutiuhkan perubahan iklim politik yang berlangsung di Indonesia. Selama iklim politik yang berlangsung pada masa lalu dan sekarang tidak jauh berbeda maka perubahan perilaku dalam jajaran birokrasi juga tidak banyak mengalami perubahan. Oleh sebab itu perubahan paradigma buru juga membuhtuhkan komitmen politik para penguasa yang dibela secara tegas oleh peraturan peraturan hukum baru yang memeiliki kekuatan hukum. Kekuatan ini tidak akan larut oleh kepentingan penguasa, artinya siapa pun yang melakukan pelanggaran akan terkena saksi hukum. Bardasarkan uraian tersebut di atas, sampai seberapa besar perubahan paradigma baru dalam pengelolaan keirigasian itu telah berlangsung?  Hal ini bisa ditelusuri perjalanan sejarahnya mulai kurang lebih dua tahun sebelum Reformasi berlangsung pada tahun 1998.

2.           Paradigma Baru dan Budaya Politik
            Sungguh pun kata paradigma sudah sangat popular ditelinga masyarakat  Indonesia pada umumnya, akan tetapi pemahaman tentangnya masih sangatlah diragukan. Pertanyaannya adalah apa sesungguhnya paradigma itu ? George Ritzer, seorang sosiolog Amerika ini mendefinisikannya sebagai A fundamental image of subject matter. Kata kunci dalam definisi tersebut adalah kata image. Kata ini lebih menunjukkan pada bagaimana cara pandang, kesan, cara memahami seseorang tentang sebuah persoalan, fakta dan apa pun yang dilihatnya. Di balik cara pandang, kesan dan memahami, ada sebuah dasar pertimbangan yang digunakan oleh seseorang. Apakah dasarnya adalah sebuah tata nilai atau dasarnya adalah sebuah kebiasaan yang berkembang pada lingkungan tertentu. Sungguhpun orang sering mewacanakan sebuah nilai,  apakah nilai yang diwacanakan adalah cerminan dari realitas? Misalnya, pandangan seseorang atau sekelompok orang tetang pengelolaan irigasi. Ada orang yang memiliki cara pandang bahwa tidak mungkin bahwa para petani memiliki kemampuan dalam pengelolaan irigasi sebab mereka itu bodoh tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan teknis tentang keirigasian yang diajarkan di perguruan tinggi sebagaimana pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh seorang engineer. Oleh sebab itu dalam padangan seperti ini, pembangunan tidak mungkin dilakukan oleh orang orang bodoh seperti para petani akan tetapi harus dilakukan oleh para cerdik pandai lulusan universitas. Dasar pertimbangan menentukan kebodohan adalah kebiasaan dengan menengok acuan bahwa orang yang pendidikannya rendah adalah kurang pitar dibandingkan dengan orang yang pendidikannya diperoleh dari perguruan tinggi. Pertimbangan commonsense seperti ini menjadi pandangan budaya yang amat dominan di masyarakat Indonesia.
            Cara pandang seperti ini menempatkan pemikiran secara linier dari dikotomi seperti ada bodoh, ada pandai yang bersifat hierarkhis. Pandai ditempatkan sebagai tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bodoh. Tori modernisasi yang menjadi dasar pembangunan pada masa lalu juga diletakkan pada pemikiran seperti ini. Masyarakat desa dianggap sebagai masyarakat yang kurang maju atau bodoh dibandingkan dengan masyarakat kota yang lebih dipandang maju. Para cerdik pandai yang berpendidikan formal tinggi lulusan universitas adalah lebih pandai atau lebih maju dibanding dengan orang yang pendidikannya setingkat dibawah universitas. Oleh sebab itu masyarakat desa yang pada umumnya pendidikannya rendah dianggap sebagai masyarakat yang tidak mengerti apa apa dan oleh sebab itu bodoh. Karena itu mereka harus dididik agar menjadi pandai. Pembangunan dengan mengedepankan teori ini mentransformasikan secara paksa berbagai pengalaman di negara maju untuk negara negara berkembang. Dalam konteks pembangunan, rehabilitasi dan pengelolaan irigasi berlaku sama dengan teori di atas.
            Konsekwensi pemikiran seperti ini membawa model perencanaan yang sangat sentralistis. Pusat berisi orang orang ahli sedang daerah bahkan desa berisi orang orang yang tidak ahli yang kurang layak kalau mereka melakukan perencanaan untuk perubahan. Pemikiran seperti ini sangat dominan dikalangan birokrat, lebih lagi ketika perencanaan mengundang konsekwensi penyerapan anggaran yang sangat besar maka pusat menjadi tidak hanya pusat perencanaan akan tetapi pusat kendali atau kontrol terhadap daerah. Kontrol terhadap daerah terjadi dalam banyak hal termasuk tentang keuangan yang dihimpun oleh pusat jauh lebih besar dibandingkan dengan daerah. Pertanyaannya, apakah dalam realitas pemikiran seperti ini telah berubah meskipun telah dimunculkan kritik dan pandangan baru tentang bagaimana cara pandang tentang kemanusiaan?
            Cara pandang baru dan pemahaman terhadap kemanusiaan telah lama digulirkan untuk mengkritik pandangan lama yang mengklim pemikiran modernis. Konsep tentang demokrasi, transparansi, public accountability adalah cara pandang baru yang belum terinternalisasi dalam kebudayaan dalam budaya politik. Kalau hal ini telah berkembang bukan dalam bentuk perilaku akan tetapi sebatas wacana yang sering dikumandangkan oleh para pihak termasuk para birokrat. Wacana ini bukan terinternalisasi dalam kebudayaan akan tetapi menjadi komoditi pasar untuk kepentingan keproyekan. Pertanyaannya adalah mengapa cara seperti ini sulit terinternalisasi dalam kebudayaan politik? Salah satu dari sulitnya menginternalisasi pandangan baru ini adalah budaya politik yang telah menjadi sistem. Misalnya model penganggaran pembangunan yang telah bias pusat sangat memberikan keuntungan pada kekuasaan aparatur negara yang di pusat. Konsekwensi perencanaan yang berubah akibat dari pemikiran baru yang menghargai tentang kemanusiaan adalah merubah sumber sumber keuangan yang akan mengalir ke bawah lebih besar dari pada pusat. Hal ini tidak akan memberi banyak keuntungan bagi aparatur negara yang berada di pusat. Kalau sekarang ini ada alokasi anggara yang berubah seperti adanya DAU (Dana Alokasi UMUM) pertanyaannya adalah seberapa besar dana seperti ini disalurkan dari keseluruhan anggaran Belanja Negara? Apa pun alasannya ini adalah bentuk budaya politik yang menunjukkan bias pusat.
            Pandangan baru tentang kemanusiaan tidak lagi menempatkan pandangan yang secara ekstrem hierarkhis. Misalnya, dilihat dari pendidikan formal yang dimiliki, petani memiliki pendidikan formal yang rendah dibandingkan mereka yang bekerja dibidang perencanaan pembangunan pemerintah, akan tetapi dari segi pengalaman bertani dan permasalahan yang dihadapi maka petani jauh lebih mengerti persoalannya dibandingkan dengan orang yang menyusun perencanaan pembangunan di birokrasi pemerintahan. Kata yang sering muncul dalam penyusunan perencanaan seperti perencanaan pembangunan yang  ”memanusiakan manusia” dari kalangan para birokrat kelihatannya masih menjadi sebuah praktek yang realitasnya belum menunjukkan hasil. Praktek dalam perencanaan ini sudah dilakukan, akan tetapi jika lurah desa itu ditanya sampai seberapa besar ide mereka tentang perencanaan dari bawah itu diadopsi dalam perencanaan pembangunan baik pusat maupun daerah, maka jawabannya tidak seindah ide yang diwacanakan. Setiap tahun desa melakukan musyawarah pembangunan yang hasilnya dikoordinasikan di tingkat kabupaten, akan tetapi seberapa besar hal ini didanai oleh kabupaten? Demikian juga seberapa besar bahwa program pembangunan yang sekarang ini berlangsung sesungguhnya menjawab apa yang mereka butuhkan? Jawaban dari perytanyaan ini bisa ditanyakan sendiri kepada lurah desa pada umumnya. Pada hemat penulis prosentasi ide mereka yang terserap untuk didanai dalam rangka perencanaan pembangunan masih sangat sedikit.
            Pendek kata cara pandang tentang bagaimana orang memahami manusia dari dua cara pandang di atas adalah sangat berlainan. Semula pembangunan itu dilakukan dengan cara pandang bahwa manusia itu terbelakang/bodoh lalu dibangun dengan cara memasukkan pemikiran orang yang menganggap dirinya pandai yang lulus dari perguruan tinggi untuk mendidik dan merubah cara berfikir orang yang dianggap terbelakang. Bermula dari pandangan cara berfikir seperti inilah maka manusia lain yang terbelakang menjadi sebuah obyek pembangunan. Ketika cara pandang seperti ini mendapat kritik yang amat keras karena pembangunan dinilai menghasilkan proses dehumanisasi yang tidak sesuai dengan nilai universal yang sedang berkembang seperti kemanusiaan, demokrasi, transparansi partisipasi dan nilai lain, maka ada gerak dari masyarakat untuk melakukan perlawanan guna mendorong proses pembangunan yang berangkat dari cara pandang humanis. Manusia dipandanang bukan sebagai bagian dari cara pandang yang mewakili pikiran dikotomi hiererkhis tradisional-modern, maju terbelakang, bodoh-pandai, akan tetapi dipandang sebagai unit yang berdiri satu sama lain dimana setiap orang atau sekumpulan orang memilki pengalaman dan orang lain harus belajar. Hal ini tidak dibatasi oleh status sosial ekominya, artinya siapa pun harus meletakkan prinsip bahwa kepandaian ada dimana mana,  dimana setiap orang harus saling belajar kepada orang lain. Inilah kedua perbedaan paradigmatis tentang bagaimana manusia, sekumpulan mereka, hubungan antar mereka dipotret dari dua cara pandang yang berbeda.
            Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa perlu ada perubahan paradigma? Pertanyaan ini secara sederhana dapat dijawab dengan kalimat pendek, yakni ” tuntutan jaman”. Mengapa tuntutan itu mencuat yang tidak hanya sekedar kritik akan tetapi juga konflik yang berupa perlawanan, meskipun bentuknya bisa bermacam macam, yakni terbuka dan laten. Tuntutan perubahan seperti uni berlangsung universal sehingga hal ini mengundang implikasi yang tidak sederhana yakni menggeser atau mereformasi sistem yang telah dilestarikan dari cara pandang berfikir lama. Ketika berbenturan dengan sistem penyelenggaraan ketatanegaraan maka tidaklah semuadah membalikkan sebuah tangan. Artinya sistem lama beserta komponennya juga melakukan perlawanan karena terasa terugikan dengan perubahan cara pandang baru. Demikianlah hal ini terjadi dalam perubahan paradigma dalam pengelolaan sumber daya air dan irigasi yang bisa manjadi contoh benturan konflik kepentingan dalam tubuh birokrasi negara dan antara negara dan masyarakat. Setiap perubahan sosial politik dalam negara yang masih mencari bentuk seperti di Indonesia ini selalu diikuti oleh perkembangan konflik kepentingan. Pengelolaan Sumber Daya Air dan Irigasi adalah perubahan sosial politik sebab bagaimana pun UU No 7 Tentang Sumber Daya Air adalah lebih pada produk politik dari pada ketentuan akademis yang menuntun manusia menuju proses pencerahan (enlightment).  
 
3.           Sebuah Evolusi atau Ketidakberdayaan ?
            Evolusi adalah salah satu terminologi untuk menunjukkan metamorphose/ perubahan bentuk dari bentuk semula pada bentuk kemudian yang terjadi dengan sendirinya. Istilah ini sering digunakan dalam penjelasan metamorphose pada flora dan fauna. Penjelasan perubahan bentuk seperti ini sering juga digunakan untuk penjelasan antropologi ragawi yang menjelaskan perubahan bentuk manusia purba hingga situasi bentuk manusia yang sekarang. Teori ini berasal dari penjelasan kaum ilmuwan fisika yang menjelaskan perubahan bentuk alam dimana alam atau bentuk benda mati maupun hidup bergerser berubah bentuk dari satu tahapan ke tahapan yang lain. Contoh ular, mereka tumbuh dengan dewasa melalui proses pelepasan kulit atau penggantian kulit. Dalam penjelasan sosial budaya teori ini tidak pernah memperhitungkan konflik dimana setiap perubahan selalu terjadi perbedaan perbedaan kepentingan dalam hubungan sosial yang terjadi. Persoalannya adalah apakah perbedaan kepentingan atau konflik akan terjadi melalui antagonisme yang menghasilkan violance atau berlangsung mencapai keseimbangan yang memuaskan semua pihak ?Hal itu tergantung pada kebudayaan dimana masyarakat mampu memahami prinsip penghargaan terhadap kemanusiaan atau mereka masih jauh dari pemahaman tentangnya. Dalam bahasa Thomas Hobbe manusia itu adalah serigala bagi manusia yang lain (homo homini lopus).
            Peristiwa sosiologis yang berhubungan dengan perubahan sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan kelihatanya sangat sulit dijelaskan oleh penjelasan yang bersifat evolusioner. Kemerdekaan Indonesia tahun 1945, runtuhnya Presiden Soekarno pada tahun 1966, jatuhnya Presiden Soeharto 1998 adalah peristiwa yang bukan tanpa sebab sebelumnya dan bukan terjadi dengan sendirinya. Reformasi itu lahir dari hubungan konflik sebelumnya antar kepentingan manusia dalam penataan kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan berbagai macam undang undang yang sekarang ini berlangsung adalah dalam konteks konflik kepentingan dari berbagai para pihak yang dinamika konfliknya sangat kompleks. Kompleksitas dinamika konflik ini kadang tidak sederhana akan tetapi memasuki ruang anarkhis yang tidak jelas apakah dorongan menuju sebuah perubahan politik sosial dan budaya harus dengan menghancurkan nilai kemanusiaan. Adalah sangat sulit menganalisis berbagai konflik besar seperti Ambon, Poso dan berbagai bentuk konflik lain seperti peristiwa yang kita anggap sebeagai sebuah evolusi.
             Di era reformasi ini perubahan yang terjadi juga cukup banyak. Dalam bidang hukum seperti jumlah undang undang yang dibuat oleh pemerintah dan DPR jauh melebihi jaman Orba. UU 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan di Daerah telah mengalami perubahan dalam tempo yang sangat singkat menjadi UU No 32 tahun 2004, bahkan konono berubah lagi menjadi UU No 8. Perubahan di budang hukum ini tidak hanya terjadi pada perubahan UU akan tetapi juga perubahan UU Dasar. Adalah sebuah konsekwensi logis kalau peraturan peraturan lain juga ikut berubah dengan perubahan berbagai macam undang undang yang ada di republik ini di era reformasi. Perubahan UU no 11 tahun 1974 menjadi UU no 7 tentang Sumber Daya Air adalah sebuah reaksi dari keadaan sebelumnya.
            Pertanyaan mendasar tentangnya adalah apakah perubahan Undang Undang telah merupakan sebuah perubahan perilaku atau sebatas dinamika politik yang perilakunya adalah tetap pada perilaku masa lalu, ini perlu ditelusuri. Dinamika pertarungan dalam perubahan undang undang menjadi sangat menarik untuk menyimak apakah perubahan ini adalah hasil dari proses evolusi atau sebuah usaha manusia untuk mewujudkan sesuatu masyarakat baru yang penuh dengan dinamika konflik. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah dengan undang undang baru telah memenuhi kehendak masyarakat pada umumnya atau merupakan kehendak para elit politik yang memegang kekuasaan?  Pada hemat penulis perubahan yang sekarang ini sedang berlangsung adalah lebih banyak ditentukan oleh berbagai kepantingan politik termasuk kepentingan partai politik dan bukan lebih banyak untuk menjawab kebutuhan masyarakat bawah.
            Pertarungan ditingkat politik adalah sebuah pertarungan antara orang yang berusaha mempertahankan sistem sebab mereka telah diuntungkan dengan sistem lama yang ditentukan oleh paradigma masa lalu dengan orang orang yang berusaha melakukan reformasi terhadap sistem yang ada yang dilandasi oleh pemikiran paradigma baru. Dalam pertarungan ini sering bahwa reformasi mengalami kesulitan karena kekuatan mereka tidak hadir sepenuhnya sebagai kekuatan politik. Siapa yang reformis sungguh sungguh dan siapa yang sesungguhnya hanya mengunakan wacana reformasi sangat sulit dibedakan. Penulis pernah menyampaikan ini pada tahun 2000 yang dimuat oleh Harian Kompas, yaitu ” Reformasi : melawan atau menjadi permainan Orba?”. Kuatnya sistem lama bak bagaikan tembok yang sulit ditembus sehingga menjadikan reformasi dan segala bentuk perubahan yang ada menjadi sebuah percaturan dan bukan perubahan perilaku para elit politik yang menghargai rakyat dan berjuang untuk kepentingan rakyatnya. Kalau saat ini banyak undang undang baru yang saling tumpang tindih antara satu dengan yang lain maka hal ini menunjukaan tanda bahwa ego sektoral masih kuat, undang undang bukan hadir sebagai pembelaan terhadap kepentingan masyarakat tetapi demi kepentingan proyek sebab harga sebuah undang undang bisa mencapai milyard an rupiah. Ini adalah akibat kokohnya sistem lama yang telah terinternalisasi dalam jaringan yang tidak mudah dirobek. ”Soeharto” merupakan simbolisasi sistem yang tidak mudah dirobek oleh reformasi. Oleh sebab itu keadaan yang sedang berlangsung sekarang bukan sebuah evolusi akan tetapi menunjukkan ketidakberdayaan masyarakat sipil dalam melakukan perubahan ketika berhadapan dengan sistem lama yang sangat kokoh, bahkan nyaris reformasi menjadi permainan sistem lama. Kelihatanya baru,  banyak perubahan undang undang baru akan tetapi  tidak memberikan makna baru bahkan lebih berjalan dalam situasi anarkhis. Kekuasaan mafia yang membela esistensi sistem lama masih sangat kokoh, meskipun supremasi hukum diteriakkan ”pembunuhan terhadap tokoh reformis seperti Munir masih sulit untuk dikuaak di meja hijau.
            Para pemikir agak salah kiranya memperkirakan bahwa setelah periode negara otoritarian maka lahirlah sebuah republik yang demokratis. Hal ini ternyata tidak mudah sebagaimana membalikkan telapak tangan. Orang sering lupa dalam periode perjalannan sejarah ketika monarkhi absolud itu hancur maka periode anarkhi lebih dominan menempati ruang percaturan negara dari pada demokrasi. Pada hemat penulis, sistuasi seperti ini menunjukkan ketidakberdayaan dari pada peristiwa evolusioner. Perjalanan UU no 7 tahun 2004 dan pertarungan perubahan kepentingan munculnya PP 77 tahun 2001 dengan PP 20 tahun 2006. Reformasi pengelolaan SDA dan irigasi tidak bisa dilepaskan dari situasi dinamika kepentingan dan pollitik yang terjadi pada umumnya di Indonesia. Oleh sebab itu paradigma baru, sudahkan ia terinstitusionalisasikan dalam wujud perilaku, masih sekedar wacana atau bahkan telah bergulir menjadi barang dagangan?
 
4.         Perjalanan Singkat Menuju UU No 7 Tahun 2004:
Sebuah Pertarungan Kepentingan
            UU No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan PP 20 tahun 2006 adalah hasil akhir yang telah diputuskan secara politis dari produk peraturan baru dalam era reformasi. Perjalanan ini cukup panjang kurang lebih sekitar lima tahunan pergulatan itu berlangsung sehingga menghasilkan bentuk Undang Undang dan Peraturan Pemerintah. Karena telah menjadi produk hukum maka mau atau tidak siapaun harus patuh untuk melaksanakan sesuai dengan peraturan yang ada meskipun penulis yakin bahwa hal ini masih terjadi kontroversi dengan kepentingan masyarakat. Mengapa demikian? Bukankah perjalanan menuju undang undang itu telah lama dilakukan? Cerita singkat pada bagian ini akan memberikan ilustrasi betapa hebatnya pertarungan kepentingan dalam penyusunan Undang Undang dan PP untuk irigasi.
            Misalnya tentang Irigasi, ada alasan apa pengelolaan irigasi itu perlu direformasi? Semula semasa pemerintahan Orba kritik tentang pengelolaan iriggasi telah banyak dilakukan akan tetapi kritik itu tak pernah mengoyahkan pembuat kebijakan tentang pengelolaan irigasi. Apa sesungguhnya kritik tentangnya? Pengelolaan irigasi selama ini dikelola sangat sentralistis hanya pada tingkat tersier saja petani diserai untuk mengelolanya. Pertanyaan selanjutnya, apakah petani sejak dulu kala tidak memiliki kemampuan untuk mengelola irigasi? Bagaimana dengan subak dan keaslian pengelolaan irigasi ditanmgan para petani? Subak sebagai institisi pengelolaan air ternyata menunjukkan bahwa petani sangat mampu mengelola irigasi sesuai dengan tradisi yang mereka lakukan sejak nenek moyang mereka. Irigasi itu dipikirkan dari oleh dan untuk masyarakat petani demi kemakmuran bersama (Landasan hukum untuk ini dikeluarkan kalau tidak salah melalui Inpres pada jaman Presiden Habibi)
            Oleh sebab itu irrigation reform adalah sebuah usaha mengembalikan pengelolaan irigasi lebih pada masyarakat meskipun secara finansial mereka harus dibantu oleh pemerintah dalam pendanaannya sebab petani selama ini adalah menyangga stabilitas politik pangan di Indonesia karena harga pangan yang ditentukan oleh tata niaga pemerintah. Penulis agak kurang tahu siapa yang mengawali ide ini akan tetapi kerja untuk menggalang perubahan ini dikoordinir oleh BAPPENAS pada waktu itu. Sekurang kurangnya ada empat kelompok kerja (pokja) yang dibentuk waktu itu dengan spesialisasi agenda kerja masing masing. Salah satu pokja adalah menyusun agenda perubahan pengelolaan irigasi dan pada pokja lain lan UU SDA itu dibicarakan. Di setiap pokja terdiri dari berbagai stakeholder mulai komponen pemerintah (Dep. Kimpraswil, Depdagri, Deptan, dan semua departemen terkait serta dinas ditingkat prpinsi yang terkait), LSM dan Perguruan Tinggi. Dalam perkembangannya unsur perguruan tinggi tidak ada yang menjadi anggota didalam setiap pokja akan tetapi keterlibatan mereka terus berlangsung ketika ada persoalan persoalan yang diperlukan diundanglah orang orang dari perguruan tinggi.
            Adalah juga kurang jelas apakah ide ini adalah berasal dari Bank Dunia atau ide kita bangsa Indonesia yang pembiayaannya ditawarkan kepada Bank Dunia. Meskipun Bank Dunia juga memfasilitasi tenaga tenaga ahli asing di bidang ini akan tetapi perdebatan substansi tidak mengesankan bahwa proyek ini adalah ide dari Bank Dunia. Perdebatan substansi tidak hanya antara anggota kelompok denga para tenaga ahli dari Bank Dunia akan tetapi juga perdebatan antara mereka para birokrat yang mempertahankan poa lama karena menganggap bahwa petani tidak mungkin diserahi pengelolaan irigasi sebab mereka tak memiliki kemampuan teknis dan mereka yang meyakinan bahwa petani mampu mengelola asal tidak diikutkan membiayaan saluran irigasi. Pada akhirnya sebelum PP No 77 (ditiadakan dengan keluarnya PP No 20) itu dimunculkan dan UU no 7 itu di buat, diadakan penggalian bahan untuk menyusun kebijakan yang mengadopsi pikiran dan kepentingan masyarakat bawah melalui konsultasi publik . Data dari hasil konsultasi publik itu lah digunakan dalam penyusunan peraturan hukum.
            Dari segi proses bagaimana peraturan itu dibuat adalah sangat bagus dan inilah perwujudan  bottom up planning , yang pada hemat penulis pertama kali dilakukan dalam proses pembuatan kebijakan. Akan tetapi proses bagaimana keputusan politik tentang kebijakan itu disyahkan adalah sangat syarat dengan berbagai kepentingan yang banyak menghilangkan substansi dari pemikiran bawah. Sungguhpun proses penyusunan kebijakan melahirkan perdebatan paradigmatis antara pembela kepentingan sistem lama dan para reformis, hal ini makin lama mencair bisa saling memahami antarperbedaan kepentingan. Pada waktu itu, agar pengelolaan irigasi bisa dilakukan ditingkat bawah sesuai dengan kemampuan para petani, adalah dibutuhkan legitimasi hukum karena PP yang ada dianggap tidak sesuai lagi. Lahirnya PP 77 Tahun 2001 adalah legitimasi hukum yang mendahului UU No 7 tahun 2004. Alasannya adalah proses UU membutuhkan waktu yang sangat lama dan kebutuhan legitimasi hukum diperlukan mendesak. Semula ada usulan bahwa legitimasi hukum itu cukup dengan kepres akan tetapi salah satu dirjen di Dep. Kimpraswil yang berkompetan membidangi irigasi dan sumber daya air mengajukan kepada presiden dengan Peraturan Pemerintah yang akhirnya keluarlah PP 77 tahun 2001 yang ditandatangani oleh Presiden Megawati. Setelah beberapa tahun PP ini berjalan dan telah diterima oleh masyarakat tani, tiba tiba ada isu bahwa PP ini harus dimoratorium. Alasan yang sempat tampil di permukaan adalah bahwa PP ini prematur yakni lahir tanpa induk sebab UU tentang Sumber Daya Air belum diputuskan oleh DPR.
            Pertanyaannya, apa yang menjadi problem sesungguhnya tentang ditiadakannya PP 77 adalah karena alasan di atas atau ada alasan lain bahwa PP itu dianggap terlalu memberikan kewenangan yang begitu besar terhadap pemerintah daerah dan para petani yang tergabung dalam Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A)? Hemat penulis, hal ini menunjukkan bahwa perdebatan dalam pokja tidak hanya sekedar perjuangan wacana akan tetapi perjuangan untuk mempertahankan kepentingan dimana pusat masih memiliki kontrol yang besar terhadap daerah. Selanjutnya dapat diperiksa di PP 20 tahun 2006 tentang pembagian antara kewenangan pusat dan daerah tentang pembangunan, rehabilitasi dan pengelolaan irigasi. Pertarungan radigmatis adalah pertarungan kepentingan dan pembelaan antara pembela sistem dan reformasi terhadap sistem. Bagaimanapun reformasi terhadap sistem akan merugikan bagi kemapanan yang telah lama mengakar pada birokrasi negara.
            Kuatnya sistem lama juga ditunjukkan oleh dinamika perjuangan CSO untuk memberikan kritik dan masukan terhadap Rancangan Undang Undang SDA waktu itu. Lobi pada tingkat Dewan dan Pemerintah tidak putusnya dilakukan akan tetapi masukan yang diberikan kepada mereka tidak banyak diadopsi oleh birokrasi pemerintah sebagai pengusul undang undang maupun para anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Pertanyaannya sekarang adalah apakah produk politik yang berupa undang undang adalah bagian dari pembelaan kepentingan kepada rakyat atau undang undang adalah legitimasi politik keuangan yang masih terkonsentrasi pada pusat. Selain isu tentang irigasi, isu privatisasi pengelolaan sumber air juga menjadi topik yang tidak terselesaikan pada tingkat lobi dengan para pembuat keputusan. Dengan situasi seperti ini, ada kesan bahwa hadirnya kalangan NGO dan perguruan tinggi dalam diskursus paradigmatis adalah sebagai legitimasi bahwa pembuatan undang undang memenuhi persyaratan partisipatif yang bisa ditunjukkan kepada para pendana. Sudah tentu, cerita pendek ini sangat jauh dari kelengkapan dan masih perlu diuraikan kembali secara runtut dan lengkap kronologinya agar bangsa ini memiliki catatan sejarah bagi anak bangsa kedepan.    
             
5.           Wasana Kata
            Bagaimana pun UU dan PP baru telah diputuskan secara syah oleh Dewan Perwakilan Rakyat dimana setiap orang harus patuh terhadap peraturan yang berlaku. Suka atau tidak suka inilah produk hukum meskipun pengetahuan anggota dewan tentang substansi sesungguhnya tidak banyak dikuasai oleh para wakil rakyat. Adalah perlu diketahui bahwa perjuangan bergulirnya paradigma baru bukan mudah sebab hambatan pada tingkat politik dan tarik menarik kepentingan paradikmatis dan kepentingan penguasaan sumber ekonomi menjadi kendala tersendiri dalam mengulirkan paradigma baru menjadi sebuah kebijakan negara. Oleh sebab itu proses ini bukanlah sebuah proses evolusioner akan tetapi sebuah usaha transformasi nilai baru yang penuh dengan dinamika konflik kepentingan.
            Peraturan hukum bukan barang mati yang memiliki nilai kemutlakan, kesiapan melakukan perubahan peraturan hukum bagi negeri ini adalah sudah langkah maju dibanding masa lalu. Karena peraturan hukum adalah produk politik yang jauh dari kesempurnaan maka segala perubahan masih terbuka lebar sesuai dengan prosedur formalnya.

PENGENALAN METODE PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


A.          PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
1.           Pengertian
Pemberdayaan Masyarakat adalah suatu proses dimana masyarakat, terutama mereka yang miskin sumber daya, kaum perempuan dan kelompok yang terabaikan lainnya, didukung agar mampu meningkatkan kesejahteraannya secara mandiri. Dalam proses ini, lembaga berperan sebagai fasilitator yang mendampingi proses Pemberdayaan Masyarakat. Pada prinsipnya masyarakatlah yang menjadi aktor dan penentu pembangunan. Usulan-usulan masyarakat merupakan dasar bagi program pembangunan lokal, regional, bahkan menjadi titik pijak bagi program nasional.
Aspek penting dalam suatu program Perberdayaan Masyarakat adalah: program yang disusun sendiri oleh masyarakat, menjawab kebutuhan dasar masyarakat, mendukung keterlibatan kaum miskin, perempuan, buta huruf dan kelompok terabaikan lainnya, dibangun dari sumberdaya lokal, sensitif terhadap nilai-nilai budaya setempat, memperhatikan dampak lingkungan, tidak menciptakan ketergantungan, berbagai pihak terkait terlibat, serta berkelanjutan.
Menjalankan pendekatan Perberdayaan Masyarakat pada tingkat penentu kebijakan akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan sumberdaya pembangunan yang semakin terbatas. Hal ini akan meningkatkan kesesuaian program pembangunan dengan kenyataan setempat dan memperkuat keberlanjutan program karena masyarakat mempunyai rasa memiliki dan tanggung jawab.
Terdapat sejumlah hambatan kebijakan dan kelembagaan dalam menerapkan pendekatan Pemberdayaan Masyarakat yang berhasil. Hambatan ini antara lain adalah terbatasnya komitmen dan pemahaman manajer senior dan para penentu kebijakan terhadap prinsip dan keuntungan yang bisa diperoleh dari pendekatan Pemberdayaan Masyarakat serta kurangnya orientasi pada klien oleh aparat pemerintah di semua tingkatan. Di samping itu, hambatan finansial masih membatasi penentuan keputusan tingkat lokal. Lebih jauh lagi, penyusunan kebijakan rinci menghambat timbulnya kreativitas lokal. Hambatan lain adalah kekurangan data monitoring dan evaluasi serta masih adanya struktur pemerintahan dan proses perencanaan yang bersifat membatasi.
Terdapat beberapa strategi dan langkah kunci untuk mempromosikan dasar-dasar Pemberdayaan Masyarakat dalam penyusunan kebijakan dan program nasional. Meningkatnya kesadaran dan dorongan untuk membahas tentang kebijakan pada tingkat manajer senior merupakan komponen yang vital. Program-program yang paling sesuai dengan pendekatan Pemberdayaan Masyarakat harus diidentifikasi, dan kemampuan untuk mendukung dan koordinasi di tingkat senior/pusat, haruslah diperkuat. Strategi informasi dan komunikasi yang mantap akan menyokong diskusi antar-departemen. Hal ini telah membuktikan pentingnya untuk mengidentifikasi dan membangun kemampuan para 'ahli' dan 'jawara'/'pendukung proyek' yang mampu membantu orang lainnya. Bukti tentang efektivitas dan efesiensi pendekatan Pemberdayaan Masyarakat akan membantu dalam pembangunan komitmen antar para manajer senior dan penentu kebijakan.
2.           Pola Pemberdayaan Masyarakat
Pola pemberdayaan masyarakat yang dibutuhkan bukan kegiatan yang sifatnya top-down intervention yang tidak menjunjung tinggi aspirasi dan potensi masyarakat untuk melakukan kegiatan swadaya. Akan tetapi yang paling dibutuhkan masyarakat lapisan bawah terutama yang tinggal di desa adalah pola pemberdayaan yang sifatnya bottom-up intervention yang menghargai dan mengakui bahwa masyarakat lapisan bawah memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhannya, memecahkan permasalahannya, serta mampu melakukan usaha-usaha produktif dengan prinsip swadaya dan kebersamaan.
Apabila kegiatan pemberdayaan masyarakat lapisan bawah belum berhasil meningkatkan pendapatan dan membuka lapangan kerja baru seperti yang diharapkan, maka yang paling penting dikaji adalah menemukan apa dan di mana akar permasalahannya. Pengetahuan tentang akar permasalahan ini, membantu untuk merumuskan suatu strategi pemecahan masalah yang lebih tepat dan efektif. Merumuskan suatu pola pemberdayaan masyarakat lapisan bawah yang tergolong miskin adalah pekerjaan rumit. Rumit, karena karakteristik yang mereka miliki berbeda. Dan setiap perbedaan menuntut pola pemberdayaan yang berbeda. Semua kekuatan, kelemahan, dan permasalahan yang ada perlu diidentifikasi dengan cermat, terutama yang berhubungan dengan pola pikir mereka yang sangat lokalit, terbelakang, statis tradisional, sulit berubah, lambat mengadopsi inovasi, serta tidak berdaya untuk hidup mandiri. Masalah timbul akibat rendahnya tingkat pendidikan. Keadaan seperti ini terjadi karena rendahnya perhatian pemerintah terhadap pentingnya peranan pendidikan dalam pembangunan bangsa dan negara. Core idea dari implementasi otonomi daerah adalah tumbuhnya partisipasi aktif masyarakat untuk membangun dirinya sendiri, sedangkan peran pemerintah hanya sebagai fasilitator dan mitra kerja masyarakat. Inti permasalahannya adalah apakah masyarakat sudah siap melaksanakan pembangunan sesuai tuntutan otonomi daerah? Kalau belum siap usaha-usaha apa yang perlu dilakukan untuk memberdayakan mereka sebagai insan pembangunan? Dan bagaimana peranan pendidikan formal dan nonformal untuk melahirkan SDM yang berkualitas yang siap melaksanakan pembangunan? Memaknai topik tulisan dan permasalahan di atas, masalah yang menjadi bahan kajian difokuskan pada urgensi pemberdayaan masyarakat agar mampu meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik, aktualisasi pendidikan yang ditujukan untuk mengubah perilaku masyarakat, yaitu pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Dan mengkaji teknik atau pola partisipasi masyarakat yang applicable di dalam pelaksanaan otonomi daerah terutama yang menyangkut hak, kewajiban, dan tanggung jawab warga masyarakat.
3.           Proses Pemberdayaan Masyarakat
United Nations (1956: 83-92), mengemukakan proses-proses pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut.
a.         Getting to know the local community
Mengetahui karakteristik masyarakat setempat (lokal) yang akan diberdayakan, termasuk perbedaan karakteristik yang membedakan masyarakat desa yang satu dengan yang lainnya. Mengetahui artinya untuk memberdayakan masyarakat diperlukan hubungan timbal balik antara petugas dengan masyarakat.

b.         Gathering knowledge about the local community
Mengumpulkan pengetahuan yang menyangkut informasi mengenai masyarakat setempat. Pengetahuan tersebut merupakan informasi faktual tentang distribusi penduduk menurut umur, sex, pekerjaan, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, termasuk pengetahuan tentang nilai, sikap, ritual dan custom, jenis pengelompokan, serta faktor kepemimpinan baik formal maupun informal.
c.         Identifying the local leaders
Segala usaha pemberdayaan masyarakat akan sia-sia apabila tidak memperoleh dukungan dari pimpinan/tokoh-tokoh masyarakat setempat. Untuk itu, faktor "the local leaders" harus selau diperhitungkan karena mereka mempunyai pengaruh yang kuat di dalam masyarakat.
d.         Stimulating the community to realize that it has problems
Di dalam masyarakat yang terikat terhadap adat kebiasaan, sadar atau tidak sadar mereka tidak merasakan bahwa mereka punya masalah yang perlu dipecahkan. Karena itu, masyarakat perlu pendekatan persuasif agar mereka sadar bahwa mereka punya masalah yang perlu dipecahkan, dan kebutuhan yang perlu dipenuhi.
e.         Helping people to discuss their problem
Memberdayakan masyarakat bermakna merangsang masyarakat untuk mendikusikan masalahnya serta merumuskan pemecahannya dalam suasana kebersamaan.
f.           Helping people to identify their most pressing problems
Masyarakat perlu diberdayakan agar mampu mengidentifikasi permasalahan yang paling menekan. Dan masalah yang paling menekan inilah yang harus diutamakan pemecahannya.
g.         Fostering self-confidence
Tujuan utama pemberdayaan masyarakat adalah membangun rasa percaya diri masyarakat. Rasa percaya diri merupakan modal utama masyarakat untuk berswadaya.
h.         Deciding on a program action
Masyarakat perlu diberdayakan untuk menetapkan suatu program yang akan dilakukan. Program action tersebut perlu ditetapkan menurut skala prioritas, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Tentunya program dengan skala prioritas tinggilah yang perlu didahulukan pelaksanaannya.
i.          Recognition of strengths and resources
Memberdayakan masyarakat berarti membuat masyarakat tahu dan mengerti bahwa mereka memiliki kekuatan-kekuatan dan sumber-sumber yang dapat dimobilisasi untuk memecahkan permasalahn dan memenuhi kebutuhannya.
j.          Helping people to continue to work on solving their problems
Pemberdayaan masyarakat adalah suatu kegiatan yang berkesinambungan. Karena itu, masyarakat perlu diberdayakan agar mampu bekerja memecahkan masalahnya secara kontinyu.
k.          Increasing people!s ability for self-help
Salah satu tujuan pemberdayaan masyarakat adalan tumbuhnya kemandirian masyrakat. Masyarakat yang mandiri adalah masyarakat yang sudah mampu menolong diri sendiri. Untuk itu, perlu selalu ditingkatkan kemampuan masyarakat untuk berswadaya.
4.           Permasalahan Pemberdayaan Masyarakat
Memberdayakan masyarakat dengan hanya memberikan bantuan uang, bukanlah segalanya. Banyak proyek-proyek Inpres yang tekanannya memberikan bantuan material kepada masyarakat desa justru mematikan swadaya masyarakat, bahkan sebaliknya menjadikan masyarakat menggantungkan diri kepada pemberi bantuan. Pola pemberdayaan dengan hanya memberikan bantuan uang atau bantuan proyek kepada masyarakat desa tidak akan merangsang peran serta masyarakat untuk terlibat di dalam pembangunan.
Dalam kasus tertentu, di dalam konsep pembangunan masyarakat, bantuan material memang diperlukan, akan tetapi yang lebih penting adalah pengembangan swadaya - self help - masyarakat untuk membangun diri sendiri.
Ciri khas dari suatu kegiatan swadaya adalah adanya sumbangan dalam jumlah besar yang diambil dari sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat baik yang dimiliki individu maupun kelompok di dalam masyarakat.
B.          METODE PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
1.        Pengertian
Kata partisipasi masyarakat sudah lebih dari satu dasawarsa menjadi kata kunci dalam bahasa masyarakat pembangunan. Namun dalam kenyataannya program pembangunan dan pengembangan msyarakat masih juga dilakukan dengan cara lama yang mengabaikan konsep partisipasi. Program pembangunan masih saja diturunkan dari atas  dan masyarakat tinggal melaksanakannya tanpa adanya keterlibatan langsung masyarakat yang menjadi sasaran program tersebut. Kalaupun ada penjajagan terhadap kebutuhan pembangunan, itupun dilakukan dengan cara survai, studi atau penelitian formal yang dilakukan oleh lembaga penelitian atau perguruan tinggi yang karena beberapa asumsi yang kurang tepat, maka program tidak menyentuh kebutuhan yang sesungguhnya.  Dengan sendirinya dukungan masyarakat terhadap program tersebut menjadi pura-pura, demikian pula partisipasinya. yang berpengaruh terhadap keberlanjutan dari program tersebut.
 Alasan-alasan yang demikian melahirkan beragam pemikiran tentang pendekatan pengembangan program yang lebih partisipatif. Istilah-istilah partisipasi masyarakat, perencanaan dari bawah (bottom-up planning), penyadaran, pendekatan yang berpusat pada petani (farmer centered approach ), dll menjadi kosa kata para aktivis pembangunan, baik pemerintah maupun swasta, walaupun kenyataannya belum mencerminkan arti kata tersebut. Program-program yang ada masih saja tetap diturunkan dari atas (top-down approach ), direncanakan dari meja kantor, sementara masyarakat diperkenankan berpartisipasi dalam pelaksanaan fisik di lapangan, sehingga tingkatan partisipasinya masih layak disebut sebagai mobilisasi.
            Latar belakang yang demikian kemudian mendorong untuk diperkenalkannya salah satu metode dan teknik yang dikenal dengan Participatory Rural Appraisal (PRA), karena dipandang telah memiliki teknik-teknik yang dijabarkan cukup operasional dengan konsep bahwa keterlibatan masyarakat sangat diperlukan dalam seluruh kegiatan. Pendekatan PRA memang bercita-cita menjadikan masyarakat menjadi peneliti, perencana, dan pelaksana pembangunan dan bukan sekedar obyek pembangunan. Tekanan aspek penelitian bukan pada validitas data yang diperoleh, namun pada nilai praktis untuk pengembangan program itu sendiri.  Penerapan pendekatan dan teknik PRA dapat memberi peluang yang lebih besar dan lebih terarah untuk melibatkan masyarakat. Selain itu melalui pendekatan PRA akan dapat dicapai kesesuaian dan ketepatangunaan program dengan kebutuhan masyarakat sehingga keberlanjutan (sustainability ) program dapat terjamin.

            PRA adalah suatu metode pendekatan untuk mempelajari kondisi dan kehidupan pedesaan dari, dengan, dan oleh masyarakat desa. Atau dengan kata lain dapat disebut sebagai kelompok metode pendekatan yang memungkinkan masyarakat desa untuk saling berbagi, meningkatkan, dan menganalisis pengetahuan mereka tentang kondisi dan kehidupan desa, membuat rencana dan bertindak (Chambers, 1995). 

2.        Prinsip Dasar
Tujuan kegiatan PRA yang utama ialah untuk menghasilkan rancangan program yang gayut dengan hasrat dan keadaan masyarakat. Terlebih itu, tujuan pendidikannya adalah untuk mengembangkan kemampuan masyarakat dalam menganalisa keadaan mereka sendiri dan melakukan perencanaan melalui kegiatan aksi. Dapat disebutkan bahwa PRA adalah sekumpulan pendekatan dan metode yang mendorong masyarakat pedesaan untuk turut serta meningkatkan dan menganalisis pengetahuan mereka mengenai hidup dan kondisi mereka sendiri, agar mereka dapat membuat rencana dan tindakan (Chambers, 1995).
            Beberapa hal prinsip yang ditekankan dalam PRA ialah :
a.     Saling belajar dari kesalahan dan berbagi pengalaman dengan masyarakat
            Prinsip dasar PRA bahwa PRA adalah dari, oleh, dan untuk masyarakat. Ini berarti bahwa PRA dibangun dari pengakuan serta kepercayaan masyarakat yang meliputi pengetahuan tradisional dan kemampuan masyarakat untuk memecahkan persoalannya sendiri.  Prinsip ini merupakan pembalikan dari metode pembelajaran konvensional yang bersifat mengajari masyarakat. Kenyataan membuktikan bahwa dalam perkembangannya pengalaman dan pengetahuan tradisional masyarakat tidak sempat mengejar perubahan yang terjadi, sementara itu pengetahuan modern yang diperkenalkan orang luar tidak juga selalu memecahkan masalah. Oleh karenanya diperlukan ajang dialog di antara ke duanya untuk melahirkan sesuatu program yang lebih baik. PRA bukanlah suatu perangkat teknik tunggal yang telah selesai, sempurna,dan pasti benar. Oleh karenanya metode ini selalu harus dikembangkan yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat. Kesalahan yang dianggap tidak wajar, bisa saja menjadi wajar dalam proses pengembangan PRA. Bukannya kesempurnaan penerapan yang ingin dicapai, namun penerapan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuan yang ada dan mempelajari kekurangan yang terjadi agar berikutnya menjadi lebih baik. Namun PRA bukan kegiatan coba-coba (trial and error ) yang tanpa perhitungan kritis untuk meninimalkan kesalahan.
b.     Keterlibatan semua anggota kelompok,  menghargai perbedaan, dan informal
            Masyarakat bukan kumpulan orang yang homogen, namun terdiri dari berbagai individu yang mempunyai masalah dan kepentingan sendiri. Oleh karenanya keterlibatan semua golongan masyarakatadalah sangat penting. Golongan yang paling diperhatikan justru yang paling sedikit memiliki akses dalam kehidupan sosial komunitasnya (miskin, perempuan,anak-anak, dll). Masyarakat heterogen memiliki pandangan pribadi dan golongan yang berbeda. Oleh karenanya semangat untuk saling menghargai perbedaan tersebut adalah penting artinya. Yang terpenting adalah pengorganisasian masalah dan penyusunan prioritas masalah yang akan diputuskan sendiri oleh masyarakat sebagai pemiliknya. Kegiatan PRA dilaksanakan dalam suasana yang luwes, terbuka, tidak memaksa, dan informal. Situasi santai tersebut akan mendorong tumbuhnya hubungan akrab, karena orang luar akan berproses masuk sebagai anggota bukan sebagai tamu asing yang harus disambut secara protokoler. Dengan demikian suasana kekeluargaan akan dapat mendorong kegiatan PRA berjalan dengan baik.
c.      Orang luar sebagai fasilitator, masyarakat sebagai pelaku
            Konsekuensi dari prinsip pertama, peran orang luar hanya sebagai fasilitator, bukan sebagai pelaku, guru, penyuluh, instruktur, dll. Perlu bersikap rendah hati untuk belajar dari masyarakat dan menempatkannya sebagai nara sumber utama. Bahkan dalam penerapannya, masyarakat dibiarkan mendominasi kegiatan. Secara ideal sebaiknya penentuan dan penggunaan teknik dan materi hendaknya dikaji bersama, dan seharusnya banyak ditentukan oleh masyarakat.
d.     Konsep triangulasi
            Untuk bisa mendapatkan informasi yang kedalamannya dapat diandalkan, bisa digunakan konsep triangulasi yang merupakan bentuk pemeriksaan dan pemeriksaan ulang (check and recheck). Triangulasi dilakukan melalui penganekaragaman keanggotaan tim (disiplin ilmu), sumber informasi (latar belakang golongan masyarakat, tempat), dan variasi teknik.
i. Penggunaan variasi dan kombinasi berbagai teknik PRA, yaitu bersama masyarakat bisa diputuskan variasi dan kombinasi teknik PRA yang paling tepat sesuai dengan proses belajar yang diinginkan dan cakupan informasi yang dibutuhkan dalam pengembangan program
ii. Menggali berbagai jenis dan sumber informasi, dengan mengusahakan kebenaran data dan informasi (terutama data sekunder) harus dikaji ulang dan sumbernya dengan menggunakan teknik lain.
iii. Tim PRA yang multidisipliner, dengan maksud sudut pandang yang berbeda dari anggota tim akan memberi gambaran yang lebih menyeluruh terhadap penggalian informasi dan memberi pengamatan mendalam dari berbagai sisi.
e.     Optimalisasi hasil, orientasi praktis, dan keberlanjutan program
            Pelaksanaan PRA memerlukan waktu, tenaga narasumber, pelaksana yang trampil, partisipasi masyarakat yang semuanya terkait dengan dana. Untuk itu optimalisasi hasil dengan pilihan yang menguntungkan mutlak harus dipertimbangkan. Oleh karenanya kuantitas dan akurasi informasi sangat diperlukan agar jangan sampai kegiatan yang berskala besar namun biaya yang tersedia tidak cukup. Orientasi PRA adalah pemecahan masalah dan pengembangan program. Dengan demikian dibutuhkan penggalian informasi yang tepat dan benar agar perkiraan yang tepat akan lebih baik daripada kesimpulan yang pasti tetapi salah, atau lebih baik mencapai perkiraan yang hampir salah daripada kesimpulan yang hampir benar. Masalah dan kepentingan masyarakat selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Karenanya, pengenalan masyarakat bukan usaha yang sekali kemudian selesai, namun merupakan usaha yang berlanjut. Bagaimanapun juga program yang mereka kembangkan dapat dipenuhi dari prinsip dasar PRA yang digerakkan dari potensi masyarakat.
3.        Struktur Program
Karena tujuan penerapan metode PRA adalah pengembangan program bersama masyarakat, penerapannya perlu senantiasa mengacu pada siklus pengembangan program. Gambaran umum siklus tersebut secara ringkas adalah sbb.:
a.     Pengenalan masalah/kebutuhan dan potensi, dengan maksud untuk menggali informasi tentang keberadaan lingkungan dan masyarakat secara umum.
b.    Perumusan masalah dan penetapan prioritas guna memperoleh rumusan atasdasar masalah dan potensi setempat.
c.     Identifikasi alternatif pemecahan masalah atau pengembangan gagasan guna membahas berbagai kemungkinan pemecahan masalah melalui urun rembug masyarakat.
d.    Pemilihan alternatif pemecahan yang paling tepat sesuai dengan kemampuan masyarakat dan sumberdaya yang tersedia dalam kaitannya dengan swadaya.
e.    Perencanaan penerapan gagasan dengan pemecahan masalah tersebut secara konkrit agar implementasinya dapat secara mudah dipantau.
f.      Penyajian rencana kegiatan guna mendapatkan masukan untuk penyempurnaannya di tingkat yang lebih besar.
g.     Pelaksanaan dan pengorganisasian masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan masyarakat.
h.    Pemantauan dan pengarahan kegiatan untuk melihat kesesuaiannya dengan rencana yang telah disusun.
i.      Evaluasi dan rencana tindak lanjut untuk melihat hasil sesuai yang diharapkan, masalah yang telah terpecahkan, munculnya masalah lanjutan, dll.
 4.        Permasalahan
Meningkatnya secara cepat popularitas PRA dikhawatirkan menyebabkan sedemikian terburu-burunya  menerima gagasan ini tanpa pemahaman yang cukup mendasar akan prinsip dasar yang ada yang kemudian diikuti dengan harapan yang terlalu tinggi akan keampuhan PRA. Oleh karenanya beberapa masalah yang timbul akibat merebaknya penggunaan metode PRA adalah :
a.   Permintaan melampaui kemampuan akibat metode ini dilatihkan dalam forum yang formal  tanpa cukup kesempatan untuk menghayati dan mendalami prinsip yang mendasarinya.
b.   Kehilangan tujuan dan kedangkalan hasil akibat penerapan yang serampangan di lapangan tanpa tujuan yang jelas.
c.   Kembali menyuluh akibat petugas tidak siap untuk memfasilitasi partisipasi masyarakat.
d.   Menjadi penganut fanatik karena tidak munculnya improvisasi dan variasi petugas untuk menggali lebih dalam permasalahan di masyarakat.
e.   Mengatasnamakan PRA untuk kegiatan yang sepotong-potong di luar konteks program pengembangan masyarakat.
f.    Terpatok waktu akibat program yang berorientasi pada target (teknis, administratif).
g.   Kerutinan yang dapat membuat kegiatan tidak hidup lagi sehingga terjebak dalam pekerjaan yang rutin dan membosankan.
5.        Teknik PRA
Beberapa teknik penerapan PRA antara lain : (a) Penelusuran Alur Sejarah, (b) Penelusuran Kebutuhan Pembangunan, (c) Analisa Mata Pencaharian, (d) Penyusunan Rencana Kegiatan, (e) Focus Group Discussion, (f) Pemetaan, dll.                   
Bahan Bacaan
Anonim, 1994. Berbuat Bersama Berperan Setara. Studio Driya Media, Bandung.
Chambers, R. 1996. Memahami Desa Secara Partisipatif. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Grandstaff,S.W., Grandstaff,T.B. dan Lovelace,G.W. 1990. Summary Report International Conference on Rapid Rural Appraisal, Khon Kaen University. Ed.