Home AD

Monday, April 27, 2015

Ciri Kapitalisme



Antropolog  Marvin  Harris (1999: 164) berpendapat bahwa salah satu ciri mendasar kapitalisme ialah komodifikasi hampir semua barang dan jasa, termasuk tanah dan tenaga kerja. Komodifikasi adalah proses menjadikan sesuatu yang sebetulnya bukan komoditi menjadi komoditi atau sesuatu yang bisa diperjualbelikan. Kapitalisme beserta ciri komodifikatifnya ini bukanlah  sistem  perekonomian yang sejak azali mengada. Jantung yang membuatnya tetap hidup sebagai sebuah sistem perekonomian adalah hubungan produksi khas yang disebut kerja-upahan. Sebagai pranata terpokok kapitalisme, kerja-upahan mensyaratkan sejumlah besar golongan sosial tanpa sarana produksi sehingga satu-satunya jalan bagi mereka mendapatkan sandang, pangan, papan ialah dengan menjual tenaga kerja mereka sendiri.
Max Weber, sosiolog Jerman, meski banyak dinilai memiliki pandangan berbeda tentang kapitalisme dari pandangannya Karl Marx, pernah menyatakan juga bahwa salah satu ciri pokok yang membedakan perekonomian tradisional dengan kapitalisme modern ialah  pengorganisasian  rasional atas pekerja upahan bebas (Weber, 2001:  22-23). Tanpa  golongan orang yang mengandalkan hidupnya dari menjual tenaga kerja, suatu perekonomian belum bisa dikatakan kapitalisme meski di dalamnya produksi komoditi, pasar, dan dorongan pencarian keuntungan menjadi unsur utamanya. Weber juga menegaskan bukan sekadar adanya orang-orang yang hidup dari menjual tenaga kerjanya, tetapi juga yang bisa dipekerjakan secara murah  di  pasar  tenaga kerja  merupakan sesuatu yang perlu untuk perkembangan kapitalisme (Weber, 2001: 24-25).
Proletarisasi atau proses terciptanya golongan sosial yang hidup dari menjual tenaga kerjanya tidak terjadi begitu saja. Bukan pula karena Tuhan telah mentakdirkan segolongan orang menjadi pekerja sementara segolongan orang lainnya bisa hidup hanya sebagai pemilik sarana produksi. Perlu perubahan revolusioner di dalam kehidupan sosial untuk terciptanya golongan-golongan sosial ini. Perubahan  ini  tidak  hanya  dalam arti harus besarnya proporsi mereka yang hidup dari menjual tenaga kerjanya, tetapi juga dalam arti perubahan ini berujung pada pewajaran atas apa yang telah dicipta- kannya, baik oleh mereka yang dihisap tenaga kerjanya maupun oleh mereka yang berkedudukan sebagai penghisap.
Di dalam prasejarah kapitalisme, golongan sosial yang hidup dari menjual tenaga kerjanya pertama- tama diciptakan dari golongan produsen langsung, yaitu mereka yang memenuhi kebutuhan hidup dari hasil mencurahkan tenaga kerja mereka sendiri seperti kaum tani, pengrajin tradisional, dan kaum pengusaha kecil-kecilan prakapitalis.  Golongan ini  dibedakan dari golongan tidak produktif yang hidup dari mengambil hasil jerih payah atau kerja orang lain seperti para tuan tanah, kaum rohaniwan, bangsawan, pencuri, dan tentara. Kembali ke  soal proletarisasi, golongan kaum tani penggarap dan pengrajin dari formasi sosial prakapitalis harus dipisahkan dari sarana produksi dan sarana hidupnya. Sarana produksi dipisah- kan dari produsen langsungnya dengan dipaksakannya pranata hak milik pribadi absolut modern atas tanah. Mereka yang terputus ikatannya dengan sarana produksi mau tidak mau harus menjual tenaga kerjanya kepada mereka yang memiliki sarana produksi. Ketika keadaan ini meluas secara massal, barulah perekonomian kapitalis mungkin untuk muncul dan berkembang. Itulah arti pernyataan antropolog Eric Wolf bahwa kapitalisme menjadi kapitalisme haruslah kapitalisme dalam produksi(Wolf, 1990: 79). Kapitalisme baru benar-benar bisa disebut kapitalisme apabila jantung hidupnya, yaitu rasionalisasi perolehan laba berkelanjutan  melalui  eksploitasi tenaga kerja, memasuki ranah produksi masyarakat. Dalam arti ini kapitalisme bukanlah suatu corak komersial, tetapi corak produksi. Di dalamnya orang-orang dipilah-pilah berdasarkan hubungannya dengan akses dan kepemilikan sarana produksi. (Dede Mulyanto)

Friday, March 14, 2014

KLASIFIKASI IKLIM DI INDONESIA


1.    Klasifikasi Iklim MOHR (1933)
Klasifikasi iklim di Indonesia yang didasrakan curah hujan agaknya di ajukan oleh Mohr pada tahun 1933. Klasifikasi iklim ini didasarkan oleh jumlah Bulan Kering (BK) dan jumlah Bulan Basah (BB) yang dihitung sebagai harga rata-rata dalam waktu yang lama.
Bulan Basah (BB)  :  Bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm (jumlah curah hujan bulanan melebihi angka evaporasi).
Bulan Kering (BK)  :  Bulan dengan curah hujan kurang dari 60 mm (jumlah curah hujan lebih kecil dari jumlah penguapan).
Tahap-tahap penentuan kelas iklim menurut Mohr :
1.    Ambil data curah hujan bulanan dari jangka waktu lama (30 tahun).
2.    Jumlahkan curah hujan pada bulan yang sama selama jangka pengamatan.
3.    Cari curah hujan rata-rata bulanan.
4.    Dari harga rata-rata curah hujan bulan itu pilih BK dan BB nya.
5.    Dari kombinasi BK dan BB itu dapat ditentukan kelas iklimnya.
Klasifikasi Iklim Mohr (1933)
Jadi contoh perhitungan di atas BK=3, BB=6 berarti termasuk kelas iklim III, berarti “daerah dengan masa kering yang sedang”.

2.    Klasifikasi ilim Schmidt-Ferguson (1951)
Klasifikasi iklim di Indonesia menurut Schmidt-Ferguson (1951) didasrkan kepada perbandingan Bulan Kering (BK) dan Bulan Basah (BB).
Kriteria BK an BB yang digunakan dalam klasifikasi iklim menurut Schmidt-Ferguson sama dengan kriteria BK dan BB oleh Mohr (1933), namun perbedaan utama yakni dalam cara perhitungan BK dan BB akhir selama jangka waktu data curah hujan itu dihitung.
Bulan Kering  :  Bulan dengan curah hujan lebih kecil dari 60 mm.
Bulan Basah  :  Bulan dengan curah hujan lebih besar dari 100 mm.
Bulan Lembab  :  Bulan dengan curah hujan antara 60-100 mm.
Bulan Lembab (BL) tidak dimasukkan dalam urmus penentuan tipe curah hujan (rainfall type) yang dinyatakan dalam nilai Q (quotient Q).
Dari besarnya nilai Q inilah selanjutnya ditentukan tipe curah hujan suatu tempat atau daerah.
Tahap-tahap cara penentuan tipe curah hujan suatu tempat menurut Schmidt-Fergusom, yaitu :
1.    Gunakan data curah hujan dalam jangka waktu 30 tahun.
2.    Dari data curah hujan tiap tahun pilih masing –masing BK dan BB nya.
3.    Jumlahkan masing-masing BK dan BB seluruh tahun dan hitung harga rata-ratanya.
4.    Harga rata-rata BK dan harga rata-rata BB dimasukkan dalam rumus O, yakni :
5.    Lihat tabel atau setigita Schmidt-Ferguson yang berisi kisaran nilai O untuk menentukan tiper curah hujannya.
Tabel Schmidt-Ferguson :
Dari tabel 5-F atau segitiga S-F, maka daerah contoh tersebut di atas termasuk tiper curah hujan D (sedang).
Tipe curah hujan Schmdit-Ferguson terdiri dari 8 tiper (8 rainfall types). Tiap-tiap tipe mempunyai perbedaan 1,5 BK.  Misalnya : tipe curah hujan A O -1,5 BK (O 0,14), Tipe B mempunyai 1,5-33 BK, tipe C mempunyai 3-4,5 BK dan seterusnya.
Meskipun dengan klasifikasi ini dapat ditentukan sifat suatu daerah mulai dari kering, lembab dan basah, namun belum cukup memberikan informasi lengkap mengenai potensi pertaniannya, karena kriteria BB hanya disasarkan kepada penguapan (evaporasi).

3.    Klasifikasi iklim menurut Oldeman (1975)
Klasifikasi iklim menurut Oldeman (1975) disebut juga dengan klasifikasi agroklimat. Peta cuaca pertanian ditampilkan sebagai “peta agroklimat” atau Atroclimatic map.  Klasifikasi iklim ini terutama ditujukan kepada komoditi pertanian tanaman makanan utama seprti padi, jagung, kedelai dan tanaman palawija lainnya.
Karena penggunaan air bagi tanaman-tanaman utama merupakan hal yang penting di lahan tadah hujan, maka dnegna data curah hujan dlam jangka lama, peta agroklimat ddidasarkan pada periode kering. Curah hujan melebihi 200 mm sebulan dianggap cukup untuk padi sawah, sedangkan curah hujan paling sedikit 100 mm per bula diperlukan untuk bertanam di lahan kering.
Dasar klasifikasi agroklimat ini ialah kriteria Bulan Basah dan Bulan Kering.
Bulan Basah (BB)  :  Bulan dengan curah hujan sama atau lebih besar dari 200 mm.
Bulan Kering (BK)  :  Bulan dengan curah hujan lebih kecil dari 100 mm.
Kriteria penentuan ??? ini didasarkan pada besarnya evapotranspirasi, ???air melalui tanah dan tajuk tanman.  Evapotranspirasi dianggap sebagai banyaknya air yang dibutuhkan oleh tanaman.
Dalam klasifikasi agroklimat ini maka pembagian zone agroklimat didsasrkan pada seberan BB berturutan dan kombinasi BB dan BK.
1.    Berdasarkan BB
Suatu BB didefinisikan sebagai bulan dengan cukup air utnuk pertanaman padi sawah, yakni paling sedikit 200 mm curah hujannya.  Meskipun umur tanaman padai ditentukan oleh varietasnya, periode dengan 5 BB berturutan dianggap optimal untuk satu pertanaman padi sawah.  Apabila terdapat periode lebih dari 9 BB berturutan petani dapat bertanam padi 2 kali.  Namun bila BB kurang dari 3 bulan berturutan, tanaman padi mengandung resiko gagal kecual ada pengairan.
2.    Berdasarkan BB dan BK :
Pembagian Zone agroklimat selanjutnya didasrkan pula pada jumlah BK berturutan.  Bulan Kering mempunyai curah hujan kurang dari 100 mm.  Bila terdapat kurang dari 2 BK dalam setahun, petani dengan mudah dapat mangatasi kelangkaan air hujan, sebab pada umumnya masih terdapat cukup air dalam tanah untuk kebutuhan air tanaman.  Bila terdapat 2-4 BK rencana pola tanam harus hati-hati apabila ingin bertanam sepanjang tahun.  Suatu periode 5-6 BK berturutan dianggap terlalu lama bila tidak ada irigasi bagi tanaman.  Apabila bila periode kering melebihi 6 bulan, maka kemungkinan gagalnya tanaman makin besar.

PUYUH (Coturnix coturnix japonica)



A.  Deskripsi Puyuh (Coturnix coturnix japonica)

            Puyuh (Coturnix coturnix japonica) merupakan hasil domestikasi dari puyuh liar (Coturnix coturnix) yang dilakukan di Jepang (Cooper, 1976).  Burung puyuh yang dipelihara di Indonesia pada mulanya diimpor dari Taiwan, Hongkong dan Jepang (Nugroho dan Mayun, 1986).  Semenjak akhir tahun 1979, puyuh jenis Coturnix coturnix japonica mulai populer di Indonesia sebagai ternak yang dipelihara untuk usaha sambilan maupun komersil.  Selain diambil telurnya, daging puyuh juga merupakan makanan yang lezat dan mengandung gizi tinggi (Rasyaf, 1991).
            Menurut Nugroho dan Mayun (1986), klasifikasi puyuh Jepang (Coturnix coturnix japonica) adalah sebagai berikut :  
Class                :  Aves
Ordo                :  Galliformes
Sub Ordo        :  Phasianoidae
Famili              :  Phasianidae
Genus              :  Coturnix
Species            :  Coturnix-coturnix japonica.
            Puyuh yang telah didomestikasi ini mencapai kecepatan pertumbuhan yang tinggi dan dewasa kelamin dalam jangka waktu yang singkat.  Keadaan fisiologisnya hampir sama dengan ayam (Lee dkk., 1977).  Puyuh (Coturnix coturnix japonica) mempunyai panjang badan 19 cm, berbadan bulat, berekor pendek, paruh pendek dan kuat serta berjari kaki empat dan berwarna kekuning-kuningan dengan susunan tiga jari menghadap ke depan dan satu jari ke belakang (Nugroho dan Mayun, 1986).

B.  Pertumbuhan
            Pertumbuhan merupakan fenomena universal yang bermula dari satu telur yang dibuahi dan selanjutnya terus mencapai dewasa (Tillman dkk., 1986).  Pertumbuhan adalah proses yang sangat kompleks, bukan saja pertambahan berat badan tetapi juga menyangkut pertumbuhan semua bagian tubuh secara serentak dan merata.  Pola pertumbuhan tersebut dibagi dua tahap, yaitu tahap pertumbuhan cepat, terjadi sebelum ternak mencapai dewasa kelamin dan berat hidup bertambah terus-menerus dengan cepat.  Tahap kedua kecepatan pertumbuhan semakin menurun sampai dengan ternak mencapai dewasa kelamin (Maynard dkk., 1983).
            Pertumbuhan yang normal pada unggas bila berat badan diproyeksikan terhadap umur diperoleh kurva pertumbuhan yang secara umum berbentuk sigmoid (Soeharsono, 1976).  Kurva pertumbuhan pada puyuh bentuk sigmoidnya tidak jelas yang cenderung merupakan garis lurus.  Hasil penelitian Sreenivasaiah dan Joshi (1979) kurva pertumbuhan puyuh berbentuk sigmoid yang terdiri dari fase percepatan pertumbuhan (accelerating phase) yaitu umur 0 – 56 hari dan fase perhambatan pertumbuhan (retarding phase).  Pada fase percepatan pertumbuhan puyuh dibagi atas tiga bagian, yaitu umur 0 – 12 hari, 12 – 40 hari dan 40 – 56 hari. Kecepatan pertumbuhan sangat penting untuk keefisienan ransum (Jull, 1979).  Persentase kecepatan pertumbuhan puyuh jantan dan betina dari umur satu hari sampai dengan lima minggu tidak berbeda nyata.  Perbedaan kecepatan pertumbuhan antara jantan dan betina mulai tampak pada waktu puyuh berumur enam minggu (El Ibiary dkk., 1966).
            Puyuh mengalami laju pertumbuhan pertambahan yang paling cepat terjadi pada umur satu hari sampai empat minggu, yaitu pada saat pertambahan berta hidup meningkat dari tujuh gram pada umur satu hari menjadi 95,2 gram pada umur empat minggu.  Pada saat itu berat badan puyuh jantan relatif lebih rendah daripada puyuh betina.  Berat badan puyuh betina pada umur dua minggu adalah 26,4 gram meningkat menjadi  69,5 gram pada umur empat minggu dan pada umur enam minggu menjadi 106,4 gram.  Menurut El Ibiary dkk. (1966) laju pertumbuhan yang terbesar yaitu pada minggu pertama sampai minggu ketiga yaitu sebesar 56,5% - 58,3%.
            Unggas pada dasarnya mengalami pertumbuhan dan perkembangan sel pada fase embrional pertumbuhan dan perkembangannya terjadi di luar tubuh induk, maka pertumbuhan dan perkembangannya disamping ditentukan oleh faktor genetik, faktor lingkungan juga sangat mempengaruhi pertumbuhan (Soeharsono, 1976).

C.  Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan
1.  Genetik
            Kecepatan pertumbuhan makhluk hidup berbeda-beda pada tiap spesies.  Pertumbuhan merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan.  Potensi genetik merupakan faktor kelanggengan yang diperoleh setiap individu dari masing-masing induk dan bapaknya (Soeharsono, 1976).
2.  Ransum
            Makanan sebagai sumber energi dibutuhkan dalam semua proses biologis hewan, diantaranya untuk pergerakan, pernafasan, makan, sistem saraf, pengaturan suhu tubuh dan proses kehidupan pada umumnya (Card dan Nesheim, 1972).
            Ransum adalah sejumlah bahan makanan yang diberikan kepada seekor hewan selama periode 24 jam (Hartadi, 1980).  Hal yang diperhatikan dalam ransum adalah imbangan energi dan protein.  Ketidakseimbangan energi dan protein dalam ransum akan menyebabkan zat-zat makanan tidak dipergunakan sebagaimana mestinya (Ewing, 1963).
            Protein secara umum dibagi menjadi dua kategori, yaitu protein hewani yang berasal dari hewan dan protein nabati yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (Cullison, 1978).  Penggunaan protein hewani di dalam ransum unggas akan melengkapi nilai gizi ransum yang terdiri dari bahan nabati, sehingga akan memberikan hasil yang lebih unggul (Anggorodi, 1985).
            Menurut Wahju (1992), faktor-faktor yang menyebabkan protein hewan lebih unggul dibandingkan protein tumbuh-tumbuhan adalah  (1) Adanya kalsium dan fosfor yang berasal dari tulang hewan, (2) Vitamin B-complek terutama riboflavin pada susu skim kering, (3) Vitamin B12 yang terdapat pada semua bahan berasal hewan tetapi tidak ada pada tumbuh-tumbuhan, dan (4) asam amino methionin dan lisin yang terdapat pada protein ikan, telur dan susu dalam kadar yang lebih tinggi daripada protein berasal dari tumbuh-tumbuhan, sehingga pemberian ransum yang paling efisien diperoleh jika perbandingan energi dan zat-zat makanan dalam ransum sesuai untuk kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan dan produksi telur.
            Laju pertumbuhan dan jumlah ransum yang dikonsumsi mempunyai korelasi positif.  Semakin banyak ransum yang dikonsumsi, semakin cepat pertambahan bobot badan yang akan dicapai (Schaible, 1979).  Menurut Lee dkk. (1979) konsumsi ransum pada puyuh meningkat sejalan dengan terjadinya peningkatan bobot badan dan apabila telah mencapai dewasa kelamin, baik konsumsi ransum maupun pertambahan berat badan sudah mulai menurun. 
            Pada setiap tahap pertumbuhan dan perkembangannya, puyuh membutuhkan pakan dengan kualitas berbeda.  Pembedaan kualitas pakan ditandai dengan kadar protein kasar yang terkandung dalam pakan tersebut (Abidin, 2002).
3.  Konversi Ransum
            Konversi ransum merupakan perbandingan rataan konsumsi ransum dengan rataan pertambahan berat badan.  Nilai rasio konversi ransum merupakan rasio yang menunjukan keefisienan penggunaan ransum untuk menghasilkan pertambahan bobot badan sebesar satu satuan.  Dengan demikian makin rendah angka konversi ransum, makin efisien dalam penggunaan ransum (Sudjarwo, 1988; North dan Bell, 1990).
            Konversi ransum dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain bobot badan, imbangan energi protein ransum, suhu lingkungan dan kesehatan (Card dan Nesheim, 1979).  Menurut Marks (1980) menyatakan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap konversi ransum pada puyuh adalah perbaikan genetik untuk memperoleh bobot badan yang tinggi dengan konsumsi rendah, yang pada gilirannya didapatkan penggunaan ransum yang lebih efisien atau konversi ransum rendah.  Selanjutnya menurut Siegel dan Wisman (1966), terdapat hubungan positif antara selera makan (appetite) dan efisiensi penggunaan ransum dengan bobot badan.  Konversi ransum puyuh menurut Narahari, dkk (1988) pada umur 4 – 6 minggu berturut-turut 5,05; 5,15; 5,04 dan 5,29 dengan tingkat kandungan protein ransum 18%, 20%, 22% dan 24% dan tingkat energi ransum yang sama yaitu 2600 Kkal/kg.
4.  Umur Saat Dewasa Kelamin
            Dewasa kelamin pada puyuh betina ditandai dengan pertama kali bertelur, sedang pada jantan dengan mulai berkokok dengan suara khas (Djulardi, 1995).    Penelitian para pakar puyuh memberikan hasil bahwa umur dewasa kelamin pada puyuh dicapai sekitar 51 hari (Tiwari dan Panda, 1978), 49 – 52 hari (Pandelaki dkk., 1982), 53 hari (Hakim, 1983), dan 49 hari (Garnida, 1998).  Kisaran umur dewasa kelamin ini karena dipengaruhi oleh kesehatan, tatalaksana, genetik, pencahayaan, berat badan dan makanan (Sefton dan Siegel, 1974; North dan Bell, 1990).