Home AD

Monday, April 27, 2015

Proletarisasi di Pinggiran : Jawa



Di Jawa, praktik enclosure dan penciptaan proletariat sebetulnya sudah dimulai sejak Tanam Paksa 1830-1870 yang diterapkan dengan sungguh-sungguh untuk mengeksploitasi jajahan secara rasionaldan tanpa perasaan(Levang, 2003: 9). Sejak 1830, Jawa dikelola sebagai wilayah perluasan produksi gula dan tanaman ekspor. Secara resmi golongan elite pedesaan Jawa yang menguasai tanah-tanah garapan diwajibkan menanam seperlima  lahan  garapannya dengan tebu sebagai ganti pajak tanah. Dalam prakteknya luasan itu bisa setengah atau lebih dari luas lahan garapan. Selain itu, mereka juga  wajib  mengerahkan sejumlah tertentu pekerja sebagai buruh upahan bagi perkebunan. Di bawah eksploitasi Sistem Tanam Paksa, desa-desa  Jawa  tidak  hanya menjadi penyedia lahan perkebunan yang kebutuhannya meningkat seiring dengan akumulasi kapital, tetapi juga sumber cadangan tenaga kerja untuk operasi gula(Wolf, 1990: 334) yang melimpah murah. Perluasan perkebunan sepanjang Tanam Paksa, terutama yang dikelola langsung sektor swasta, terus berlangsung dengan dukungan undang-undang persewaan yang diterbitkan masing-masing pada 1839 dan 1857. Perundang- undangan tersebut turut memperkenalkan untuk pertama kalinya pranata-pranata kapitalis seperti sewa  tanah,  upah,  dan  panjer ke dalam kehidupan ekonomi petani Jawa (Suhartono, 1995: 68).
Meski  proletarisasi  tenaga kerja dan komodifikasi lahan sudah mulai muncul sejak Tanam Paksa, tetapi penegasannya sendiri baru terjadi setelah golongan borjuasi liberal di negeri Belanda menguasai Staaten General (parlemen) pada 1870. Pada tahun itu parlemen menerbitkan Undang-undang Pertanahan (Agrarische Wet) untuk negeri jajahan. Rumusannya didasarkan kepada gagasan- gagasan kelas borjuasi Eropa tentang kepemilikan pribadi. Agrarische Wet  berfungsi  seperti Bill of Inclosure of Commons di Inggris, yakni sebagai pendukung legal komodifikasi tanah dan tenaga kerja. Berdasarkan undang-undang tersebut, pemerintah kolonial menerbitkan  sertifikat-sertifikat hak milik untuk lahan-lahan garapan penduduk. Tanah-tanah yang tidak digarap secara langsung, termasuk tanah adat yang tidak bisa dibuktikan secara tertulis kepemilikannya, terutama tanah-tanah dari kelompok adat atau bangsawan yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial, menjadi milik negara. Tanah-tanah yang kemudian menjadi milik penduduk bisa disewa. Begitu pula tanah yang tergolong tanah negara. Hanya jangka waktunya saja yang  ber beda. Tanah milik penduduk bisa disewa per tahun, sedangkan tanah negara bisa  disewa  melalui  hak guna usaha selama 75 tahun.
Peraturan-peraturan yang diturunkan dari Agrarische wet, turut membantu percepatan terlaksananya program enclosure di negeri jajahan. Ordonansi Pembukaan Hutan tahun 1874, misalnya, telah membatasi otonomi desa  dengan mengalihkan wewenang  membuka hutan di tanah terlantar dari kepala desa ke pejabat pemerintah(Furnivall, 2009: 193). Di bawah pengawasan ordonansi ini, penduduk tidak bisa lagi membuka lahan-lahan garapan sembarangan. Tanah-tanah terlantar haram digarap oleh mereka yang membutuhkannya. Peraturan ini menjadi salah satu tonggak penting penciptaan proletariat. Bagaimanapun, tanpa lahan, kaum tani tidak bisa lagi menjadi petani.
Orang-orang yang terusir dari lahan garapan jumlahnya pasti amat banyak saat itu karena para pejabat desa memperoleh kebebasan besar dalam pembagian tanah, dapat semaunya sendiri menolak atau menyetujui permohonan dan sudah tentu dapat pula memilih sawah-sawah  yang  baik  bagi dirinya” (Breman, 1986: 25). Lahan-lahan terbaik sudah diambil kepala desa, keluarga, dan elite-elite di sekitar mereka. Ketimpangan penguasaan lahan warisan masa feodal sebelumnya memungkinkan penguasaan lahan dan  perluasannya hanya bagi segelintir elite pribumi. Penduduk tanpa perlindungan sosiolegal yang mencakup petani miskin dan buruh tani, dapat dengan mudah diubah menjadi pekerja upahan. Sebagian dari mereka  kemudian  menjadi  buruh perkebunan tebu dan pabrik gula (Boomgaard, 1989: 122-4) atau keluar desa mencari penghidupan sebagai pekerja upahan  di perkotaan (Ingleson, 2004: 7-8).
Penghentian pembukaan lahan garapan atas nama “kepentingan negara‟ di tengah-tengah struktur sosial pedesaan Jawa yang timpang memungkinkan pemerintah kolonial memenuhi kebutuhan kaum kapi- talis akan koelie berupah murah. Buruh-buruh murah bisa memasok tenaga kerja untuk perkebunan dan pertambangan di Jawa, Sumatra, dan  juga  untuk  koloni-koloni Belanda di Srilanka, Afrika Selatan, atau Suriname (Wertheim,  1956: 81). Kaum tani tanpa tanah dari Jawa juga berguna memacu produksi beras dengan mendorong mereka mengikuti program kolonisatie ke Sumatra. Sementara itu, golongan penduduk yang lebih aman secara sosiolegal seperti para kepala desa (bekel), petani pemilik tanah (sikep), bangsawan setempat, kaum pengusaha Tionghoa, serta seksi pribumi dari birokrasi pemerintah kolonial bisa menda- patkan banyak keuntungan dari komodifikasi tanah ini.
Dengan semangat liberal di jantungnya, Agrarische Wet  membuat tanah terbuka bagi kaum pemodal mendulang laba di negeri jajahan. Bila sebelum 1870 usaha perkebunan merupakan staatbedrijf atau  perusahaan  negara,  setelah 1870, usaha perkebunan menjadi usaha swasta. Didukung oleh perkembangan bank-bank komersial di Belanda sejak 1850, berbondong-bondonglah kaum kapitalis berinvestasi dalam pembangunan rel dan jalur kereta api, pertambangan, perbankan, dan perkebunan (Kartodirdjo, 1999: 19).
Kapitalis-kapitalis yang bermodal besar bisa menyewa “tanah negara‟ dalam jangka waktu 75 tahun  dengan  mendatangkan buruh-buruh dari sekitar dan tempat lain. Kapitalis yang kekurangan modal bisa dengan mudah membuka perusahaan saham gabungan. Ijin pendirian perusahaan itu sendiri bisa digunakan sebagai jaminan untuk memperoleh kredit dari bank- bank komersial Eropa. Dana pinjaman ini yang kemudian digunakan untuk menyewa tanah-tanah di negeri jajahan (Geertz, 1983: 88). Artinya, hampir hanya dengan modal dengkul saja kaum kapitalis bisa menghisap kekayaan tanah dan tenaga kerja negeri jajahan. Bukan kebetulan apabila sejak 1850 sampai 1870 terjadi perkembangan luar biasa dalam industri perbankan Belanda. Perkembangan ini  menunjukkan telah terjadi konsentrasi dan sentralisasi modal di sana (Kartodirdjo, 1999 : 19) hasil perkembang industri di negeri induk yang membutuhkan ladang-ladang investasi baru.
Dalam kaitannya dengan perluasan hubungan persewaan berskala besar, kajian sejarah sosialnya Jan Breman di Kere- sidenan Cirebon sampai pada kesimpulan bahwa: praktek sewa menyewa di atas kontrak ini yang hakikatnya merupakan jasa perikatan  perseorangan  ialah praktek pengubahan tenaga kerja menjadi komoditi dan penjualan tenaga kerja dengan persyaratan ketat di dalam  pasar yang teratur mengingatkan kepada armada tenaga kerja yang dikirim dari Cirebon untuk bekerja di Jawa Barat jauh di dalam abad ke-18 yang telah silam (Breman, 1986: 30). Sistem penyewaan tanah yang didukung Agrarische Wet 1870 memang merupakan kekuatan kapitalis dalam menghancurkan corak organisasi kerja feodal. Tetapi, seperti ditegaskan oleh Marx kekuatan produksi dan hubungan produksi baru tidaklah berkembang dari ketiadaan, tidak pula jatuh begitu  saja  dari  langit,  tidak  pula dari rahim Idea yang ada dengan sendirinya; tetapi dari dalam dan sebagai antitesis terhadap perkembangan produksi dan diwariskan dari hubungan kepemilikan tradisional [sebelumnya](Marx, 1973: 278).
Berdasarkan aturan Agrarische Wet, misalnya, kaum kapitalis memang dilarang mengambil alih lahan-lahan penduduk. Mereka hanya bisa menyewanya. Aturan ini tampak begitu mulia dan akan menghindarkan penduduk pribumi dari pengambilalihan tanah secara sewenang-wenang. Tetapi, karena kapitalis diperbolehkan menyewa lahan penduduk di tengah-tengah struktur penguasaan tanah pedesaan yang feodalistik, maka kaum kapitalis bisa mendapatkan dua sumberdaya penting, tanah dan tenaga kerja sekaligus, dengan murah karena, seperti ditegaskan sejarawan Sartono Kartodirdjo, tanah dan tenaga kerja merupakan satu kesatuan, kedua-duanya terjalin pada organisasi politik penduduk  pribumi,  sehingga mereka yang menguasai tanah itu dapat menggunakan tenaga penduduk secara sewenang- wenang sebanyak yang dikehendakinya (Kartodirdjo, 1999: 25).
Eksploitasi kapitalis dengan pranata-pranata barunya itu berdiri di atas pranata-pranata penindasan feodal yang diberi nyawa baru. Kelas-kelas sosial pedesaan Jawa dan hubungan hirarkis di antara mereka dimanfaatkan untuk mempermurah ongkos investasi kapital. Misalnya, kerja sama kapitalis dengan para elite setempat, terutama lapisan bangsawan lokal dan kepala desanya, membangkitkan kembali pranata kerja rodi untuk membangun jalan-jalan, saluran irigasi, jembatan, dan infrastruktur produksi.  Proyek  pengerahan tenaga kerja paksa yang diwarisi kapitalis modern dari jaman feodal dan Tanam Paksa 1830, ternyata tidak dihapuskan meski kaum liberal di parlemen mengklaim bahwa mereka hendak menghapuskan praktik-praktik feodal dalam pembangunan perekonomian kapitalis yang liberal. Mengapa demikian? Karena kerja rodi demikian diperlukan baik untuk memperbesar surplus dengan perluasan infrastruktur pemukiman dan pengolahan tanah serta pembangunan jaringan lalu-lintas dan irigasi dan untuk membiayai anggaran aparatur pemerintah yang diperlukan  untuk  meneruskan dan menggalakkan eksploitasi  kolonial(Breman, 1986: 7).
Di bawah sistem eksploitasi kapitalis pasca Agrarische Wet 1870, bangsawan setempat beserta barisan kepala desanya menjadi penanggung jawab pasokan tenaga kerja dalam jumlah banyak dengan upah rendah. Mereka menjadi ujung tombak eksploitasi kolonial. Dengan pengaruh mereka juga, harga sewa tanah yang semula ditentukan oleh pemerintah berangsur-angsur di- tentukan oleh pengusaha perke- bunan dengan harga, tentu saja, yang lebih rendah (Suhartono, 1991: 52-61). Sosiolog dan sejarawan Jan Breman, misalnya, menemukan bahwa di Keresidenan Cirebon (meliputi Cirebon, Majalengka, Kuningan, Indramayu sekarang), kepala desa setiap tahunnya menyisihkan sewilayah lahan sawah terbaik terlebih dahulu untuk perkebunan tebu sebelum membagi  dan  menyerahkan kembali tanah yang disewa perkebunan ke penduduk desa (Breman, 1986: 80). Mereka adalah pengabdi setia parapenghisap asing. Perannya tidak banyak berbeda dengan pemerintahan negara-negara Dunia Ketiga saat ini terhadap kekuatan kapitalis internasional.
Untuk menghindari perpindahan pekerja dari wilayah-wilayah yang pasokan tenaga kerjanya pas-pasan, pemerintah mengeluarkan aturan yang mempersulit perpindahan. Salah satu aturan itu ialah mereka yang hendak pindah harus punya saudara dengan penduduk di desa yang dituju. Tujuan aturan ini jelas. Selain untuk menyedikitkan kemungkinan perpindahan, dengan mengikatkan mereka kepada penduduk desa yang dituju, mereka tidak bisa lepas dari jerat kerja paksa dan kerja upahan bagi kejayaan kaum kapitalis perkebunan. Mereka yang berhasil terlepas dari eksploitasi melalui kekuasaan kepala desa tetap tidak bisa lenggang begitu saja hidupnya. Dengan bekal Staatsblad 1838 No. 45, pemerintah kolonial bisa menangkapi orang-orang tanpa lahan  yang  tidak  memenuhi wajib kerja serta kaum gelandangan yang terusir dari pedesaan. Mereka dikriminalisasi secara legal dan apabila tertangkap boleh dieksploitasi tanpa bayaran. Mereka dimasukkan ke dalam barak-barak kerja  paksa  yang  diabdikan kerjanya kepada pemerintah kolonial  dan  kaum  kapitalis (Breman, 1986: 32). Seperti halnya Poor Law Amandement di awal industrialisasi Inggris, Staatsblad 1838 No. 45 menjadi semacam mesin legal di babak awal bagi timbulnya pasar tenaga kerja yang lebih luwes dan merdeka (Breman, 1986: 33). Aturan ini memaksa orang-orang tanpa lahan memilih menjadi buruh upahan dengan upah murah atau menjadi budak.
Apabila pasokan tenaga kerja tetap kurang, para pedagang budak sudah siap sedia dengan rombongan budak atau buruh-buruh setengah budak yang dipasok dari daerah pedalaman Nusantara. Marx menggambarkan: Tidak ada yang lebih jelas daripada sistem penculikan orang di Celebes dalam rangka mendapatkan budak-budak untuk Jawa. Penculik dilatih untuk tujuan ini. Penculik, juru bahasa dan penjual adalah agen-agen utama bisnis ini, para pangeran pribumi merupakan pedagang utamanya. Orang-orang muda yang berhasil diculik disembunyikan di penjara-penjara bawah tanah rahasia di Celebes sampai mereka siap diangkut  kapal-kapal  budak. Sebuah laporan resmi mengatakan : “Ini satu kota Macassar, misalnya, penuh dengan penjara-penjara rahasia, satu lebih mengerikan dari yang lainnya, penuh-padat dengan kesialan, korban-korban keserakahan dan kekejaman terikat belenggu, direnggut paksa dari keluarga-keluarga mereka(Marx, 1990: 916).
Bedol desa atau penangkapan orang-orang, lalu memindahkan mereka ke perkebunan atau pertambangan-pertambangan yang memerlukan pasokan tenaga kerja bisa juga terjadi apabila para bangsawan setempat memilih untuk tidak turut serta dalam permainan, melakukan perlawanan, lalu kalah. Tenaga kerja buruh-buruh setengah budak ini menjadi semacam pampasan perang yang bisa dijual kepada siapapun kapitalis yang memerlukan pasokan buruh murah. Tentang salah satu wilayah yang kaum bangsawannya dikenal pembangkang, Marx menulis: Banjuwangi, sebuah propinsi Jawa, terhitung berpenduduk 80.000 jiwa pada 1750 dan hanya 18.000 pada 1811. Itulah [hasil] usaha yang penuh damai (Marx, 1990: 916).
Penerbitan Agrarische Wet 1870, selain penting untuk membatasi akses kaum tani atas lahan-lahan yang belum digarap, juga vital untuk mendapatkan pendapatan tahunan dari pajak. Tidak seperti kebijakan semasa Tanam Paksa yang kolot, kaum borjuis liberal di parlemen Belanda paham betul bahwa eksploitasi modern harus menyertakan juga perpajakan modern. Tanah-tanah dipajaki. Mereka yang tercatat sebagai pemilik lahan diwajibkan membayar sejumlah tertentu uang kepada pemerintah. Pemerintah kolonial dan raja-raja lokal bawahan mereka menggunakan dana  pajak untuk membiayai birokrasi dan, terutama, untuk membayar hutang mereka kepada kaum kapitalis keuangan. Di dalam skema perpajakan modern, mengalirlah uang dari kapitalis ke pemerintah kolonial dalam  rupa hutang publik dan penyewaan tanah negara, lalu ke rakyat pekerja lewat sewa tanah dan upah. Dari sana uang itu kembali ke kapitalis dalam bentuk pengembalian pinjaman bunga dan laba.
Dalam pandangan Marx, sistem perpajakan modern merupakan satu dari segi empat eksploitasi kapitalis di wilayah koloni selain lahan koloni, hutang nasional dan sistem proteksi. Sistem perpajakan modern memanfaatkan kekuasaan negara, kekuatan masyarakat yang terpusat dan terorganisasi, untuk mempercepat, seperti halnya di dalam kandang eraman, proses peralihan corak produksi feodal menjadi corak kapitalis, dan memendekkan peralihannya. Pemaksaan adalah istri setiap masyarakat tua yang sedang mengandung yang baru. Ia sendiri sebuah kekuatan ekonomi, simpul Marx (1990: 915-916).
Di tingkat kehidupan sehari-hari, perpajakan modern membawa kehidupan  penduduk Jawa ke dalam ekonomi uang. Sementara itu, dalam kesimpulan Jan Breman, ekonomi uang yang sedang bertumbuh membantu pemerintah kolonial dalam merapatkan genggamannya pada golongan tani tak bertanah dan untuk memaksanya agar menyerah kepada kebutuhan ekonomi pasar (Breman, 1986: 40). Dalam  konteks  perluasan pasar untuk barang-barang industri Eropa, pemaksaan perekonomian uang modern lewat sistem upah, sewa, dan sistem pajak modern seiring dengan penghancuran corak produksi rumahtangga tradisional merupakan jalan pembukaan pasar- pasar baru. Bagaimanapun juga realisasi nilai-lebih dari produk- produk industri yang dihasilkan pabrik-pabrik kapitalis seperti tekstil dan pakaian hanya dimungkinkan oleh perluasan ketergantungan penduduk suatu wilayah kepada pasar kapitalis. Barang-barang industri tekstil Belanda dari Twente, misalnya, menggantikan industri tenun rumahan pribumi dan mendesak  kaum  tani  Jawa  lebih jauh menuju perekonomian uang(Wertheim, 1956: 80). (Dede Mulyanto)