Home AD

Thursday, April 14, 2016

KARBON DALAM TANAH PERTANIAN



1.   Sejarah Kehilangan Karbon
Tanah merupakan pol karbon yang penting didunia yang meliputi 1.500-2.000 Pg (1Pg = petagram = 1 milyar ton) dan 800-1.000 Pg sebagai inorganik tanah dalam bentuk karbonat (Eswaran et al, 1993). Kandungan karbon organik tanah umumnya tinggi dalam tanah alami di bawah vegetasi rumput atau hutan. Konversi hutan dan padang rumput menjadi areal budidaya tanaman dan peternakan mengakibatkan hilangnya karbon organik tanah. Lahan padang rumput dan hutan mengalami kehilangan karbon organik tanah 20-50% kandungan awalnya setelah diolah selama 40-50 tahun. Kehilangan karbon organik tanah masa lalu sering berkaitan dengan tingkat produksi yang rendah, pengolahan tanah yang intensif, penggunaan pupuk dan amelioran organik yang kurang memadai dan kurangnya perlindungan tanah dari erosi dan proses degradasi lahan yang lain (Cole et al   , 1993 dan Lal, 1995).
Perkiraan kehilangan karbon organik tanah pada masa lalu dari lahan pertanian di dunia (crop lands) berkisar dari 41 Pg (Houghton and Skole, 1990) hingga 55 Pg (Cole, 1996). Perkiraan kehilangan karbon organiK tanah di atas menjadi level acuan (reverence level) terhadap potensial tingkat pemulihan atau penyerapan karbon kembali oleh tanah pada lahan pertanian dengan perbaikan pengelolaan. Dengan asumsi penyerapan kembali 50% dari kehilangan karbon organik pada masa lampau, potensial penyerapan kembali tanah pertanian di dunia dalam 50-100 tahun mungkin  pada tingkat 20-30 Pg (Cole, 1996). Jumlah tersebut sama dengan 7-11% emisi dari pembakaran bahan bakar fosil pada tahun 1990 selama 50 tahun.
2.   Kecepatan Perubahan Karbon Tanah
Sebagian besar kehilangan karbon dari tanah pertanian terjadi selama dekade awal setelah pengolahan tanah. Dengan waktu, kecepatan kehilangan karbon menurun sejalan dengan semakin menurunnya pol karbon yang mudah terdekomposisi dan adanya perbaikan secara berangsur pengelolaan lahan. Sebagai konsekuensinya, sebagian besar tanah pertanian sekarang hampir hampir netral dalam kaitannya dengan emisi atau penyerap karbon. Berdasarkan simulasi komputer (Smith et al, 1997) menghasilkan bahwa kehilangan karbon organik dari tanah pertanian di Kanada rata-rata hanya 40 kg/ha/th pada tahun 1990 dan rata-rata kehilangan tersebut terus turun. Evaluasi terhadap kehilangan karbon telah berkurang dan tanah sekarang sudah mulai mengakumulasi karbon kembali. Penemuan ini dan dengan analisis tanah langsung dari peneliti lain, memberikan gambaran potensial untuk mencapai kembali tingkat kandungan karbon masa lalu yaitu transformasi tanah dari penghasil menjadi penyerap untuk CO2 atmosfer.
Praktek Pengelolaan (per unit area)
Kelayakan *)
Relatif perolehan karbon
Lahan pertanian


-Adopsi minimum/tanpa olah tanah
T
S (areal luas)
-Perbaikan nutrisi tanaman dan peningkatan produksi
T
R
-Rotasi dengan tanaman pakan ternak.
S
S
-Perbaikan varietas
H
S
-Amandemen bahan organik
S
S
-Irigasi
R
T
Lahan yang divegetasikan kembali


-Rumput tahunan
R
T
-Vegetasi penutup tanah
T
T
-diubah ke woodland
R
T
Padang gembalaan


-Perbaikan cara gembalaan
S
S
-Aplikasi pupuk
T
S
-Penggunaan spesies/varietas unggul
S
S
-Irigasi
R
S
Lahan terdegradasi


-Diubah ke vegetasi awal
S
T
-Ditanami fast growing crop
S
T
-Aplikasi pupuk
T
S
-Aplikasi amandemen pupuk organik
S
T
-Drainase/pencucian tanah salin
R
R
Keterangan : T = Tinggi, S = Sedang, R = Rendah
  
3.   Intensifikasi Sistem Pertanaman
Banyak sistem pertanaman diintensifkan untuk meningkatkan aktivitas fotosintesis. Penggunaan tanaman penutup tanah rumput-rumputan, semak dan terutama pohon-pohonan dapat meningkatkan karbon tanah karena tanaman tersebut meningkatkan periode pertumbuhan aktif dan menghasilkan proporsi yang lebih besar karbon dalam tanah (Paustian et al, 1997a). Intensifikasi sistem pertanaman tidak hanya meningkatkan jumlah karbon yang masuk ke dalam tanah, tetapi juga menekan laju dekomposisi melalui pendinginan akibat penaungan.
4.   Aplikasi Tindakan Agronomi
Aplikasi pemupukan dan pemberian amelioran bahan organik meningkatkan penyerapan karbon dengan peningkatan produksi dan jumlah residu yang dikembalikan ke dalam tanah (Paustian et al, 1976b). Tindakan agronomi yang lain mampu meningkatkan produksi termasuk perbaikan varietas tanaman, pengendalian hama yang lebih baik, cara pemberian pupuk yang lebih efisien, dan perbaikan pengelolaan air dapat meningkatkan karbon tanah dengan menyediakan jumlah residu yang lebih besar yang dapat dikembalikan ke dalam tanah.
5.   Revegetasi Lahan
Yaitu melalui rotasi penggembalaan dan penggunaan pupuk, irigasi dan penggunaan benih dari spesies yang unggul.
6.   Peningkatan Karbon pada Lahan Terdegradasi
Problem degradasi tanah dan lingkungan umumnya lebih parah di daerah tropis daripada temperate, di daerah kering daripada daerah basah, dan iklim panas daripada dingin. Diperkirakan diseluruh dunia tanah terdegradasi sekitar 2 milyar hektar dan 75% berada di daerah tropis (Oldeman, 1994). Degradasi tanah dapat disebabkan oleh banyak proses, termasuk erosi tanah yang dipercepat, salinisasi, kerusakan karena pertambangan dan aktivitas perkotaan, penggembalaan berlebih dan kontaminasi dari polutan industri (Lal, 1997).
Perbaikan terhadap lahan terdegradasi meliputi penanaman dengan vegetasi asal, penanaman tanaman penutup tanah yang cepat tumbuh, penggunaan pupuk organik dan anorganik. Apabila bahan organik tanah keadaannya telah mengalami penurunan yang sangat drastis, sedangkan kemampuan tanah untuk mengikat bahan organik masih berfungsi maka perbaikan dengan peningkatan bahan organik tanah. Tingkat penyerapan karbon melalui restorasi tanah sangat ditentukan oleh sifat-sifat tanah, metode restorasi yang dilakukan, karakteristik eko-regional, dan pol karbon organik awal di bawah kondisi alaminya.

PENYIMPANAN KARBON DALAM TANAH (Alternatif Carbon Sink dari Pertanian Konservasi)



Tanah merupakan penyimpan karbon terbesar dalam ekosistem daratan dan memegang peran penting dalam siklus karbon global. Tanah menyimpan sekitar 1400 x 1015 gC (pada skala global) dan merupakan dua kali lipat biomassa hidup ataupun karbon atmosfer (Post et al, 1990). Penyerapan karbon oleh tanah merupakan salah satu cara yang diperlukan untuk mengurangi akumulasi karbon di dalam atmosfer, sehingga mampu mengurangi perubahan iklim (climatic change). Penyerapan karbon ke tanah termasuk pengurangan karbon atmosfer yang diterima dibawah Kyoto Protocol.
Penyimpanan karbon dalam tanah merupakan penyimpanan karbon dalam bentuk yang relatif stabil, baik melalui fiksasi CO2 atmosfer secara langsung maupun tidak langsung. Pengikatan karbon secara langsung terjadi reaksi senyawa inorganik kalsium dan magnesium karbonat, sedangkan secara tidak langsung melalui fotosintesis tanaman yang mampu merubah CO2 atmosfer menjadi biomassa tanaman. Secara berangsur biomassa tanaman ini secara tidak langsung tersimpan dalam bentuk bahan organik tanah selama proses dekomposisi. Jumlah karbon yang tersimpan pada tanah merupakan refleksi keseimbangan yang telah dicapai dalam jangka panjang antara mekanisme pengambilan dan pelepasan karbon. Banyak metode agronomi, kehutanan dan konservasi termasuk sebagai pengelolaan lahan yang dapat meningkatkan fiksasi karbon di dalam tanah.
Lahan tanaman budidaya, padang gembalaan, dan hutan dapat dikelola baik untuk produksi maupun penyimpanan karbon. Kedua pendekatan pengelolaan lahan tersebut dapat dicapai dengan penerapan pengelolaan lahan yang sudah banyak dikenal seperti pengelolaan tanah konservasi, pengelolaan unsur hara yang efisien, pengontrolan erosi, penggunaan tanaman penutup tanah, dan restorasi lahan-lahan terdegradasi. Konservasi lahan marjinal untuk hutan dan padang penggembalaan dapat dengan cepat meningkatkan penyimpanan karbon dalam tanah. 
Penelitian untuk dapat mengkuantifikasi penyimpanan karbon yang dapat dihasilkan dari prkatek pengelolaan lahan diatas sangat diperlukan, sehingga dapat menghasilkan suatu sistem penghitungan penyimpanan karbon yang dapat diterima secara keilmuan (a scientifically defensible soil carbon sequestration accounting system) maupun sesuai dengan sektor bisnis, sehingga karbon tanah menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan.

INFORMASI PENDALAMAN SEPUTAR KUALITAS BAHAN ORGANIK



Jika kita berhadapan dengan suatu bahan organik disertai informasi karakteristik kimianya (data analisis kimia)
1.  Bila kandungan N lebih dari 2,5% bahan organik ini dikatakan berkualitas tinggi, maka ada dua kemungkinan :
a. Bila kandungan lignin kurang dari 15% dan polyphenol kurang dari 4%, maka :
1) Bahan organik tersebut dibenamkan bersamaan dengan saat tanam tanaman semusim, sebagai pupuk in-situ.     
2) Bahan organik tersebut jangan dicampur dengan pupuk atau bahan organik berkualitas tinggi, karena akan hilang percuma.
b. Bila kandungan lignin lebih dari 15% :
Bahan organik  tersebut dicampur dengan pupuk atau bahan organik lain yang berkualitas tinggi (kandungan N lebih dari 2,5%)
2. Bila kandungan N kurang dari 2.5%, dibagi dua kelompok berdasarkan kandungan ligninnya:
a. Bila kandungan lignin kurang dari 15%, maka direkomendasikan :
1)  Bahan organik tersebut dicampur dengan pupuk atau ditambahkan pada kompos.
2)  Bahan tersebut jangan disebar pada permukaan tanah untuk menekan evaporasi dan erosi, karena cepat melapuk sehingga cepat hilang dan tidak dapat menjaga kondisi air tanah.
b.  Bila kandungan lignin lebih dari 15%, maka :
Bahan organik ini dapat disebar pada permukaan tanah sebagai mulsa untuk menekan  evaporasi dan erosi.
   Prosedur sederhana untuk menentukan cara pengelolaan bahan organik yang tepat seperti contoh  (Gambar 4.7) sebenarnya dapat dikembangkan sendiri oleh para praktisi dan petani berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, karena tidak semua kasus bisa mengikuti pola aturan ilmiah di atas. Sebagai contoh, sebuah pedoman serupa dikembangkan oleh petani di Zimbabwe berdasarkan pengalaman dan kebutuhan mereka (Giller, 1999). Pedoman ini  didasarkan pada karakteristik bahan secara sederhana yaitu warna daun (Gambar 4.7 b). Penggunaan pedoman ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Bila daun berwarna hijau ,ada dua kelompok :
a. Apabila daun tidak berserat dan mudah hancur, terasa sangat kelat (Bahasa Jawa : sepet), maka direkomendasikan :
Bahan organik tersebut dapat dibenamkan in-situ bersamaan dengan waktu tanam tanaman semusim.
b. Apabila daun berserat dan tidak mudah hancur, tidak terasa kelat, maka direkomendasikan :
1) Bahan organik tersebut jangan dibenamkan in-situ bersamaan dengan waktu tanam tanaman semusim.
2) Bahan tersebut sebaiknya dicampur dengan pupuk atau bahan organik lain yang berkualitas tinggi.  
2.  Bila daun berwarna kuning dipisahkan menjadi dua kelompok :
a.  Apabila mudah hancur sperti tepung, maka direkomendasikan :
1) Bahan organik tersebut dicampur dengan pupuk atau ditambahkan pada kompos.
2) Bahan organik tersebut jangan disebar pada permukaan tanah sebagai mulsa karena bahan organik cepat melapuk sehingga tidak dapat untuk menekan evaporasi dan erosi.  
b. Apabila tidak mudah hancur bila kering, maka direkomendasikan :
        Bahan organik tersebut dapat disebar pada permukaan tanah sebagai mulsa untuk menekan evaporasi dan erosi.

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA PENYERAPAN HARA



Pada penyerapan aktif dibutuhkan sejumlah energi respirasi (berupa ADP, NAD+dan NADP+) untuk pelaksanaannya, maka faktor-faktor yang memperngaruhi proses respirasi secara tidak langsung juga akan memengarugi proses penyerapan hara. Faktor-faktor ini meliputi ketersediaan substrat untuk respirasi, temperatur dan oksigen.
1. Substrat merupakan bahan yang akan diurai menjadi senyawa sederhana melalui serangkaian reaksi respirasi, meliputi pati, fruktan dan gula. Oleh karena itu jika ketersediaan substrat ini rendah, laju respirasi juga rendah, sehingga energi kimiawi yang dihasilkan dari penguraian bahan-bahan ini juga rendah. Pada kondisi starvasi (defisiensi bahan cadangan nutrisi) sangat parah, protein juga akan dioksidasi menjadi asam-asam amino penyusunnya. Karena unsur N merupakan penyusun utama protein, gejala defisiensi N yang ditandai menguningnya dedaunan tua merupakan konsekuensi adanya oksidasi protein dan senyawa mengandung N pada kloroplast.
2. Nilai Q10 untuk respirasi pada temperatur 50-2500C adalah 2,0-2,5 yang berarti laju respirasi pada kisaran temperatur ini akan meningkat 2,0-2,5 kali lipat utnuk setiap kenaikan temperatur sebesar 1000C. Jika temperatur sebesar 3500C, laju respirasi tetap meningkat tetapi dengan nili Q10 yang lebih rendah sebagai konsekuensi adanya penetrasi oksigen melalui kutikula atau peridermis yang lebih rendah dari kebutuhan. Pada temperatur yang lebih tinggi lagi (sekitar 4000C), laju respirasi mulai menurun sebagai konsekuensi sebagian enzim-enzim yang terlibat mulai menderita denaturasi.
3. Ketersediaan oksigen memengaruhi laju respirasi tetapi dengan efek yang bervariasi baik antar spesies maupun antar organ tanaman. Fluktuasioksigen di atmosfer maupun pada tanah-tanah yang poreus (beraerasi baik) tidak akan memengaruhi laju respirasi karena kelimpahannya. Mitokondria tetap berfungsi normal pada kadar oksigen serendah 0,05%, padahal di udara tersedia 21%, karena tingginya afinitas sitokrom oksidase terhadap oksigen. Fluktuasi oksigen mulai berpengaruh terhadap respirasi akar pada tanah-tanah yang beraerasi buruk, baik akibat bertekstur liat, pemadatan tanah batas akibat jenuh air, sehingga ketersediaan oksigen terbatas akibat laju diffusi oksigen dalam air yang jauh lebih lambat dari udara.
Pengaruh pemadatan terhadap penyerapan hara yang dikaitkan dengan terhambatnya respirasi bersifat spesifik, lawton menyimpulkan bahwa laju penurunan serapan K lebih besar dibanding laju penurunan serapan P atau N. Pada jagung, pengaruh minimal hanya terhadap serapan Ca .
Disamping laju respirasi, penyerapan hara ditentukan oleh jumlah dan ketersediaan hara dalam tanah, serta intensitas dan ekstensitas sistem perakaran tanaman yang terkait dengan taraf dan laju pertumbuhan tetanaman. Demikian juga dengan intensitas dan ekstensitas interaksi akar –mikroorganisme tanah. Adanya simbiosis fungi ektodan /atau endo-mikoriza-akar, lewat pembentukan pipa eksternal yang berfungsi sebagai bulu-bulu akar dan enzim ekstraseluler fosfatase, sangat membantu tanaman dalam penyerapan unsur-unsur hara terutama P. Demikian juga, jika ada fiksasi N-simbiotik (seperti Azospirillum brasiliense) terhadap penyerapan N.