Home AD

Tuesday, April 12, 2016

POLA-POLA KEMITRAAN

Dalam rangka merealisasikan kemitraan sebagai wujud dari keterkaitan usaha, maka diselenggarakan melalui pola-pola yang sesuai dengan sifat  dan tujuan usaha yang dimitrakan adalah sebagai berikut :
1.  Pola Inti Plasma
Dalam pola inti plasma, Usaha Besar dan Usaha Menengah bertindak sebagai inti membina dan mengembangkan Usaha Kecil sebagai plasma. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 27 huruf (a) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995, yang dimaksud dengan pola inti plasma adalah “hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar sebagai inti membina dan mengembangkan usaha kecil yang menjadi plasmanya dalam menyediakan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi, perolehan, penguasaan dan peningktan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha”. Kerjasma inti plasma akan diatur melalui suatu perjanjian kerjasama antara inti dan plasma. Dalam program inti plasma ini diperlukan keseriusan dan kesiapan, baik pada pihak usaha kecil selaku pihak plasma yang mendapat bantuan dalam upaya mengembangkan usahanya, maupun pada pihak usaha besar atau usaha menengah yang mempunyai tanggungjawab sosial untuk membina dan mengembangkan usaha kecil sebagai mitra usaha untuk jangka panjang. Selain itu juga sebagai suatu upaya untuk mewujudkan kemitraan usaha pola inti plasma yang mampu memberdayakan ekonomi rakyat sangat dibutuhkan adanya kejelasan peran masing-masing pihak yang terlibat. Adapun pihak-pihak tersebut antara lain : (1) Pengusaha Besar (Pemrakarsa), (2) Pengusaha Kecil (Mitra Usaha) dan (3) Pemerintah. Peran pengusaha besar selaku (inti) sebagaimana tersebut di atas tentunya juga harus diimbangi dengan peran usaha kecil (plasma) yaitu meningkatkan kemampuan manajemen dan kinerja usahanya yang berkelanjutan serta memanfaatkan dengan sebaik-baiknya berbagai bentuk pembinaan dan bantuan yang diberikan oleh usaha besar dan atau usaah menengah. Selanjutnya untuk peran pemerintah akan dibahas lebih lanjut pada sub bab yang tersendiri.


2.  Pola Subkontrak
Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (b) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995 bahwa “pola subkontrak adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar sebagai bagian dari produksinya.
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dalam kemitraan dengan pola subkontrak, bagi perusahaan kecil antara lain adalah dapat menstabilkan dan menambah penjualan, kesempatan untuk mengerjakan sebagian produksi dan atau komponen, bimbingan dan kemampuan teknis produksi atau manajemen, perolehan, pengusaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan. Sedangkan bagi perusahaan besar adalah dapat memfokuskan perhatian pada bagian lain, memenuhi kekurangan kapasitas, memperoleh sumber pasokan barang dengan harga yang lebih murah daripada impor, selain itu juga dapat meningkatkan produktivitas dan kesempatan kerja baik pada perusahaan kecil maupun perusahaan besar.
3.  Pola Dagang Umum
Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (c) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995, Pola Dagang Umum adalah “hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Menengah atau Usaha Besar memasarkan hasil produksi Usaha Kecil atau Usaha Kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar mitranya”. Dengan demikian maka dalam pola dagang umum, usaha menengah atau usaha besar memasarkan produk atau menerima pasokan dari usaha kecil mitra usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar mitranya.
4.  Pola Keagenan
Berdasarkan penjelasan Pasal 27 huruf (e) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995, pola keagenan adalah “hubungan kemitraan, yang di dalamnya Usaha Kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa Usaha Menengah atau Usaha Besar mitranya”. Dalam pola keagenan, usaha menengah dan atau usaha besar dalam memasarkan barang dan jasa produknya memberi hak keagenan hanya kepada usaha kecil. Dalam hal ini usaha menengah atau usaha besar memberikan keagenan barang dan jasa lainnya kepada usaha kecil yang mampu melaksanakannya. Selanjutnya Munir Fuady (1997:165), menyatakan bahwa pola keagenan merupakan hubungan kemitraan, dimana pihak prinsipal memproduksi atau memiliki sesuatu, sedangkan pihak lain (agen) bertindak sebagai pihak yang menjalankan bisnis tersebut dan menghubungkan produk yang bersangkutan langsung dengan pihak ketiga. Seorang agen bertindak untuk dan atas nama prinsipal, sehingga pihak prinsipal bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan oleh seorang agen terhadap pihak ketiga, serta mempunyai hubungan tetap dengan pengusaha.
5.  Pola Waralaba
Penjelasan Pasal 27 Huruf (d) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 1995, Pola Waralaba adalah “ hubungan kemitraan, yang di dalamnya pemberi waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi perusahaannya kepada penerima waralaba dengan disertai bantuan bimbingan manajemen”.
Berdasarkan pada ketentuan seperti tersebut di atas, dalam pola waralaba pemberi waralaba memberikan  hak untuk menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri usaha kepada penerima waralaba. Dengan demikian, maka dengan pola waralaba ini usaha menengah dan atau usaha besar yang bertindak sebagai pemberi waralaba menyediakan penjaminan dan atau menjadi penjamin kredit yang diajukan oleh usaha kecil sebagai penerima waralaba kepada pihak ketiga.

TUJUAN KEMITRAAN

1.  Tujuan dari Aspek Ekonomi
Jafar (1999 : 63) menyatakan bahwa dalam kondisi yang ideal, tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan kemitraan secara lebih kongkrit yaitu :
a.      Meningkatkan pendapataan usaha kecil dan masyarakat.
b.   Meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan;
c.    Meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dan usaha kecil;
d.    Meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan, wilayah dan nasional;
e.      Memperluas kesempatan kerja;
f.       Meningkatkan ketahanan ekonomi nasional;
2.  Tujuan dari Aspek Sosial dan Budaya
Kemitraan usaha dirancang sebagai bagian dari upaya pemberdayaan usaha kecil. Pengusaha besar berperan sebagaai faktor percepatan pemberdayaan usaha kecil sesuai kemampuan dan kompetensinya dalam mendukung mitra usahanya menuju kemandirian usaha, atau dengan perkataan lain kemitraan usaha yang dilakukan oleh pengusaha besar yang telah mapan dengan pengusaha kecil sekaligus sebagai tanggung jawab sosial pengusaha besar untuk ikut memberdayakan usaha kecil agar tumbuh menjadi pengusaha yang tangguh dan mandiri.
Adapun sebagai wujud tanggung jawab sosial itu dapat berupa pemberian pembinaan dan pembimbingan kepada pengusaha kecil, dengan pembinaan dan bimbingan yang terus menerus diharapkan pengusaha kecil dapat tumbuh dan berkembang sebagai komponen ekonomi yang tangguh dan mandiri. Dipihak lain dengan tumbuh berkembangnya kemitraan usaha ini diharapkan akan disertai dengan tumbuhnya pusat-pusat ekonomi baru yang semakin berkembang sehingga sekaligus dapat merupakan upaya pemerataan pendapatan sehingga dapat mencegah kesenjangan sosial.
Julius Bobo ( 2003 : 53) Kesenjangan itu diakibatkan oleh pemilikan sumberdaya produksi dan produktivitas yang tidak sama di antara pelaku ekonomi. Oleh karena itu, kelompok masyarakat dengan kepemilikan faktor produksi terbatas dan produktivitas rendah biasanya akan menghasilkan tingkat kesejahteraan yang rendah pula.


3.  Tujuan dari Aspek Teknologi
Secara faktual, usaha kecil biasanya mempunyai skala usaha yang kecil dari sisi modal, penggunaan tenaga kerja, maupun orientasi pasarnya. Demikian pula dengan status usahanya yang bersifat pribadi atau kekeluargaan; tenaga kerja berasal dari lingkungan setempat; kemampuan mengadopsi teknologi, manajemen, dan adiministratif sangat sederhana; dan struktur permodalannya sangat bergantung pada modal tetap. (Julius Bobo, 2003 :53)
Sehubungan dengan keterbatasan khususnya teknologi pada usaha kecil, maka pengusaha besar dalam melaksanakan pembinaan dan pengembangan terhadap pengusaha kecil meliputi juga memberikan bimbingan teknologi (Julius Bobo, 2003: 55). Teknologi dilihat dari arti kata bahasanya adalah ilmu yang berkenaan dengan teknik. Oleh karena itu bimbingan teknologi yang dimaksud adalah berkenaan dengan teknik berproduksi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi. (Gibson, Donnelly & Ivancevich, 2003: 4)
4.  Tujuan dari Aspek Manajemen

Dalam Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia,hal  524, dinyatakan bahwa  manajemen  merupakan proses yang dilakukan oleh satu atau lebih individu untuk mengkoordinasikan berbagai aktivitas lain untuk mencapai hasil-hasil yang tidak bisa dicapai apabila satu individu bertindak sendiri. Sehingga ada 2 (dua) hal yang menjadi pusat perhatian yaitu : Pertama, peningkatan produktivitas individu yang melaksanakan kerja, dan Kedua, peningkatan produktivitas  organisasi di dalam kerja yang dilaksanakan. Pengusaha kecil yang umumnya tingkat manajemen usaha rendah, dengan kemitraan usaha diharapkan ada pembenahan manajemen, peningkatan kualitas sumber daya manusia serta pemantapan organisasi.

UNSUR-UNSUR KEMITRAAN

Julius Bobo (2003:182)  menyataka, bahwa tujuan utama kemitraan adalah untuk mengembangkan pembangunan yang mandiri dan berkelanjutan (Self-Propelling Growth Scheme) dengan landasan dan struktur perekonomian yang kukuh dan berkeadilan dengan ekonomi rakyat sebagai tulang punggung utamanya. Selanjutnya dikatakan; kemitraan itu mengandung beberapa unsur pokok yang merupakan kerjasama usaha dengan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling memerlukan yaitu :


1.      Kerjasama Usaha
Dalam konsep kerjasama usaha melalui kemitraan ini  jalinan kerjasama yang dilakukan antara usaha besar atau menengah dengan usaha kecil didasarkan pada kesejajaran kedudukan atau mempunyai derajat yang sama terhadap kedua belah pihak yang bermitra. Ini berarti bahwa hubungan kerjasama yang dilakukan antara pengusaha besar atau menengah dengan pengusaha kecil mempunyai kedudukan yang setara dengan hak dan kewajiban timbal balik sehingga tidak ada pihak yang dirugikan, tidak ada yang saling mengekspoitasi satu sama lain dan tumbuh berkembangnya rasa saling percaya di antara para pihak dalam mengembangkan usahanya.
2.     Antara Pengusaha Besar,  Menengah  Dengan Pengusaha Kecil
Hubungan kerjasama melalui kemitraan ini diharapkan pengusaha besar atau menengah dapat menjalin hubungan kerjasama yang saling menguntungkan dengan pengusaha kecil atau pelaku ekonomi lainnya, sehingga pengusaha kecil akan lebih berdaya dan tangguh di dalam berusaha demi tercapainya kesejahteraan.
3.     Pembinaan dan Pengembangan
Pada dasarnya  hubungan kemitraan antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil adalah adanya bentuk pembinaan dari pengusaha besar terhadap pengusaha kecil atau koperasi yang tidak ditemukan pada hubungan dagang biasa. Bentuk pembinaan dalam kemitraan antara lain pembinaan di dalam mengakses modal yang lebih besar, pembinaan manajemen usaha, pembinaan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), pembinaan manajemen produksi, pembinaan mutu produksi serta menyangkut pula pembinaan dalam pengembangan aspek institusi kelembagaan, fasilitas alokasi serta investasi.
4.     Prinsip Kemitraan
a.    Prinsip Saling Memerlukan
Menurut John L. Mariotti dalam Jafar (1999 : 51)  kemitraan merupakan suatu rangkaian proses yang dimulai dengan mengenal calon mitranya, mengetahui posisi keunggulan dan kelemahan usahanya. Pemahaman akan keunggulan yang ada akan menghasilkan sinergi yang berdampak pada efisiensi, turunnya biaya produksi dan sebagainya. Penerapannya dalam kemitraan, perusahaan besar dapat menghemat tenaga dalam mencapai target tertentu dengan menggunakan tenaga kerja yang dimiliki oleh perusahaan yang kecil. Sebaliknya perusahaan yang lebih kecil, yang umumnya relatif lemah dalam hal kemampuan teknologi, permodalan dan sarana produksi melalui teknologi dan sarana produksi yang dimiliki oleh perusahaan besar. Dengan demikian sebenarnya ada saling memerlukan atau ketergantungan diantara kedua belah pihak yang bermitra.
b.    Prinsip Saling Memperkuat
Dalam kemitraan usaha, sebelum kedua belah pihak memulai untuk bekerjasama, maka pasti ada sesuatu nilai tambah yang ingin diraih oleh masing-masing pihak yang bermitra. Nilai  tambah ini selain diwujudkan dalam bentuk nilai ekonomi seperti peningkatan modal dan keuntungan, perluasan pangsa pasar, tetapi juga ada nilai tambah yang non ekonomi seperti peningkatan kemapuan manajemen, penguasaan teknologi dan kepuasan tertentu. Keinginan ini merupakan konsekuensi logis dan alamiah dari adanya kemitraan. Keinginan tersebut harus didasari sampai sejauh mana kemampuan untuk memanfaatkan keinginan tersebut dan untuk memperkuat keunggulan-keunggulan yang dimilikinya, sehingga dengan bermitra terjadi suatu sinergi antara para pelaku yang bermitra sehingga nilai tambah yang diterima akan lebih besar. Dengan demikiaan terjadi saling isi mengisi atau saling memperkuat dari kekurangan masing-masing pihak yang bermitra.
Dengan motivasi ekonomi tersebut maka prinsip kemitraan dapat didasarkan pada saling memperkuat. Kemitraan juga mengandung makna sebagai tanggung jawab moral, hal ini disebabkan karena bagaimana pengusaha besar atau menengah mampu untuk membimbing dan membina pengusaha kecil mitranya agar mampu (berdaya) mengembangkan usahanya sehingga menjadi mitra yang handal dan tangguh didalam meraih keuntungan untuk kesejahteraan bersama. Hal ini harus disadari juga oleh masingmasing pihak yang bermitra yaitu harus memahami bahwa mereka memiliki perbedaan, menyadari keterbatasan masing-masing, baik yang berkaitan dengan manajemen, penguasaan Ilmu Pengetahuan maupun penguasaan sumber daya, baik Sumber Daya Alam maupun Sumber Daya Manusia (SDM), dengan demikian mereka harus mampu untuk saling isi mengisi serta melengkapi kekurangankekurangan yang ada.
c.    Prinsip Saling Menguntungkan
Salah satu maksud dan tujuan dari kemitraan usaha adalah “win-win solution partnership” kesadaran dan saling menguntungkan. Pada kemitraan ini tidak berarti para partisipan harus memiliki kemampuan dan kekuatan yang sama, tetapi yang essensi dan lebih utama adalah adanya posisi tawar yang setara berdasarkan peran masing-masing. Pada kemitraan usaha terutama sekali tehadap hubungan timbal balik, bukan seperti kedudukan antara buruh dan majikan, atau terhadap atasan kepada bawahan sebagai adanya pembagian resiko dan keuntungan proporsional, disinilah letak kekhasan dan karakter dari kemitraan usaha tersebut.
Berpedoman pada kesejajaran kedudukan atau memiliki derajat yang setara bagi masing-masing pihak yang bermitra, maka tidak ada pihak yang tereksploitasi dan dirugikan tetapi justru terciptanya rasa saling percaya diantara para pihak sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan keuntungan atau pendapatan melalui pengembangan usahanya.

KEMITRAAN USAHA

Hitt  (2001; 54) memberikan pengertian bahwa kemitraan merupakan terjemahan dari kata partneship/aliansi, artinya kemitraan antara perusahaan-perusahaan yang mengkombinasikan sumber daya, kapabilitas untuk memenuhi kepentingan bersama dalam perancangan, produksi, atau distribusi barang dan jasa. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995, mendefinisikan  kemitraan adalah kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan prinsip-prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Sejalan dengan definisi di atas Marbun (1996; 34) mengemukakan bahwa konsep kemitraan merupakan terjemahan dari kebersamaan (partnership) atau bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungannya sesuai dengan konsepnya yaitu manajemen partisipatif, perusahaan harus juga bertanggung jawab mengembangkan usaha kecil dan masyarakat pelanggannya, karena pada akhirnya hanya konsep kemitraan (partnership) yang dapat menjamin eksistensi perusahaan besar, terutama untuk jangka panjang. Ian Linton (1995) mengatakan bahwa kemitraan adalah suatu sikap menjalankan bisnis yang diberi ciri dengan hubungan jangka panjang, suatu kerjasama bertingkat tinggi, saling percaya, dimana pemasok dan pelanggan berniaga satu sama lain untuk mencapai tujuan bisnis bersama.
Jafar (1999 : 10) mengemukakan bahwa  kemitraan sebagai suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua belah pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih atau memperoleh suatu keuntungan bersama dengan prinsip saling menguntungkan. Menurut Wirasamita (1995 : 4) bahwa kemitraan adalah merupakan kerjasama usaha antara pengusaha kecil dengan pengusaha besar yang didasarkan adanya prinsip saling menguntungkan, dan juga dapat disertai adanya bantuan pembinaan berupa peningkatan kualitas sumber daya manusia, pemasaran, teknik produksi, modal kerja dan kredit bank.
Adapun keterkaitan kerja sama antara perusahaan besar, menengah dengan perusahaan kecil, lebih lanjut  dikemukakan oleh Trisura dalam Thee Kian Wie (1995 : 95) bahwa keterkaitan melalui sistem bapak angkat dengan mitra usaha atau bisnis antara pengusaha besar, menengah (sektor produksi maupun sektor jasa) dengan industri kecil, tendensi utamanya adalah pemecahan masalah pemasaran disertai dengan pembinaan berupa bimbingan teknis (teknologi, manajemen dan permodalan. Pendapat tersebut sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Soeharsono (1999) yang mengemukakan bahwa untuk mengatasi problem mendasar pengembangan usaha kecil dan menengah diperlukan pembinaan dan pengembangan unit usaha yang diikuti serangkaian aktivitas konsultasi dan bantuan  teknis dalam bidang sumber daya manusia meliputi ; pelatihan teknis dan manajemen plus, akses pendanaan, usaha pemagangan pada sentra industri besar.
Lewin dan Koza (1998) mengajukan teori evolusi aliansi strategi. Teori ini membedakan dua logika dasar untuk menjalin jaringan kerjasama. Pertama, kerjasama dapat menjadi sumber peningkatan pendapatan dari aktivitas penggalangan sumber-sumber daya pelengkap / penunjang yang sulit didapatkan secara individu. Karakteristik kedua adalah kerjasama eksploitasi yang fokusnya pada pemantauan dan penilaian kinerja. Target kinerja kerjasama eksploitasi biasanya dinyatakan dalam bentuk target-target operasional yang dapat diukur, guna memudahkan pemantauan kemajuannya melalui kontrol-kontrol kecil. Selanjutnya Lewin dan Koza (2000)  dalam hasil penelitiannya  mengemukakan bahwa peluang keberhasilan jaringan kerjasama akan meningkat jika pihak-pihak yang bermitra sejak semula memiliki kesamaan dalam tujuan ekplorasi atau eksploitasi strategi mereka yang secara terus menerus disesuaikan dan dipertahankan.

Meskipun jaringan pengembangan usaha memiliki karakteritik stuktural (non-hirarkis), namun pada intinya ini adalah proses pengembangan dan berpartisipasi dalam suatu jaringan hubungan-hubungan kolaboratif tidak dapat dipastikan atau dipahami layaknya sebuah strategi Return on Investment (ROI). Pada umumnya suatu jaringan kerjasama tergantung pada kualitas kolaborasi para pendukungnya. Komitmen individu, nilai-nilai bersama, rasa saling percaya dan kemampuan serta kemauan untuk memobilisasi dan mengembangkan sumber daya dalam suatu sistem sosial adalah syarat utama untuk menjamin keberhasilan jaringan pengembangan (Kalimin, 1998). Sedangkan Marzuki Usman (1997) menyatakan bahwa jaringan usaha bukanlah sesuatu yang terjadi demikian saja, tetapi merupakan hasil keputusan dan upaya para usahawan untuk meningkatkan daya saing melalui kerja sama dengan unit-unit lain. Daya saing yang lebih tinggi ini dapat dicapai karena pelakunya dapat : 1) melakukan efisiensi dan spesialisasi; 2) menekan biaya-biaya transaksi; 3) meningkatkan fleksibilitas karena adanya rekanan yang terpercaya. Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya jaringan usaha bagi kehidupan usaha dan daya siang menyebabkan usahawan yang terlibat berusaha keras untuk memeliharanya. Yang dijadikan pedoman adalah kepentingan jangka panjang, bukan sekedar kepentingan sesaat.

KEPEMIMPINAN DALAM PERUSAHAAN/WIRAUSAHA

Pemimpin merupakan unsur pokok dan sumber yang langka dalam setiap perusahaan. Statistik perkembangan perusahaan menunjukan bahwa setiap 100 perusahaan yang baru berdiri, kira-kira 50% gagal dalam tempo 2 tahun dan pada akhir tahun kelima hanya tinggal 30% yang masih jalan. Pada umumnya kegagalan itu disebabkan oleh kepemimpinan yang tidak efektif’ mereka tidak mampu memimpin karyawan, tidak bisa bekerja sama dengan orang lain atau mereka tidak bisa menguasai, mengendalikan diri sendiri. Berbagai kekeliruan terjadi di bawah kepemimpinannya. Misalnya karyawan tidak dimotivasi untuk bekerja lebih baik, kurang disiplin, demikian pula dengan relasi perusahaan tidak terjalin kerjasama yang baik, dan juga perilaku pemimpin sendiri yang tidak bisa menjadi contoh (Alma,2001;127). 
Jerald Greenberg, (1996;207) menyatakan bahwa leadership as the process by which an individual influences others in ways that help attain group or organizational goals. Menurut Robbins (2004; 39) kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya tujuan. Definisi kepemimpinan menurut  Sarros dan Butchatsky dalam Sumarsono (2010; 181)  leadership is defined as the purposful behaviour of benefit of individual as well as the organization or common goal. Menurut definisi tersebut  kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu prilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi. Sedangkan menurut  Anderson (1998) leadership means using power to influence the thoughts and actions of others in such a way that achieve high performance.


Banyak definisi kepemimpinan yang dikemukan para ahli diantaranya George R. Terry serta Harold Koontz dan Cyril O’Donnell dalam Alma (2001;127),  leadership is the activity of influencing people to strive willingly for group objectives. Koontz, state that leadership is influenceing people to follow in the achievement of a common goal. (Hersey &Blanchard, 1977; 84)
Sifat-sifat kepribadian yang harus dimiliki para pemimpin menurut Andy Undap (1983; 29) adalah sebagai berikut :
1.  Pendidikan umum yang luas, seorang yang berpendidikan akan mempunyai kemampuan untuk mengembangkan keterampilan kepemimpinan.
2.     Kematangan mental, seorang pemimpin harus memiliki kematangan mental yang terlihat pada kestabilan emosional, tidak mudah tersinggung, tidak gampang marah dan sebagainya
3.    Sifat ingin tahu, sifat ini mendorong seorang pemimpin untuk menyelidik, inovatif dan kreatif.
4.      Kemampuan analisis, seorang pemimpin harus mampu menganalisis gejala-gejala informasi yang ia terima, sehingga dapat mengambil keputusan yang positif dan berguna untuk kemajuan bisnisnya.
5.    Memiliki daya ingat yang kuat, seorang pemimpin akan berhadapan dengan banyak orang berbagai sifat perilaku sehingga diperlukan kemampuan untuk mengingat.
6.    Integratif, seorang pemimpin harus memiliki kepribadian terpadu tidak terpecah-pecah yang membuat dia tidak terombang-ambing
7.  Keterampilan berkomunikasi, hal ini diperlukan untuk berkomunikasi dengan lingkungan bisnisnya.
8.   Keterampilan mendidik, harus mampu memberikan petunjuk dan mendidik para karyawan dalam beberapa hal yang berhubungan dengan pekerjaan. Kadang-kadang juga ada hal-hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan.
9.   Rasional dan objektif. Pemikiran-pemikiran, kesimpulan dan keputusan yang diambil harus didasarkan pada pemikiran-pemikiran sehat, rasional dan objektif, tidak pilih kasih dan tidak emosional.
10.   Pragmatisme. Keputusan-keputusan harus dibuat sesuai dengan kemampuan dan sumber daya yang tersedia. Keputusan jangan bersifat teoritis sehingga sulit dalam pelaksanaanya.
11.  Ada naluri prioritas. Berhubungan terbatasnya sumber daya yang tersedia maka harus mampu menerapkan skala prioritas apa yang harus dikerjakan lebih dahulu. Sehingga demikian semua pekerjaan dan proyek akan dapat berjalan secara bertahap.
12. Pandai mengatur waktu, harus mampu bertindak cepat dan tepat dan mempertimbangkan waktu secara efisien.
13.  Kesederhanaan, harus mampu menampilkan kesederhanaan dan bekerja dengan penuh efisien.
14. Sifat keberanian. Walaupun seorang pemimpin punya banyak karyawan, akan tetapi hanya hanya beberapa karyawan saja yang dapat diajak bicara. Oleh karena itu harus mempunyai keberanian untuk mengambil keputusan dengan mengajak beberapa karyawan inti.
15.   Kemauan mendengar, harus mampu menggali informasi dan mendengar apa ide dan keinginan dar para karyawannya. Segala informasi ini merupakan barang berharga untuk mengambil keputusan.
Rensis Likert mengembangkan teori kepemimpinan dalam dua dimensi yaitu orientasi tugas dan orientasi bawahan, yang dijabarkan dalam empat tingkat model efektivitas kepemimpinan yaitu sebagai berikut (Alma 2001; 131) :
1.  Exploitative authoritative, bercirikan tidak ada kepercayaan kepada bawahan. Pemimpin ini selalu menggunakan ancaman dan hukuman kepada karyawan
2.   Benevolent authoritative, sedikit kepercayaan kepada bawahan tetapi hubungan seperti tuan dengan budaknya hanya juga masih menggunakan ancaman dan hukuman dalam melaksanakan tugas. Komunikasi ada sedikit terbuka tetapi tetap berdasarkan ketidakpercayaan.
3.  Consultative, berdasarkan kepercayaan kepada bawahan tetapi tidak penuh. Proses pengambilan keputusan untuk hal yang penting tetap berada ditangan pimpinan, tetapi kepercayaan sudah merupakan dassar komunikasi.
4.   Partisipative, merupakan sitem yang ideal ada kepercayaan penuh dari atasan. Percaya diri dan kreativitas karyawan merupakan unsur penting. Komunikasi sangat terbuka hubungan antar karyawan lancar dan suasana perusahaan segar dan sehat.
Ordway Tead mengemukakan 10 sifat kepemimpinan sebagai berikut : (Kartini Kartono 1983; 37)
1.    Energi jasmaniah dan mental, seorang pemimpin memiliki daya tahan keuletan, kekuatan yang luar biasa seperti tidak akan pernah habis. Demikian pula semangat, motivasi kerja, disiplin, kesabaran, daya tahan batin, kemauan yang luar biasa untuk mengatasi semua permasalahan yang dihadapi
2.    Kesadaran akan tujuan dan arah, memiliki keyakinan teguh akan kebenaran dan kegunaan dalam mencapai tujuan yang terarah.
3.  Antusiasme, dia yakin tujuan yang hendak dicapai akan memberikan harapan sukses dan membangkitkan semangat optimisme dalam bekerja.
4.   Keramahan dan kecintaan. Sifat ramah mempunyai kebaikan dalam mempengaruhi orang lain sehingga menimbulkan kasih sayang, simpati yang tulus, diikuti dengan kesediaan berkorban untuk mencapai kesuksesan perusahaan
5. Integritas. Seorang pemimpin mempunyai perasaan sejiwa dan senasib sepenanggungan dengan para karyawannya dalam menjalankan perusahaan. Integritas pribadi dan rumah tangga pemimpin merupakan tauladan yang dapat dicontoh oleh karyawannya
6.      Penguasaan teknis, agar pemimpin mempunyai wibawa terhadap bawahan maka dia harus menguasai sesuatu pengetahuan atau keterampilan teknis.
7. Ketegasan dalam mengambil keputusan (decisiveness). Dia harus memiliki kecerdasan dalam mengambil keputusan sehingga mampu meyakinkan bawahan, dan mendukung kebijakan yang telah diambil dalam pelaksanaannya.
8.      Kecerdasan. Seorang pemimpin harus mampu melihat dan memahami sebab dan akibat dari suatu gejala, cepat menemukan jalan keluar dan mengatasi kesulitan dengan cara yang efektif
9.   Keterampilan mengajar (teaching skill). Seorang pemimpin adalah seorang guru yang mampu mendidik, mengarahkan, memotivasi karyawannya untuk berbuat sesuatu yang menguntungkan perusahaan. Dia harus mengatur pelatihan-pelatihan, mengawasi pekerjaan rutin sehari-hari dan mengevaluasi pekerjaan karyawan.
10.   Kepercayaan (Faith). Jika seorang pemimpin disenangi oleh bawahan  maka akan muncul kepercayaan dari bawahan kepada pemimpin. Kepercayaan bawahan ini akan memunculkan sikap rela berjuang, melaksanakan semua perintah, disiplin dalam bekerja untuk menjalankan roda perusahaan
Di samping harus memiliki sifat-sifat seperti tersebut di atas seorang pemimpin harus memiliki keterampilan kepemimpinan (leadership skills).
1.  Technical skills, berarti suatu kemampuan yang dimiliki oleh seorang pemimpin untuk melaksanakan suatu pekerjaan teknis. Maksudnya dapat melakukan pekerjaan tersebut agar dia mampu melaksanakan pengawasan terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh karyawannya, misalnya keterampilan pembukuan keuangan, mengetik, pekerjaan komputer dasar, menggunakan beberapa alat sederhana dan sebagainya.
2.    Human skills, berarti kemampuan untuk bekerja sama dan membangun tim kerja bersama orang-orang lain
3.    Conceptual skills, berarti kemempuan berfikir dan mengungkapkan pemikirannya dalam bentuk model kerangka kerja dan konsep-konsep lain dalam memudahkan pekerjaan
Keterampilan kepemimpinan (leadership skills) seseorang tidak serta merta dapat terbentuk  tanpa memiliki pengalaman luas, seperti dikemukakan oleh Hughes (2002 : 59), memperkaya pengalaman adalah kata kunci untuk mengembangkan kemampuan kepemimpinan seseorang. Dengan kata lain, pengembangan kepemimpinan tidak hanya tergantung pada satu jenis pengalaman saja tetapi juga pada bagaimana seseorang menggunakan pengalaman-pengalaman tersebut untuk mendorong pertumbuhan.
Sebuah studi sebagaimana diungkap Mc Call, Lombardo & Marrison (1998 : 122)  tentang para eksekutif yang berhasil, mereka menemukan bahwa satu kualitas kunci yang ditandai diantara para eksekutif tersebut adalah kekuatan luar biasa mereka dalam menggali sesuatu yang berharga dari pengalaman mereka sehingga memberikan kesempatan mereka untuk berkembang. Lombardo & Eichinger dalam Hughes (2002 : 61), akan lebih efektif sebagai sarana pengembangan kepemimpinan jika lingkungan pekerjaan tersebut terus menantang, dinamis yang mengakibatkan dibutuhkan selalu solusi yang selalu terbaru dan kreatif, termasuk pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan rencana strategis dan peramalan pada situasi tidak menentu di masa mendatang dapat meningkatkan kualitas dari seorang pemimpin atau calon pemimpin.
Tolb dalam Hughes (2002 : 49), berpendapat bahwa seseorang akan belajar banyak pada pengalamannya jika orang tersebut meluangkan waktu untuk memikirkannya (reflection). Pendapat tersebut kemudian dikembangkan dalam sebuah model kepemimpinan Action – Observation – Reflection (A-O-R), menunjukan bahwa pengembangan kepemimpinan akan berkembang ketika faktor pengalaman dilibatkan dalam proses AOR tersebut. Jika seseorang bertindak akan sesuatu namun tidak mengamati atau tidak memikirkan konsekuensi dan arti dari tindakannya, maka orang tersebut tidak belajar dari pengalamannya, karena hanya seorang yang mengamati dan memikirkan konsekuensi dan arti dari tindakannya saja yang dapat menjadikan mereka pemimpin yang lebih baik, dikarenakan pengembangan kepemimpinan dihasilkan secara lebih efektif oleh terjadinya pengulangan proses kegiatan yang melalui ketiga proses tersebut (AOR) dari pada hanya sekedar oleh lamanya orang tersebut menjadi seorang pemimpin.
Perbedaan antara kepemimpinan dengan manajemen menjadi perdebatan di antara para ahli. Beberapa penulis seperti Bennis & Nanus, Zaleznik dalam Gerry Yukl (2005 : 6-7) berpendapat bahwa kepemimpinan dan manjemen adalah berbeda secara kualitatif dan saling meniadakan. Manajer menghargai stabilitas, keteraturan dan efisiensi, sementara pemimpin menghargai fleksiblitas, inovasi dan adaptasi. Pakar lainnya (seperti Bass, 1990; Hickman, 1990; Kotter, 1988; Mintzberg, 1973; Rost, 1991) memandang memimpin dan mengelola sebagai proses yang berbeda, tetapi mereka tidak berasumsi bahwa pemimpin dan manajer merupakan jenis orang yang berbeda, tetapi para pakar tersebut memiliki pebedaan dalam mendefinisikan kedua proses tersebut. Mintzberg (1973) menggambarkan kepemimpinan sebagai salah satu dari peran manajerial, kepemimpinan meliputi memotivasi bawahan dan menciptakan kondisi yang menyenangkan dalam melaksanakan pekerjaan. Kepemimpinan dipandang sebagai peran manajerial yang penting meliputi peran-peran lain.
Kotter (1990) membedakan antara manajemen dan kepemimpinan dalam hal proses inti dan hasil yang diharapkan. Manajemen berusaha untuk membuat perkiraan dan aturan dengan: 1). Menetapkan sasaran operasional, membuat rencana tindakan berdasarkan jadwal dan mengalokasikan sumber daya; 2). Mengorganisasi dan menugaskan (menentukan struktur, menugaskan orang ke berbagai pekerjaan); dan 3). Memantau hasil dan menyelesaikan masalah. Kepemimpinan berusaha untuk membuat perubahan dalam organisasi dengan: 1). Menyusun visi masa depan dan strategi untuk membuat perubahan yang dibutuhkan, 2). Mengkomunikasikan dan menjelaskan visi, dan 3). Memotivasi dan menginspirasi kepada orang lain untuk mencapai visi. Rost (1991) medefinisikan manajemen sebagai hubungan wewenang yang ada antara manajer dan bawahan. Sedangkan kepemimpinan sebagai hubungan pengaruh ke berbagai arah antara pemimpin dan bawahannya yang mempunyai tujuan yang sama dalam mencapai perubahan yang sebenarnya.
Kepemimpinan adalah proses memengaruhi orang lain kearah tujuan organisasi (Bartol, 1991 dalam Tika, 2006:63). Variabel kepemimpinan ini secara operasional diukur dengan menggunakan 4 (empat) indikator yang diadopsi dari teori kepemimpinan situasional Hersey-Blanchard dalam Robbins (2004:45) dan Wirjana dan Supardo (2005:48) yaitu sebagai berikut: (1) Kemampuan untuk memberitahu anggota apa yang harus mereka kerjakan (Telling), (2) Kemampuan menjual/memberikan ide-ide kepada anggota (Selling), (3) Kemampuan berpartisipasi dengan anggota (Participating), dan (4) Kemampuan mendelegasikan kepada anggota (Delegating).

Berdasarkan teori-teori di atas,  penulis menarik garis besar bahwa seorang pemimpin harus memiliki peran sebagai :1). pengarah untuk memberi arahan tentang tujuan perusahaan yang harus searah dengan tujuan individu dalam perusahaan; 2). motivator untuk pencapaian tujuan perusahaan maupun individu; 3). komunikator yang baik sehingga tercipta suasana yang menyenangkan; 4). inisitor dalam menciptakan pengembangan usaha; 5). evaluator dalam pencapaian sasaran kerja; 6). mencari solusi  terbaik dalam memecahkan masalah yang dihadapi.