Hitt (2001; 54) memberikan pengertian bahwa
kemitraan merupakan terjemahan dari kata partneship/aliansi, artinya kemitraan antara perusahaan-perusahaan yang mengkombinasikan sumber
daya, kapabilitas untuk memenuhi kepentingan bersama dalam perancangan,
produksi, atau distribusi barang dan jasa. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 1995, mendefinisikan
kemitraan adalah kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau
dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau
usaha besar dengan prinsip-prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling
menguntungkan. Sejalan dengan definisi di atas Marbun (1996; 34) mengemukakan
bahwa konsep kemitraan merupakan terjemahan dari kebersamaan (partnership) atau bagian dari tanggung
jawab sosial perusahaan terhadap lingkungannya sesuai dengan konsepnya yaitu
manajemen partisipatif, perusahaan harus juga bertanggung jawab mengembangkan
usaha kecil dan masyarakat pelanggannya, karena pada akhirnya hanya konsep
kemitraan (partnership) yang dapat
menjamin eksistensi perusahaan besar, terutama untuk jangka panjang. Ian Linton
(1995) mengatakan bahwa kemitraan adalah suatu sikap menjalankan bisnis yang
diberi ciri dengan hubungan jangka panjang, suatu kerjasama bertingkat tinggi,
saling percaya, dimana pemasok dan pelanggan berniaga satu sama lain untuk
mencapai tujuan bisnis bersama.
Jafar (1999 : 10)
mengemukakan bahwa kemitraan sebagai
suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua belah pihak atau lebih dalam
jangka waktu tertentu untuk meraih atau memperoleh suatu keuntungan bersama
dengan prinsip saling menguntungkan. Menurut Wirasamita (1995 : 4) bahwa
kemitraan adalah merupakan kerjasama usaha antara pengusaha kecil dengan
pengusaha besar yang didasarkan adanya prinsip saling menguntungkan, dan juga
dapat disertai adanya bantuan pembinaan berupa peningkatan kualitas sumber daya
manusia, pemasaran, teknik produksi, modal kerja dan kredit bank.
Adapun keterkaitan kerja
sama antara perusahaan besar, menengah dengan perusahaan kecil, lebih lanjut dikemukakan oleh Trisura dalam Thee Kian Wie
(1995 : 95) bahwa keterkaitan melalui sistem bapak angkat dengan mitra usaha
atau bisnis antara pengusaha besar, menengah (sektor produksi maupun sektor
jasa) dengan industri kecil, tendensi utamanya adalah pemecahan masalah
pemasaran disertai dengan pembinaan berupa bimbingan teknis (teknologi,
manajemen dan permodalan. Pendapat tersebut sesuai dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Soeharsono (1999) yang mengemukakan bahwa untuk mengatasi
problem mendasar pengembangan usaha kecil dan menengah diperlukan pembinaan dan
pengembangan unit usaha yang diikuti serangkaian aktivitas konsultasi dan
bantuan teknis dalam bidang sumber daya
manusia meliputi ; pelatihan
teknis dan manajemen plus, akses pendanaan, usaha pemagangan pada sentra
industri besar.
Lewin dan Koza (1998) mengajukan
teori evolusi aliansi strategi. Teori ini membedakan dua logika dasar untuk
menjalin jaringan kerjasama. Pertama, kerjasama dapat menjadi sumber
peningkatan pendapatan dari aktivitas penggalangan sumber-sumber daya pelengkap
/ penunjang yang sulit didapatkan secara individu. Karakteristik kedua adalah
kerjasama eksploitasi yang fokusnya pada pemantauan dan penilaian kinerja.
Target kinerja kerjasama eksploitasi biasanya dinyatakan dalam bentuk
target-target operasional yang dapat diukur, guna memudahkan pemantauan
kemajuannya melalui kontrol-kontrol kecil. Selanjutnya Lewin dan Koza (2000) dalam hasil penelitiannya mengemukakan bahwa peluang keberhasilan
jaringan kerjasama akan meningkat jika pihak-pihak yang bermitra sejak semula
memiliki kesamaan dalam tujuan ekplorasi atau eksploitasi strategi mereka yang
secara terus menerus disesuaikan dan dipertahankan.
Meskipun
jaringan pengembangan usaha memiliki karakteritik stuktural (non-hirarkis),
namun pada intinya ini adalah proses pengembangan dan berpartisipasi dalam
suatu jaringan hubungan-hubungan kolaboratif tidak dapat dipastikan atau
dipahami layaknya sebuah strategi Return
on Investment (ROI). Pada umumnya suatu jaringan kerjasama tergantung pada
kualitas kolaborasi para pendukungnya. Komitmen individu, nilai-nilai bersama,
rasa saling percaya dan kemampuan serta kemauan untuk memobilisasi dan
mengembangkan sumber daya dalam suatu sistem sosial adalah syarat utama untuk
menjamin keberhasilan jaringan pengembangan (Kalimin, 1998). Sedangkan Marzuki
Usman (1997) menyatakan bahwa jaringan usaha bukanlah sesuatu yang terjadi
demikian saja, tetapi merupakan hasil keputusan dan upaya para usahawan untuk
meningkatkan daya saing melalui kerja sama dengan unit-unit lain. Daya saing
yang lebih tinggi ini dapat dicapai karena pelakunya dapat : 1) melakukan
efisiensi dan spesialisasi; 2) menekan biaya-biaya transaksi; 3) meningkatkan
fleksibilitas karena adanya rekanan yang terpercaya. Hal ini menunjukkan bahwa
pentingnya jaringan usaha bagi kehidupan usaha dan daya siang menyebabkan
usahawan yang terlibat berusaha keras untuk memeliharanya. Yang dijadikan
pedoman adalah kepentingan jangka panjang, bukan sekedar kepentingan sesaat.
No comments:
Post a Comment