A. Deskripsi
Puyuh (Coturnix coturnix japonica)
Puyuh (Coturnix coturnix japonica) merupakan hasil domestikasi dari puyuh
liar (Coturnix coturnix) yang
dilakukan di Jepang (Cooper, 1976).
Burung puyuh yang dipelihara di Indonesia
pada mulanya diimpor dari Taiwan,
Hongkong dan Jepang (Nugroho dan Mayun, 1986).
Semenjak akhir tahun 1979, puyuh jenis Coturnix coturnix japonica mulai populer di Indonesia
sebagai ternak yang dipelihara untuk usaha sambilan maupun komersil. Selain diambil telurnya, daging puyuh juga
merupakan makanan yang lezat dan mengandung gizi tinggi (Rasyaf, 1991).
Menurut Nugroho dan Mayun (1986),
klasifikasi puyuh Jepang (Coturnix
coturnix japonica) adalah sebagai berikut :
Class : Aves
Ordo : Galliformes
Sub Ordo :
Phasianoidae
Famili :
Phasianidae
Genus :
Coturnix
Species :
Coturnix-coturnix japonica.
Puyuh yang telah didomestikasi ini
mencapai kecepatan pertumbuhan yang tinggi dan dewasa kelamin dalam jangka
waktu yang singkat. Keadaan
fisiologisnya hampir sama dengan ayam (Lee dkk., 1977). Puyuh (Coturnix
coturnix japonica) mempunyai panjang badan 19 cm, berbadan bulat, berekor
pendek, paruh pendek dan kuat serta berjari kaki empat dan berwarna
kekuning-kuningan dengan susunan tiga jari menghadap ke depan dan satu jari ke
belakang (Nugroho dan Mayun, 1986).
B. Pertumbuhan
Pertumbuhan merupakan fenomena
universal yang bermula dari satu telur yang dibuahi dan selanjutnya terus
mencapai dewasa (Tillman dkk., 1986).
Pertumbuhan adalah proses yang sangat kompleks, bukan saja pertambahan
berat badan tetapi juga menyangkut pertumbuhan semua bagian tubuh secara
serentak dan merata. Pola pertumbuhan
tersebut dibagi dua tahap, yaitu tahap pertumbuhan cepat, terjadi sebelum
ternak mencapai dewasa kelamin dan berat hidup bertambah terus-menerus dengan
cepat. Tahap kedua kecepatan pertumbuhan
semakin menurun sampai dengan ternak mencapai dewasa kelamin (Maynard dkk.,
1983).
Pertumbuhan yang normal pada unggas
bila berat badan diproyeksikan terhadap umur diperoleh kurva pertumbuhan yang
secara umum berbentuk sigmoid (Soeharsono, 1976). Kurva pertumbuhan pada puyuh bentuk
sigmoidnya tidak jelas yang cenderung merupakan garis lurus. Hasil penelitian Sreenivasaiah dan Joshi
(1979) kurva pertumbuhan puyuh berbentuk sigmoid yang terdiri dari fase
percepatan pertumbuhan (accelerating phase) yaitu umur 0 – 56 hari dan
fase perhambatan pertumbuhan (retarding phase). Pada fase percepatan pertumbuhan puyuh dibagi
atas tiga bagian, yaitu umur 0 – 12 hari, 12 – 40 hari dan 40 – 56 hari.
Kecepatan pertumbuhan sangat penting untuk keefisienan ransum (Jull, 1979). Persentase kecepatan pertumbuhan puyuh jantan
dan betina dari umur satu hari sampai dengan lima minggu tidak berbeda nyata. Perbedaan kecepatan pertumbuhan antara jantan
dan betina mulai tampak pada waktu puyuh berumur enam minggu (El Ibiary dkk.,
1966).
Puyuh
mengalami laju pertumbuhan pertambahan yang paling cepat terjadi pada umur satu
hari sampai empat minggu, yaitu pada saat pertambahan berta hidup meningkat
dari tujuh gram pada umur satu hari menjadi 95,2 gram pada umur empat minggu. Pada saat itu berat badan puyuh jantan
relatif lebih rendah daripada puyuh betina.
Berat badan puyuh betina pada umur dua minggu adalah 26,4 gram meningkat
menjadi 69,5 gram pada umur empat minggu
dan pada umur enam minggu menjadi 106,4 gram.
Menurut El Ibiary dkk. (1966) laju pertumbuhan yang terbesar yaitu pada
minggu pertama sampai minggu ketiga yaitu sebesar 56,5% - 58,3%.
Unggas pada dasarnya mengalami
pertumbuhan dan perkembangan sel pada fase embrional pertumbuhan dan
perkembangannya terjadi di luar tubuh induk, maka pertumbuhan dan
perkembangannya disamping ditentukan oleh faktor genetik, faktor lingkungan
juga sangat mempengaruhi pertumbuhan (Soeharsono, 1976).
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Pertumbuhan
1. Genetik
Kecepatan pertumbuhan makhluk hidup
berbeda-beda pada tiap spesies.
Pertumbuhan merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dan
lingkungan. Potensi genetik merupakan
faktor kelanggengan yang diperoleh setiap individu dari masing-masing induk dan
bapaknya (Soeharsono, 1976).
2. Ransum
Makanan sebagai sumber energi
dibutuhkan dalam semua proses biologis hewan, diantaranya untuk pergerakan,
pernafasan, makan, sistem saraf, pengaturan suhu tubuh dan proses kehidupan
pada umumnya (Card dan Nesheim, 1972).
Ransum adalah sejumlah bahan makanan
yang diberikan kepada seekor hewan selama periode 24 jam (Hartadi, 1980). Hal yang diperhatikan dalam ransum adalah
imbangan energi dan protein.
Ketidakseimbangan energi dan protein dalam ransum akan menyebabkan
zat-zat makanan tidak dipergunakan sebagaimana mestinya (Ewing,
1963).
Protein secara umum dibagi menjadi
dua kategori, yaitu protein hewani yang berasal dari hewan dan protein nabati
yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (Cullison, 1978). Penggunaan protein hewani di dalam ransum
unggas akan melengkapi nilai gizi ransum yang terdiri dari bahan nabati,
sehingga akan memberikan hasil yang lebih unggul (Anggorodi, 1985).
Menurut Wahju (1992), faktor-faktor
yang menyebabkan protein hewan lebih unggul dibandingkan protein
tumbuh-tumbuhan adalah (1) Adanya
kalsium dan fosfor yang berasal dari tulang hewan, (2) Vitamin B-complek
terutama riboflavin pada susu skim kering, (3) Vitamin B12 yang
terdapat pada semua bahan berasal hewan tetapi tidak ada pada tumbuh-tumbuhan,
dan (4) asam amino methionin dan lisin yang terdapat pada protein ikan, telur
dan susu dalam kadar yang lebih tinggi daripada protein berasal dari
tumbuh-tumbuhan, sehingga pemberian ransum yang paling efisien diperoleh jika
perbandingan energi dan zat-zat makanan dalam ransum sesuai untuk kebutuhan
hidup pokok, pertumbuhan dan produksi telur.
Laju pertumbuhan dan jumlah ransum
yang dikonsumsi mempunyai korelasi positif.
Semakin banyak ransum yang dikonsumsi, semakin cepat pertambahan bobot
badan yang akan dicapai (Schaible, 1979).
Menurut Lee dkk. (1979) konsumsi ransum pada puyuh meningkat sejalan
dengan terjadinya peningkatan bobot badan dan apabila telah mencapai dewasa
kelamin, baik konsumsi ransum maupun pertambahan berat badan sudah mulai
menurun.
Pada setiap tahap pertumbuhan dan
perkembangannya, puyuh membutuhkan pakan dengan kualitas berbeda. Pembedaan kualitas pakan ditandai dengan
kadar protein kasar yang terkandung dalam pakan tersebut (Abidin, 2002).
3. Konversi Ransum
Konversi ransum merupakan
perbandingan rataan konsumsi ransum dengan rataan pertambahan berat badan. Nilai rasio konversi ransum merupakan rasio
yang menunjukan keefisienan penggunaan ransum untuk menghasilkan pertambahan
bobot badan sebesar satu satuan. Dengan
demikian makin rendah angka konversi ransum, makin efisien dalam penggunaan
ransum (Sudjarwo, 1988; North dan Bell, 1990).
Konversi ransum dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain bobot badan, imbangan energi protein ransum, suhu
lingkungan dan kesehatan (Card dan Nesheim, 1979). Menurut Marks (1980) menyatakan bahwa faktor
yang berpengaruh terhadap konversi ransum pada puyuh adalah perbaikan genetik
untuk memperoleh bobot badan yang tinggi dengan konsumsi rendah, yang pada
gilirannya didapatkan penggunaan ransum yang lebih efisien atau konversi ransum
rendah. Selanjutnya menurut Siegel dan
Wisman (1966), terdapat hubungan positif antara selera makan (appetite) dan efisiensi penggunaan
ransum dengan bobot badan. Konversi
ransum puyuh menurut Narahari, dkk (1988) pada umur 4 – 6 minggu berturut-turut
5,05; 5,15; 5,04 dan 5,29 dengan tingkat kandungan protein ransum 18%, 20%, 22%
dan 24% dan tingkat energi ransum yang sama yaitu 2600 Kkal/kg.
4. Umur Saat Dewasa Kelamin
Dewasa kelamin pada puyuh betina
ditandai dengan pertama kali bertelur, sedang pada jantan dengan mulai berkokok
dengan suara khas (Djulardi, 1995).
Penelitian para pakar puyuh memberikan hasil bahwa umur dewasa kelamin
pada puyuh dicapai sekitar 51 hari (Tiwari dan Panda, 1978), 49 – 52 hari
(Pandelaki dkk., 1982), 53 hari (Hakim, 1983), dan 49 hari (Garnida,
1998). Kisaran umur dewasa kelamin ini
karena dipengaruhi oleh kesehatan, tatalaksana, genetik, pencahayaan, berat
badan dan makanan (Sefton dan Siegel, 1974;
North dan Bell, 1990).