Home AD

Wednesday, April 03, 2013

BAHAN ORGANIK TANAH



Bahan organik:  mencakup semua bahan yang berasal dari jaringan tanaman dan hewan, baik yang hidup maupun yang telah mati, pada berbagai tahanan (stage) dekomposisi (Millar, 1955). Bahan organik tanah: lebih mengacu pada bahan (sisa jaringan tanaman/hewan) yang telah mengalami perombakan/dekomposisi baik sebagian/seluruhnya, yang telah mengalami humifikasi maupun yang belum. Kononova (1966) dan Schnitzer (1978) membagi bahan organic tanah menjadi 2 kelompok, yakni: bahan yang telah terhumifikasi, yang disebut sebagai bahan humik (humic substances) dan bahan yang tidak terhumifikasi, yang disebut sebagai bahan bukan humik (non-humic substances) 
Kelompok pertama lebih dikenal sebagai “humus” yang merupakan hasil akhir proses dekomposisi bahan organic bersifat stabil dan tahan terhadap proses bio-degradasi (Tan, 1982). Terdiri atas fraksi asam humat, asam fulfat dan humin.  Humus menyusun 90% bagian bahan organik tanah (Thompson & Troeh, 1978)
Kelompok kedua meliputi senyawa-senyawa organik seperti karbohidrat, asam amino, peptida, lemak, lilin, lignin, asam nukleat, protein.
Bahan organik tanah berada pada kondisi yang dinamik sebagai akibat adanya mikroorganisme tanah yang memanfaatkannya sebagai sumber energi dan karbon. Kandungan bahan organik tanah terutama ditentukan oleh kesetimbangan antara laju pelonggokan dengan laju dekomposisinya (Pal & Clark, 1989). Kandungan bahan organik tanah sangat beragam, berkisar antara 0,5% - 5,0% pada tanah-tanah mineral atau bahkan sampai 100% pada tanah organik (Histosol) (Bohn, 1979).
Faktor yang pengaruhi kandungan Bahan Organik tanah adalah: iklim, vegetasi, topografi, waktu, bahan induk dan pertanaman (cropping). Sebaran vegetasi berkaitan erat dengan pola tertentu dari temperatur dan curah hujan. Pada wilayah yang g CH rendah, maka vegetasi juga jarang sehingga akumulasi Bahan Organik juga rendah. Pada wilayah yang temperatur dingin, maka kegiatan mikroroganisme juga rendah sehingga proses dekomposisi lambat.
Apabila terjadi laju pelonggokan bahan organik melampaui laju dekomposisinya, terutama pada daerah dengan kondisi jenuh air dan suhu rendah, maka kandungan bahan organik akan meningkat dengan tingkat dekomposisi yang rendahCiri dan kandungan bahan organik tanah merupakan ciri penting suatu tanah, karena Bahan Organik tanah mempengaruhi sifat-sifat tanah melalui berbagai cara.
Hasil perombakan bahan organik mampu mempercepat proses pelapukan bahan-bahan mineral tanah; agihan (distribution) bahan organik di dalam tanah berpengaruh terhadap pemilahan (differentiation) horison. Proses perombakan bahan organik merupakan mekanisme awal yang selanjutnya menentukan fungsi dan peran bahan organik tersebut di dalam tanah.
  
Stevenson (1982) menyajikan proses dekomposisi Bahan Organik dengan urutan sbb:
1.   Fase perombakan bahan organik segar. Proses ini akan merubah ukuran bahan menjadi lebih kecil.
2.  Fase perombakan lanjutan, yang melibatkan kegiatam enzim mikroorganisme tanah. Fase ini dibagi lagi menjadi beberapa tahapan:
a.  tahapan awal: dicirikan oleh kehilangan secara cepat bahan-bahan yang g mudah terdekomposisi sebagai akibat pemanfaatan Bahan Organik sebagai sumber karbon dan energi oleh mikroorganisme tanah, terutama bakteri. Dihasilkan sejumlah senyawa sampingan (by products) seperti: NH3, H2S, CO2, asam organik dll.
b.   Tahapn tengah: terbentuk senyawa organik tengahan/antara (intermediate products) dan biomasa baru sel organisme)
c.   Tahapan akhir: dicirikan oleh terjadinya dekomposisi secara berangsur bagian jaringan tanaman/hewan yang lebih resisten (misal: lignin). Peran fungi dan Actinomycetes pd tahapan ini sangat dominan
3.  Fase perombakan dan sintesis ulang senyawa2 organik (humifikasi) yang akan membentuk humus.

INFORMASI PENDALAMAN SEPUTAR KUALITAS BAHAN ORGANIK

Jika kita berhadapan dengan suatu bahan organik disertai informasi karakteristik kimianya (data analisis kimia)

1.  Bila kandungan N lebih dari 2,5% bahan organik ini dikatakan berkualitas tinggi, maka ada dua kemungkinan :
 a.  Bila kandungan lignin kurang dari 15% dan polyphenol kurang dari 4%, maka :
1) Bahan organik tersebut dibenamkan bersamaan dengan saat tanam tanaman semusim, sebagai pupuk in-situ.     
2) Bahan organik tersebut jangan dicampur dengan pupuk atau bahan organik berkualitas tinggi, karena akan hilang percuma.
b.  Bila kandungan lignin lebih dari 15 %:
Bahan organik  tersebut dicampur dengan pupuk atau bahan organik lain yang berkualitas tinggi (kandungan N lebih dari 2,5 %)
2.  Bila kandungan N kurang dari 2,5 %, dibagi dua kelompok berdasarkan kandungan ligninnya :
a.  Bila kandungan lignin kurang dari 15 %, maka direkomendasikan :
1)  Bahan organik tersebut dicampur dengan pupuk atau ditambahkan pada kompos.
2)  Bahan tersebut jangan disebar pada permukaan tanah untuk menekan evaporasi dan erosi, karena cepat melapuk sehingga cepat hilang dan tidak dapat menjaga kondisi air tanah.
b.  Bila kandungan lignin lebih dari 15 %, maka :
Bahan organik ini dapat disebar pada permukaan tanah sebagai mulsa untuk menekan   evaporasi dan erosi.

  Prosedur sederhana untuk menentukan cara pengelolaan bahan organik yang tepat seperti contoh  (Gambar 4.7) sebenarnya dapat dikembangkan sendiri oleh para praktisi dan petani berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, karena tidak semua kasus bisa mengikuti pola aturan ilmiah di atas. Sebagai contoh, sebuah pedoman serupa dikembangkan oleh petani di Zimbabwe berdasarkan pengalaman dan kebutuhan mereka (Giller, 1999). Pedoman ini  didasarkan pada karakteristik bahan secara sederhana yaitu warna daun (Gambar 4.7 b). Penggunaan pedoman ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.  Bila daun berwarna hijau ,ada dua kelompok :
a.  Apabila daun tidak berserat dan mudah hancur, terasa sangat kelat (Bahasa Jawa : sepet), maka direkomendasikan :
Bahan organik tersebut dapat dibenamkan in-situ bersamaan dengan waktu tanam tanaman semusim.
b. Apabila daun berserat dan tidak mudah hancur, tidak terasa kelat, maka direkomendasikan :
1)  Bahan organik tersebut jangan dibenamkan in-situ bersamaan dengan waktu tanam tanaman semusim.
2)  Bahan tersebut sebaiknya dicampur dengan pupuk atau bahan organik lain yang berkualitas tinggi.  
2.  Bila daun berwarna kuning dipisahkan menjadi dua kelompok :
a.  Apabila mudah hancur sperti tepung, maka direkomendasikan :
1)  Bahan organik tersebut dicampur dengan pupuk atau ditambahkan pada kompos.
2)  Bahan organik tersebut jangan disebar pada permukaan tanah sebagai mulsa karena bahan organik cepat melapuk sehingga tidak dapat untuk menekan evaporasi dan erosi.  
b.  Apabila tidak mudah hancur bila kering, maka direkomendasikan :
Bahan organik tersebut dapat disebar pada permukaan tanah sebagai mulsa untuk menekan evaporasi dan erosi.

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA PENYERAPAN HARA

Pada penyerapan aktif dibutuhkan sejumlah energi respirasi (berupa ADP, NAD+dan NADP+) untuk pelaksanaannya, maka faktor-faktor yang memperngaruhi proses respirasi secara tidak langsung juga akan memengarugi proses penyerapan hara. Faktor-faktor ini meliputi ketersediaan substrat untuk respirasi, temperatur dan oksigen.

  1. Substrat merupakan bahan yang akan diurai menjadi senyawa sederhana melalui serangkaian reaksi respirasi, meliputi pati, fruktan dan gula. Oleh karena itu jika ketersediaan substrat ini rendah, laju respirasi juga rendah, sehingga energi kimiawi yang dihasilkan dari penguraian bahan-bahan ini juga rendah. Pada kondisi starvasi (defisiensi bahan cadangan nutrisi) sangat parah, protein juga akan dioksidasi menjadi asam-asam amino penyusunnya. Karena unsur N merupakan penyusun utama protein, gejala defisiensi N yang ditandai menguningnya dedaunan tua merupakan konsekuensi adanya oksidasi protein dan senyawa mengandung N pada kloroplast.
  2. Nilai Q10 untuk respirasi pada temperatur 50-2500C adalah 2,0-2,5 yang berarti laju respirasi pada kisaran temperatur ini akan meningkat 2,0-2,5 kali lipat utnuk setiap kenaikan temperatur sebesar 1000C. Jika temperatur sebesar 3500C, laju respirasi tetap meningkat tetapi dengan nili Q10 yang lebih rendah sebagai konsekuensi adanya penetrasi oksigen melalui kutikula atau peridermis yang lebih rendah dari kebutuhan. Pada temperatur yang lebih tinggi lagi (sekitar 4000C), laju respirasi mulai menurun sebagai konsekuensi sebagian enzim-enzim yang terlibat mulai menderita denaturasi.
  3. Ketersediaan oksigen memengaruhi laju respirasi tetapi dengan efek yang bervariasi baik antar spesies maupun antar organ tanaman. Fluktuasioksigen di atmosfer maupun pada tanah-tanah yang poreus (beraerasi baik) tidak akan memengaruhi laju respirasi karena kelimpahannya. Mitokondria tetap berfungsi normal pada kadar oksigen serendah 0,05%, padahal di udara tersedia 21%, karena tingginya afinitas sitokrom oksidase terhadap oksigen. Fluktuasi oksigen mulai berpengaruh terhadap respirasi akar pada tanah-tanah yang beraerasi buruk, baik akibat bertekstur liat, pemadatan tanah batas akibat jenuh air, sehingga ketersediaan oksigen terbatas akibat laju diffusi oksigen dalam air yang jauh lebih lambat dari udara.
 Pengaruh pemadatan terhadap penyerapan hara yang dikaitkan dengan terhambatnya respirasi bersifat spesifik, lawton menyimpulkan bahwa laju penurunan serapan K lebih besar dibanding laju penurunan serapan P atau N. Pada jagung, pengaruh minimal hanya terhadap serapan Ca .
Disamping laju respirasi, penyerapan hara ditentukan oleh jumlah dan ketersediaan hara dalam tanah, serta intensitas dan ekstensitas sistem perakaran tanaman yang terkait dengan taraf dan laju pertumbuhan tetanaman. Demikian juga dengan intensitas dan ekstensitas interaksi akar –mikroorganisme tanah. Adanya simbiosis fungi ektodan /atau endo-mikoriza-akar, lewat pembentukan pipa eksternal yang berfungsi sebagai bulu-bulu akar dan enzim ekstraseluler fosfatase, sangat membantu tanaman dalam penyerapan unsur-unsur hara terutama P. Demikian juga, jika ada fiksasi N-simbiotik (seperti Azospirillum brasiliense) terhadap penyerapan N.

Peningkatan Karbon pada Lahan Terdegradasi



          Problem degradasi tanah dan lingkungan umumnya lebih parah di daerah tropis daripada temperate, di daerah kering daripada daerah basah, dan iklim panas daripada dingin. Diperkirakan diseluruh dunia tanah terdegradasi sekitar 2 milyar hektar dan 75% berada di daerah tropis (Oldeman, 1994). Degradasi tanah dapat disebabkan oleh banyak proses, termasuk erosi tanah yang dipercepat, salinisasi, kerusakan karena pertambangan dan aktivitas perkotaan, penggembalaan berlebih dan kontaminasi dari polutan industri (Lal, 1997).
          Perbaikan terhadap lahan terdegradasi meliputi penanaman dengan vegetasi asal, penanaman tanaman penutup tanah yang cepat tumbuh, penggunaan pupuk organik dan anorganik. Apabila bahan organik tanah keadaannya telah mengalami penurunan yang sangat drastis, sedangkan kemampuan tanah untuk mengikat bahan organik masih berfungsi maka perbaikan dengan peningkatan bahan organik tanah. Tingkat penyerapan karbon melalui restorasi tanah sangat ditentukan oleh sifat-sifat tanah, metode restorasi yang dilakukan, karakteristik eko-regional, dan pol karbon organik awal di bawah kondisi alaminya.