Home AD

Wednesday, July 11, 2012

Pengelolaan Isu Untuk Media


       Pendalaman mengenai pengelolaan isu untuk media selalu harus diawali dari pengenalan terhadap sistem keredaksian (editorial system) di suatu media, yang dalam praksis umum manajemen dunia media massa meliputi perputaran empat mata rantai, yakni perencanaan, peliputan, editing (penyuntingan), dan penyajian.
          Empat mata rantai itu menggambarkan sebuah manajemen proses yang tidak mungkin saling terputus, karena menjadi semacam pusaran “pelayanan”. Penyajian, sebagai “goal” dari sistem keredaksian ditentukan oleh kualitas penyuntingan, sedangkan mutu penyuntingan akan bergantung pada mutu peliputan, dan kualitas peliputan dalam banyak segi bersandar pada kualitas perencanaan.
         Wartawan berusaha memberikan “pelayanan” kepada redaktur dengan tulisan-tulisan yang fit to print; redaktur memberi “pelayanan” kepada redaktur pelaksana juga dengan mutu editing yang tidak menyisakan celah baik bahasa, akurasi, maupun substansi; sedangkan redaktur pelaksana memberi “pelayanan” kepada pemimpin redaksi dengan sajian yang tidak membuka kemungkinan celah hukum atau masalah kredibilitas media. Dan, pada akhirnya, yang mendapat “layanan terbaik” adalah pembaca, dengan tingkat kepuasan yang komprehensif.
          Sistem tersebut dijalankan oleh sedikitnya lima fungsi kunci, mulai dari wartawan/ reporter, redaktur, koordinator liputan, redaktur pelaksana, dan pemimpin redaksi. Tentu setiap media memiliki corak, karakteristik, dan segmentasi yang memengaruhi tingkat kebutuhan masing-masing, sehingga harus mengkreasi pengembangan fungsi-fungsi tersebut sesuai dengan tuntutan organisasionalnya. (Amir Machmud NS)

Relasi Media dengan Publik


          Fungsi media, menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, secara garis besar meliputi: memberikan informasi, memberikan pendidikan, memberikan hiburan, dan melaksanakan kontrol sosial.
          Dari empat fungsi tersebut, kita bisa melihat relasi media dengan publik, yakni sebagai jembatan bagi publik untuk memeroleh informasi, juga jembatan bagi publik untuk menyampaikan informasi, baik bagi kepentingan seseorang, maupun institusi/ korporasi.
          Jika menyimak apa yang disampaikan Marshal McLuhan dalam tesis klasiknya, the medium is the message, maka inti penyajian pemberitaan pers adalah “menyampaikan pesan”.
          Pertanyaannya, tentu, untuk apa pesan disampaikan, kepada siapa disampaikan, melalui apa disampaikan, dan bagaimana cara menyampaikan?
          Menggunakan logika relasi manusia dengan lingkungannya, terutama relasi mereka yang mewakili lembaga/ institusi tertentu dengan publik, maka “pesan” menjadi penting karena kesadaran bahwa lembaga kita berinteraksi dengan publik; kesadaran keberadaan kita mewakili lembaga; publik perlu tahu apa saja yang sudah kita kerjakan; publik merasa perlu mengontrol kinerja kita/ institusi kita; kita perlu menyampaikan progres capaian kinerja kepada publik; kita berusaha mengemas pesan itu dengan baik agar bisa sampai secara efektif; kita berusaha meyakinkan publik; dan kita berusaha menanam kepercayaan kepada publik. (Amir Machmud NS)

Realitas Media


          Memahami media sebagai lanskap “ruang publik” yang setiap saat diperebutkan oleh berbagai kepentingan, maka dasar-dasar mengenai “pemanfaatan” ruang publik itu penting untuk kita pahami.
          Pertama, media bukanlah ruang “steril” yang mampu memantulkan realitas publik seperti “apa adanya”.
          Kedua, isi media telah dibentuk oleh beragam faktor yang menghasilkan bermacam-macam “realitas”, baik faktor-faktor internal maupun eksternal media. “Realitas” itu hakikatnya hanyalah simbolik, bahkan ada yang menyebut semua isi media adalah “the second-hand reality”.
          Ketiga, media harus dipahami sebagai ruang publik. Ketika suatu peristiwa diberitakan, maka informasi yang disampaikan akan membawa dampak signifikan bagi pihak lain, baik menyangkut dikotomi baik-buruk, positif-negatif, benar-salah. Di sinilah akan selalu muncul masalah etika, yang setiap saat mengusik wartawan yang menulis berita dan redaktur yang menyunting berita tersebut.
         Keempat, selalu ada mekanisme pembentukan frame (bingkai) dalam mengonstruksi realitas. Jadi, dalam menulis berita, orientasi seseorang akan selalu diusik: untuk apa dan untuk siapa berita ini ditulis dan disajikan? Maka persoalannya, bagaimana  proses framing untuk membentuk realitas itu mengarah pada semaksimal mungkin kemaslahatan publik.
         Realitas media dan mekanisme framing ini terkait dengan agenda media. Secara mendasar, agenda media adalah menjalankan fungsi ideal pers: menyampaikan informasi – memberi edukasi – memberi hiburan – menjalankan kontrol sosial. Berikutnya, merupakan sikap bisnis ketika media mana pun tentu dituntut untuk memperkuat respons terhadap realitas pasar.
          Dalam agenda itu, kita harus selalu mempertimbangkan bagaimana sebijak mungkin merespons realitas konstruksi-konstruksi yang “mengintervensi”, lalu memilih mana yang kita anggap paling tepat bagi orientasi kemaslahatan publik itu.
          Jadi kita buka seluas mungkin akses untuk membangun “ruang publik”, memberi ruang kepada siapa pun untuk menjadi “peserta diskusi publik” dalam pemberitaan kita. Pada saat yang sama, sesungguhnya kita sedang membangun jaringan pemangku kepentingan (stakeholders) yang kuat.
         Dari agenda-agenda tersebut, perseorangan maupun institusi/ korporasi diniscayakan untuk menyampaikan “pesan” melalui berbagai bentuk rubrikasi media.(Amir Machmud NS)

Jenis-jenis Pemberitaan


         Sebelum sampai ke pembahasan bagaimana mengelola isu di media, kita lihat apa saja jenis berita dari yang secara alamiah ada, muncul secara tidak terduga, berita yang diangkat dari fakta-fakta yang tidak tertangkap indera, atau berita yang memang “diciptakan”.
          Pertama, berita yang pasti ada karena memang ada sebuah agenda kegiatan. Contoh: pentas musik, pelantikan pejabat di Dirjen Dikti, yang semua sudah direncanakan dan dijadwalkan.
          Kedua, berita yang dikembangkan dari sebuah agenda kegiatan. Contoh: dari pentas musik itu, apa yang bisa diangkat sebagai sesuatu yang menarik bagi pembaca? Dari pelantikan pejabat itu, misalnya, dibuat profil pejabat yang promosi.
          Ketiga, berita yang ditulis dari realitas publik. Contoh: protes warga karena limbah pabrik yang mencemari sumur di sebuah lingkungan perumahan. Atau kebijakan Dirjen Dikti tentang kewajiban menulis ilmiah di jurnal ilmiah bagi mahasiswa S1, S2, dan S3 dengan segmentasi masing-masing.
          Keempat, berita yang dikembangkan dari sebuah realitas publik. Contoh: dari protes warga itu, dikembangkan bermacam-macam kemungkinan. Penyakit yang muncul karena pencemaran, warga yang harus mengalihkan sumber air bersih untuk minum, juga bagaimana tindakan pabrik.
          Kelima, berita yang muncul secara tidak terduga. Contoh: kecelakaan pesawat terbang, bencana alam, dan sebagainya.
         Keenam, berita yang dikembangkan dari berita tidak terduga. Contoh: analisis, dan mencari penyebab kecelakaan pesawat terbang.
          Ketujuh, berita yang digali secara in-depth, bahkan secara investigative. Contoh: berita-berita yang dikembangkan dengan mencari sebab-sebab dari sebuah kejadian secara mendalam, lengkap, dari berbagai sisi. Secara investigatif terkadang dikembangkan model-model mirip “penyelidikan” melalui penelusuran dokumen-dokumen, penelitian, referensi kepustakaan, dan sebagainya.(Amir Machmud NS)

Pusaran Isu Media


          Jika kita mengamati isi pemberitaan media, baik cetak maupun elektronik, maka akan terasa materi berita dan sumber-sumbernya itu, pada setiap kejadian sesungguhnya sama. Hanya, kemudian materi berita-berita tersebut berkembang dari berbagai aspek dan angle-nya, “tidak tunggal” karena perbedaan karakter dan kebijakan redaksional media. Juga bagaimana setiap media punya cara pendekatan dan pengembangan terhadap sebuah isu.
          Jadi, yang membedakan antara satu media dengan media lainnya dalam pusaran isu itu adalah pengambilan angle-nya, cara menyajikannya: ragam, teknik, estetika, dan filosofi eye-catchin, cara mengelola dan mengembangkan isunya, lalu frame (bingkai) sejalan dengan bagaimana orientasi/ kebijakan redaksional sebuah media.(Amir Machmud NS)

Melihat Frame dari Ideologi Media (1)


          Cara pandang individu dan/ atau kelembagaan media massa yang memengaruhi kebijakan pemberitaan memunculkan realitas media. Yang harus kita pahami, apa yang ditulis/ disiarkan sebagai realitas media, belum tentu sama dengan realitas di luar media (pemerintah, pelaku bisnis, politisi, atau masyarakat).
          Mengapa? Ideologi media massa tidak mungkin terlepas dari faktor-faktor lain yang mengonstruksi realitas, atau ikut memengaruhi kebijakan pemberitaan, misalnya:
  1. Individu atau kelompok individu pengelola media, misalnya karena faktor-faktor profesionalisme, latar belakang pendidikan, jenis kelamin, usia, agama, dan bahkan afiliasi politik.
  2. Kebijakan masing-masing media. Setiap media memiliki parameter layak muat dan karakteristik berita yang membedakan satu sama lain.
  3. Struktur organisasi media, yakni faktor-faktor internal organisasi media yang non-redaksi yang dalam manajemen bisnis akan saling memengaruhi.
  4. Ekstramedia, yaitu faktor lingkungan di luar media yang ikut memengaruhi kebijakan pemberitaan, misalnya bagaimana kepentingan pemerintah terhadap isu tertentu, pemasang iklan, pelaku bisnis, politisi, juga bagaimana sikap masyarakat.(Amir Machmud NS)

Melihat Ideologi Frame dari Ideologi Media (2)


          Ideologi media yang bersifat umum, yang idealnya menjadi pegangan atu siap pers di mana pun, jadi sifatnya universal, yang oleh Bill Kovach dan Tom Rosentiel disebut sebagai “elemen-elemen jurnalisme”. Dalam hal ini, tidak ada ideologi individual, kelompok individu, atau organisasi media yang memengaruhi kebijakan pemberitaan. Semua (idealnya) berbasis sikap yang bermuatan nilai-nilai universal itu, yakni:
  1. Menjunjung tinggi kebenaran. Media harus mencari kebenaran fungsional, bukan kebenaran filosofis yang tak perlu lagi diganggu gugat. Kebenaran filosofis itu, misalnya: sehari jumlah kewajiban shalat adalah lima waktu; ada musim panas dan musim penghujan. Sedangkan kebenaran fungsional adalah sesuatu yang masih terus berproses, dan bisa berubah karena satu dan lain hal.
  2. Menjaga loyalitas. Kepada siapa media menempatkan loyalitasnya: perusahaan, pembaca, atau masyarakat? Orientasi akhir adalah kepada kemaslahatan masyarakat.
  3. Membudayakan verifikasi. Verifikasi membedakan jurnalisme dari hiburan, propaganda, fiksi, dan seni. Verfisikasi ini dilakukan dengan menanamkan sikap cover many-sides, mencari “kebenaran” dengan sebanyak mungkin mengumpulkan bahan penguat.
  4. Menjaga independensi. Pengelola media harus menghindari opini, kecuali dalam penulisan tajuk rencana, features, dan analisis pakar.
  5. Penyambung lidah rakyat. Bukan keterlibatan, tetapi memainkan fungsi control, dan sebagai jembatan publik untuk mengawal suatu persoalan.
  6. Menjadi forum publik. Terutama di era jurnalisme sosial/ jurnalisme maya, media mutlak harus menyediakan ruang yang cukup untuk forum publik, misalnya rubrik-rubrik interaktif yang secara langsung melibatkan publik dalam pandangan atau pemecahan suatu persoalan.
  7. Menjaga daya pikat. Sensasi, konon merupakan bagian tak terpisahkan dari media massa, tetapi sensasi tidak harus selalu diartikan sebagai rumor, melainkan lebih pada makna substansial sebagai berita yang mampu memikat publik karena lucu, unik, mengejutkan, menghibur, menyentuh perasaan, dll.
  8. Menjaga relevansi.
  9. Proporsional, komprehensif.
  10. Menjaga etika. Inilah filosofi moral yang memandu insan media untuk menentukan apa yang benar dilakukan, sehingga tidak kehilangan orientasi, bisa membedakan yang hakiki dan apa saja yang boleh berubah. Filosofi inilah yang harus terus menerus diasah agar kita bisa berorientasi, berpihak kepada sebesar mungkin kepentingan masyarakat.(Amir Machmud NS)

Mengelola Isu


Mengelola isu di media dilakukan dengan memerhatikan sejumlah jurus atau langkah, sebagai berikut:
  1. Membaca realitas publik: topik apa yang sedang menjadi bahan diskusi publik? Topik itu boleh sangat menonjol, menonjol, atau tidak terlalu menonjol.
  2. Memastikan realitas media: bagaimana positioning visi media terhadap topik tersebut? Penting, cukup penting, atau tidak pentingkah menurut kebijakan redaksional media kita?
  3. Kebijakan pemberitaan: bagaimana proporsi topik tersebut, kita jadikan sebagai jadi isu utama pemberitaan, isu kedua, atau prioritas kesekian?
  4. Manajemen redaksional: apa saja yang harus kita siapkan untuk mengelola topik tersebut? Rancangan konsep, membentuk tim, merumuskan arah, menghitung biaya, dan sebagainya.
  5. Menentukan arah liputan: merancang outline, memilih narasumber, hingga detail pembagian materi tulisan.(Amir Machmud NS)

Siaran Pers Juga Berita


Siaran pers atau press release sesungguhnya juga berita, khususnya hardnews. Perbedaan mendasar antara siaran pers dengan berita yang dituliskan wartawan yang bekerja pada institusi media, adalah kepentingan yang melatar-belakangi laporan atau tulisan itu. Berita yang dibuat wartawan umumnya berangkat dari fakta dan untuk kepentingan memberikan informasi yang sesungguhnya terjadi kepada masyarakat. Tak ada kepentingan pembentukan citra institusi tempatnya bekerja, maupun narasumber berita itu.
Sebaliknya, siaran pers yang biasanya dikeluarkan Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) atau Public Relation suatu institusi mempunyai tujuan untuk membentuk citra institusi itu, selain memberikan informasi kepada masyarakat terkait dengan persoalan tertentu. Bahkan, tidak jarang sebuah siaran pers dikeluarkan untuk membela kepentingan citra dari institusi itu. Biasanya, siaran pers seperti ini dikeluarkan, kalau institusi itu, bisa juga perusahaan atau lembaga pemerintah, sedang mendapatkan sorotan atau menghadapi suatu persoalan.
Oleh karena secara prinsip siaran pers tidak berbeda dengan berita, tentu saja siaran pers juga harus mengikuti kaidah penulisan sebuah berita, terutama penting dan menarik. Artinya, siaran pers bisa dikeluarkan, kalau memang dianggap sebagai sesuatu informasi yang penting dan menarik untuk disampaikan kepada publik. Ini memang subyektif, karena kembali tergantung pada kepentingan institusi mengeluarkan siaran pers itu.
Siaran pers juga semestinya dituliskan dalam bahasa yang sederhana. Ini terkait dengan pemahaman, bahwa kalangan media massa yang menerima siaran pers itu belum tentu mengetahui secara detail persoalan yang disiaran-perskan itu. Seringkali humas dari sebuah lembaga terjebak dengan mengandaikan semua orang mengetahui persoalan atau informasi yang ingin disebarkannya, sehingga membuat siaran pers yang sangat teknis, terutama dalam penggunaan istilahnya, tanpa memberikan penjelasan atau keterangan lain terkait istilah itu secara umum. Sekali lagi harus diingat, media massa adalah melayani kepentingan umum, bukan spesifik kalangan tertentu, meskipun ada media yang spesifik.
Oleh karena siaran pers adalah juga berita, tentu saja sebuah siaran pers harus memuat unsur dalam penulisan berita, yang dikenal dengan 5W+1 H (who, what, where, when, why, dan how). Ini adalah unsur sebuah informasi yang minimal. Jika sebuah siaran pers tidak mencantumkan unsur berita ini, tentu menjadi kesulitan bagi kalangan media massa untuk menurunkannya menjadi berita, karena unsurnya tidak lengkap. Sebuah berita yang unsurnya tidak lengkap, bukan lagi sebuah berita.
Dan, yang tidak boleh dilupakan dalam setiap penulisan siaran pers, adalah kontak person dan nomor kontaknya. Ini akan sangat membantu kalangan media massa untuk memuat dan mengembangkan siaran pers itu.(Tri Agung Kristanto, wartawan Harian Kompas)